VINCENT van Gogh ialah suatu prototype dari seorang seniman yang melemparkan dirinya ke dalam arena seni lukis dan mengabdikan talentnya kepada suatu ideaal yang tinggi untuk berjuang mati-matian. Dan itu tanpa menghitung-hitung praktis atau tidak langkah yang akan diambilnya, sebab semua harus tunduk pada suatu maksud. Itulah yang antara lain ditulis almarhum Sudjojono sekitar setengah abad yang lalu di sebuah berkala, lalu dimuatnya lagi dalam kumpulan karangannya Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman terbitan 1946. Pelukis Sudjojono menutup kenangannya yang penuh kagum kepada Van Gogh dengan mengajak kita memberikan penghormatan kepada pelukis besar itu. "Pada anak jantan Negeri Belanda inilah kita harus mengirimkan eere-saluut kita," tulisnya dengan khidmat. Mengherankan, popularitas Van Gogh dan kekaguman padanya di kalangan pelukis Indonesia, masa 1940-1970. Bukan lantaran pelukis Eropa lainnya tidak diketahui. Melalui buku dan majalah, kebanyakan pelukis kita mengetahui sejumlah pelukis Eropa. Ketika sebagian pelukis kita di masa menjelang Perang Dunia II beruntung melihat sejumlah karya asli Van Gogh di Gedung Kunstkring Batavia, mereka melihatnya bersama karya asli sejumlah pelukis Eropa lainnya, khususnya dari Ecole de Paris. Namun, tampaknya Van Gogh segera mendapat tempat pertama di hati. Sampai 1960-an, jika kepada para pelukis kita ditanyakan siapa pelukis Eropa yang mereka sukai, mereka pertama-tama akan menyebut Van Gogh. Garis atau olesan yang gelisah mengalun, raut terpiuh obyek-obyek yang terlukis di kanvas, respons emosional terhadap kenyataan, simpati kepada rakyat jelata dan orang miskin -- sejumlah ciri yang terdapat pada Van Gogh -- memang nampak pula pada para pelukis kita. Ingatlah Affandi atau Hendra atau Sudjojono, misalnya. Tulisan Sudjojono tersebut di atas mungkin dapat dijadikan petunjuk tentang apa yang dilihat oleh para pelukis kita pada tokoh Van Gogh. Sudjojono memberi tekanan, misalnya, pada pengalaman pelukis itu hidup bersama buruh tambang di Borinage, Belgia. Setelah gagal bekerja sebagai pegawai dalam usaha dagang lukisan di Den Haag, London, dan Paris, Van Gogh mempelajari agama, lalu masuk sekolah evangelist, sekolah pengabar Injil. Kemudian ia berangkat ke Borinage, ke tengah buruh tambang, berkhotbah dan berprihatin. Para buruh itu miskin dan sengsara. Anak-anak perawan yang masih muda, berumur 15 atau 18 tahun, kelihatannya seperti orang tua berumur 40 tahun, tulis Sudjojono. Mata mereka tidak bercahaya, muka pucat, dan pipi kisut. Van Gogh bukan hanya menghibur para buruh miskin itu dengan ajaran agama. Ia hidup bersama mereka, berbagi uang dan roti, dan menjual barang-barangnya untuk menolong mereka. Tak heran jika mereka menyebutnya "Kristus Borina". Ketika Theo, adiknya, menengoknya, ia dalam keadaan melarat dan sakit. Merasakan kehidupan para buruh miskin dengan memasuki kehidupan itu, merasakan dari dalam, merasakan dengan empati, dan bukan dengan sekadar simpati dari suatu jarak, itulah kecenderungan sikap Van Gogh terhadap realitas. kecenderungan yang juga nampak dalam lukisannya. Dengan kecenderungan itu, misalnya, alam dalam kanvasnya nampak hidup bertenaga: pohon cemara menari-nari, matahari berpusing, dan langit beralun bergelora. Tulisan Sudjojono juga menekankan perkenalan Van Gogh dengan sastrawan Emile Zola, dengan mengutip percakapan mereka tentang orang miskin dan rakyat jelata, serta tentang pembelaan terhadap mereka. Sudah barang tentu Sudjojono tidak lupa menonjolkan pengabdian dan pengorbanan Van Gogh kepada seni lukis. Van Gogh menempuh hidup tanpa cinta, pergi dari kota ke kota, dikejar, diburu oleh kesengitan konvensi dan moral, dicap perusak agama dan pemalas, tulis Sudjojono. Tentu disebutkan kematian Van Gogh yang tragis: bunuh diri. Teladan kemanusiaan dan kerakyatan, pengabdian kepada seni (dan kalau perlu hidup miskin dan sengsara), dan berani demi asas dan cita-cita, itu agaknya yang dilihat Sudjojono pada Van Gogh dan yang dipandangnya perlu dicamkan oleh para pelukis kita. Yang kurang jelas ialah kedudukan Van Gogh pada peralihan zaman, sikapnya terhadap zaman lalu, dan perannya bagi zaman kemudian. Dalam banyak suratnya kepada adiknya, ia menyatakan penolakannya terhadap impresionisme, seni lukis yang muncul sekitar 1860 dan hendak merekam kesan-kesan visual yang ditimbulkan oleh cahaya di alam. Vincent van Gogh, yang menekuni seni lukis sesudah umur 26 tahun, mempunyai gagasan dasar yang berlawanan. Petikan dari sepucuk suratnya kepada Theo berikut ini cukup jelas menyatakan gagasan itu. "Saya senang melukis potret seorang kawan seniman, seorang lelaki yang berangan-angan tinggi, yang bekerja seperti seekor bulbul bernyanyi, sebab begitu memang sifatnya. Katakanlah, ia berambut pirang. Aku ingin memasukkan ke dalam lukisanku itu kekagumanku, rasa sayangku, kepadanya. Maka, mula-mula kulukis ia sebagaimana adanya, setepat mungkin. Namun, gambar itu belum jadi. Untuk menyelesaikannya, aku harus jadi juru warna yang sekehendak. Aku melebih-lebihkan pirang rambutnya, sampai-sampai kugunakan warna jingga, kuning, dan kuning lemon yang pucat. Di belakang kepala, bukannya kulukiskan dinding kamar biasa, melainkan kulukis ketidakberhinggaan, latar polos dan berwarna biru secemerlang dan sekaya mungkin. Dengan paduan sederhana kepala pirang depan latar biru kaya, aku mendapatkan efek misterius, seperti sebuah bintang di kedalaman langit lazuardi." Jelaslah, Van Gogh bukan hendak melukiskan kesan-kesan dari luar, melainkan hendak mengeluarkan perasaan dari dalam. Untuk tujuan itu, raut atau bentuk, warna, garis, palit atau olesan, dan bermacam unsur rupa lainnya digarap atau diolah, ditata. Perasaan yang kuat atau mendalam cenderung memiuh (mendistorsi) raut dan warna, menyimpang dari kesan yang diperoleh melalui pengamatan yang cermat dan "dingin". Dari situ kesulitan Van Gogh. Keluhannya: "Oh, Tuhan .... Orang baik-baik itu hanya melihat rupa yang berlebih-lebihan itu sebagai karikatur belaka." Sejarawan seni lukis Eropa biasa menempatkan Van Gogh bersama George Seurat, Paul Gauguin, dan Paul Cezanne sebagai pembuka sejumlah kemungkinan baru, sehingga seni lukis berkembang ke berbagai arah di abad kedua puluh. Berbeda, memang, dari pandangan sejumlah pelukis di Indonesia yang menganggap Van Gogh telah menemukan "esensi seni" dan karena itu kita semua tidak perlu pergi ke mana-mana lagi. Vincent van Gogh lahir 30 Maret 1853 di Zundert, Brabant Utara, dan meninggal 29 Juli 1890 di Auvers-sur-Oise, Prancis. Ia meninggalkan sekitar 900 lukisan dan 1.100 gambar coretan. Ia berhasil menjual hanya satu lukisannya, berpameran hanya satu kali, dan mendapat hanya satu resensi. Ia sempat dirawat di rumah sakit jiwa di Saint-Remy, setahun sebelum ia bunuh diri dengan pistol. Tiba-tiba, 97 tahun setelah kematiannya, ia menjadi berita. Tahun itu, 1987, lukisannya Jembatan di Trinquetaille laku US$ 20,2 juta di London. Sebelumnya, Bunga Matahari laku US$ 39,9 juta di tempat yang sama. Bahkan menjelang akhir tahun itu, Bunga Iris konon dibeli US$ 53,9 juta oleh mahakaya Alan Bond dari Australia. Lalu tiba-tiba, tahun 1990 ini, oleh Yayasan Van Gogh di Negeri Belanda, dinyatakan sebagai "Tahun Van Gogh". Museum National Vincent van Gogh di Amsterdam memamerkan 133 lukisan Van Gogh, 30 Maret-29 Juli. Pada waktu yang sama, Museum Kroller-Muller, dekat Arnheim, memamerkan 248 gambar coretannya. Sedang, konon, direncanakan pula pameran surat-surat Van Gogh, bulan Agustus nanti. Heineken, KLM, Sara Lee/Dee, Persatuan Bank Tabungan, beramai-ramai jadi sponsor. Pemerintah Belanda menerbitkan dua seri prangko Van Gogh. Dinas Pariwisata Belanda menyelenggarakan paket perjalanan menurut tempat-tempat yang pernah ditinggali Van Gogh. Pada 100 tahun kematiannya, pelukis malang itu menjadi superstar. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini