Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan Perjalanan Menteri-Antropolog

Setelah berkarya sebagai antropolog selama 30 tahun, Meutia Farida Hatta menerbitkan buku perjalanannya. Isinya menawan, tapi kemasannya tampak tak digarap serius.

30 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pikiran seorang antropolog kadang lebih enak dibaca dalam catatan perjalanan yang dibuatnya. Claude Levi Strauss pernah menulis buku Tristes Tropiques, berisi pengalamannya menyusuri hutan Amazon. Arkeolog dan teolog Teilhard de Chardin mengumpulkan kenangannya menjelajahi Cina, Afrika, dan Jawa dalam sebuah buku Letters from a Traveller.

Beberapa buku itu bukan sebuah diskursus yang ketat, tapi catatan reportase yang penuh keingintahuan dan pertanyaan terhadap hal yang remeh-remeh, kecil-kecil. Sesuatu yang ke-mudian mampu melahirkan renungan yang dalam dan hidup.

Setelah 30 tahun menjadi antropolog, Meutia Hatta, kini Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menerbitkan Jejak Langkah di Negeriku. Sebuah buku yang berisi kisah perjalanannya menyusuri desa-desa terpencil dari Sumba sampai Papua. Tentu ini bukan seperti kedua buku di atas. Catatan perjalanan ini lebih populer, mencampurkan pengalamannya saat meneliti dan kunjungannya sebagai pejabat. Lebih tepat, kenangan perja-lanan atau ”oleh-oleh” perjalanan.

Cara mengisahkannya pun diusahakan akrab, ”riang”, memakai gaya penuturan aku. Selain menceritakan masyarakat setempat, ia juga secara panjang-lebar kerap menceritakan kolega-koleganya yang ikut dalam rombongan. Menceritakan berbagai kesulitan perjalanan, misalnya saat menuju cagar alam Morowali, Sulawesi, perahu motor yang ditumpanginya bocor dan hendak tenggelam.

Sebagai putri Hatta, sang proklamator, ia beruntung, saat kecil kerap diajak ayahanda turne ke pelosok-pelosok Nusantara. Sekali waktu ia pernah diajak ayahandanya ke Pulau Siau, di Sangihe Talaud, yang syahdan merupakan pulau penghasil pala terbaik di dunia. Saat menjadi pejabat, dan mengunjungi lagi pulau itu, ia terharu karena ternyata ia adalah pejabat kedua setelah ayahnya yang mengunjungi pulau itu.

Ia berkisah tentang awal keterpikatannya pada antropologi. Bagaimana ketika kecil ia tertarik sekali dengan informasi mengenai garis Wallace yang membedakan flora dan fauna Indonesia, bagian barat dan timur. Maka ia antusias sekali saat melakukan penelitian di Kecamatan Petasia, Kabupaten Poso, yang dilewati garis Wallace. Sampai sekor tarsius menggit jari manisnya hingga berdarah pun ia tak peduli.

Bila kita membaca seluruh catatan ini, terasa minatnya sebagai antropolog. Ia berusaha memahami pandangan budaya masyarakat lokal kita tentang gender. Ia panjang-lebar menceritakan perempuan-perempuan tangguh dalam keluarganya: Siti Satiah Annie Rachim—eyangnya dari pihak ibu yang berdarah Aceh—atau mertuanya R.A. Soekartinah Soerjohadiikoesoemo.

Ia melaporkan bagaimana sejumlah wanita lanjut usia yang ditelitinya di Sukanalu, Kabupaten Karo, tetap berusaha mandiri, tak tergantung anak, dan masih ingin bermakna dalam masyarakat. Tapi ia juga menceritakan bagaimana di Long Merah, sebuah desa Dayak Kenyah, yang baru bisa dicapai setelah menyusuri Sungai Mahakam dengan perahu sejauh 760 kilometer, menyaksikan seorang gadis Dayak dinikahi seorang pengusaha Cina Jakarta. Ia curiga itu bagian dari perdagangan perempuan. ”Aku menatap wajah si pengusaha Tionghoa itu dengan tajam, dan ia merasa rikuh...”.

Sesekali memang ia mengkritik. Saat berada di Wamena, Papua, ia mengeluh mengapa banyak birokrat tak mau memahami kebiasaan orang Dani menghangatkan tubuh dengan minyak babi (seperti juga orang Mentawai yang memborehkan kunyit di tubuh).

Yang membuat catatan ini kurang ”mengena” adalah saat ia bertele-tele menceritakan rombongan atau koleganya. Tak dapat dihindarkan, kesannya kunjungan wisata pejabat. Juga soal foto. Meutia Hatta dikenal memiliki hobi memotret. Semua foto dalam buku ini adalah hasil jepretannya. Sayang, terasa sekali tak ada seleksi dan kurasi yang ketat terhadap foto yang ditampilkan.

Ada kalanya fotonya juga menarik, seperti ketika ia memotret anak-anak Kampung Retanggaro, Sumba Barat, bermain di atas dolmen. Foto ini mampu melayangkan imajinasi kita bagaimana di kampung itu masyarakat masih hidup di dua dunia: dunia megalitik dan dunia masa kini. Namun foto lainnya kebanyakan menampilkan diri, teman-teman, keluarganya mejeng. Persis seperti darmawisata ibu-ibu. Bukan sebuah buku antropologi.

Tambah lagi desain cover dan desain isi yang sama sekali membuat tak berselera. Desain buku ini tampak ”jadul” (jaman dulu) sekali. Cara penyajiannya, maaf, mirip laporan kerja tahunan. Seharusnya, dengan segala pengalaman dan dana yang ada, kemasan catatan perjalanan ini bisa lebih baik.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus