Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah Republik Cangik yang dipentaskan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta, 13-22 November ini, bermula dari sebuah berita duka yang menimpa negeri Suranesia. Negeri itu baru saja kehilangan raja. Maharaja Surasena mangkat. Tiga anak sang raja, Baladewa, Kresna, dan Sembadra, emoh mengisi singgasana.
Tugas mencari pengganti dibebankan kepada Cangik (diperankan Rita Matu Mona), perempuan paruh baya yang bawel tiada tara. Dialah punakawan yang dekat dan dipercaya oleh raja. Cangik kebingungan. Namun, sebagai punakawan setia yang bertugas menghibur, memotivasi, bahkan mengarahkan para kesatria, tugas itu diterimanya.
Dengan bantuan Limbuk (Tuti Hartati), putri Cangik yang tambun dan petakilan, digelarlah sebuah sayembara pencarian raja. Calon pun berdatangan. Pada saat inilah penulis naskah Nano Riantiarno mencampurbaurkan fiksi dan realitas, menghubung-hubungkan pemilihan Raja Suranesia dengan pemilihan umum yang baru saja terjadi di Indonesia.
Nano mengatakan naskahnya sudah selesai pada Januari 2014. Mungkin akan berbeda bila naskahnya ini dipentaskan sekitar pemilu. Naskah ini akan memiliki kekuatan "daya ramal", sementara bila dipentaskan sekarang semuanya sudah "post-factum". Tapi tampaknya Riantiarno tidak peduli. Ia yakin materi pemilu akan tetap membuat penonton terbahak-bahak.
Ada enam calon yang datang untuk ikut sayembara yang digelar Cangik dan Limbuk. Mereka adalah Santunu Garu (Rangga Riantiarno), yang berperangai tegas dengan raut wajah tajam dan selalu serius; Dundung Bikung (Bayu Dharmawan), yang berseragam hijau-hijau layaknya pimpinan tentara; dan Graito Bakari (Alex Fatahillah), yang pernah menghadiahi rakyat sebuah pulau lumpur.
Selain itu, Burama-rama (Subarkah Hadisarjana), yang bercelana cutbray dan berambut kriwil; Binanti Yugama (Daisy Lantang), yang berbaju biru-biru dan berjanji untuk tidak melakukan korupsi; dan terakhir Jaka Wisesa (Budi Ros), tokoh jelata kerakyatan yang pernah jadi Wali Kota Suladana dan Gubernur Kota Raja.
Bagi penonton, mudah saja menautkan para calon di panggung Teater Koma dengan apa yang baru terjadi di negara kita. Santunu Garu datang menguasai panggung dengan menunggang kuda mirip apa yang dilakukan calon presiden tak terpilih Prabowo Subianto. Burama-rama, yang sering mengucapkan ter-la-lu, apalagi kalau bukan impersonisasi dari pedangdut Rhoma Irama. Graito Bakari dengan pulau lumÂpur sedang membicarakan Aburizal ÂBakrie?
Dan yang paling lugas: Jaka Wisesa. Dari namanya saja sudah ketahuan bahwa Nano sedang membicarakan Joko Widodo, yang "kebetulan" di dunia nyata pernah jadi Wali Kota Surakarta dan Gubernur Jakarta.
Beberapa bagian dalam Republik Cangik pun mudah ditebak. Contohnya pada bagian tengah, ketika lagak-lagaknya akan ada manuver koalisi dari beberapa calon yang batal maju. Sepertinya jumlah calon akan mengerucut dan, benar saja, akhirnya yang bertarung memperebutkan singgasana tinggal dua, antara si jelata Jaka Wisesa dan si gahar berkuda Santunu Garu.
Karena alur cerita sudah dipahami—kurang-lebih mirip dengan kejadian asli—penonton tinggal menunggu kejutan di bagian akhir: akan apa jadinya, siapa yang dipilih oleh Cangik, Limbuk, serta para punakawan senior yang dipanggil untuk membantu mereka?
Para punakawan senior adalah Permoni (Anneke Sihombing), Riri Ratri (Ratna Ully), Gatotkaca (Ade Firman Hakim), Lesmono Mondrokumoro (Yulius Buyung), Narada (Dick Perthino), Semar (Supartono J.W.), Gareng (Emanuel Handoyo), Petruk (Raheli Dharmawan), dan Bagong (Dorias Pribadi).
Rupa-rupa perangai mereka bisa dibilang mewakili keberagaman sifat anggota masyarakat. Ada setan seperti Permoni, ada yang tegas dan ingin buru-buru seperti Gatotkaca, dan yang suka berdebat tiada habis seperti Gareng, Petruk, Semar, dan Bagong.
Pada bagian penghabisan, Nano Riantiarno menghadirkan sosok Baladewa (Ohan Adiputera), yang meruntuhkan seluruh cerita yang sudah dibangun susah payah oleh para tokoh. Padahal Baladewa baru datang 10 menit sebelum lakon berakhir. Tapi kehadirannya yang singkat itu memorak-porandakan cerita. Rasanya akhir cerita yang seperti itu kurang adil bagi penonton. Tapi di situlah Nano Riantiarno, seolah-olah ingin berfilsafat tentang apa itu harapan.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo