Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menuju Minyak Nirsubsidi

Kenaikan harga bahan bakar minyak harus diikuti dengan kebijakan berkelanjutan menuju rezim nonsubsidi BBM.

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA tak ingin bangkrut, rezim subsidi bahan bakar minyak di Indonesia haruslah diakhiri. Pada 2014, nilai subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp 285 triliun—hampir seperlima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014, yang besarnya Rp 1.635,4 triliun. Nilai rupiah selama 2011-2014 terus melemah, sejalan dengan defisit neraca pembayaran.

Indonesia bukan negara kaya minyak—cadangan kita tinggal 3,7 miliar barel—tapi harga minyaknya lebih murah ketimbang harga di negara kaya minyak seperti Irak, dengan cadangan 150 miliar barel. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi negara importir minyak. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi impor minyak Indonesia pada 2018 mencapai US$ 63,5 miliar atau hampir Rp 771,8 triliun.

Keputusan menaikkan harga bahan bakar bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter harus segera diikuti kebijakan komprehensif untuk menghapus seluruh subsidi BBM. Pemerintah perlu membakukan peta perjalanan (road map) yang bisa menjadi petunjuk menjalani tahapan pengurangan subsidi BBM. Road map itu juga bisa menjadi patokan bagi penerapan program pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur dan jaring pengaman sosial.

Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap masyarakat miskin harus secara berkesinambungan ditangani. Kekurangan pada pendataan terhadap penerima Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat yang jumlahnya puluhan juta keluarga mesti cepat dibenahi.

Pemerintah Jokowi perlu belajar dari program pengurangan subsidi BBM yang telah lewat. Sejak dekade 1990, lima kali pemerintah mengurangi subsidi BBM. Langkah yang dilakukan pada 2005, 2008, dan 2013 tergolong sukses, tapi tak cukup kuat menanggulangi tingginya harga minyak dunia dan depresiasi rupiah serta terus meroketnya permintaan minyak di dalam negeri. Pemerintah juga tergagap-gagap mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada saat ancaman terhadap anggaran negara sudah sangat serius.

Pengurangan subsidi BBM harus diintegrasikan dengan kebijakan energi keseluruhan. Kebijakan pengembangan energi murah, seperti gas alam dan energi alternatif yang ramah lingkungan dan lestari, perlu dilakukan dengan target yang jelas. Pengurangan subsidi BBM adalah cara mengobati gejala penyakit.

Persoalan sebenarnya adalah kelangkaan energi. Jika kita terus bergantung pada energi fosil, meski subsidi secara bertahap dihapus, Indonesia akan terjebak menjadi negara pembeli minyak yang luar biasa besar.

Subsidi bahan bakar minyak jelas merupakan kebijakan ekonomi yang tidak berkelanjutan (sustainable). Negara-negara yang masih sangat kaya minyak pun mulai mengurangi subsidi, karena ongkos untuk menghasilkan minyak semakin mahal. Perusahaan minyak dunia, seperti ExxonMobil, Royal Dutch Shell, dan Chevron, melaporkan keuntungan terburuk tahun ini. Era energi fosil murah sudah berlalu. Menghambur-hamburkan uang untuk subsidi BBM harus segera diakhiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus