Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asep Zaenal Rahmat paham betul ”nasibnya” sebagai guru matematika. Ia tahu, ketidakhadirannya acap disambut gembira oleh murid SMAN 5 Bogor, tempatnya mengajar. ”Kesulitan mereka adalah memahami logika penghitungan, apalagi dengan metode pengajaran yang hanya mengandalkan buku teks,” katanya.
Lulusan Institut Pertanian Bogor ini kemudian mengubah cara mengajarnya. Dengan memanfaatkan pengetahuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology, ICT) yang dia pelajari sendiri, Asep ”memindahkan” rumus rumit dan tampilan membosankan dari buku teks matematika ke tayangan audio-video.
”Hasilnya di luar dugaan, murid-murid menyukai metode pengajaran baru itu,” ujarnya. Mereka tak hanya menyukai matematika, tapi juga jadi pelanggan pemenang olimpiade matematika dan sains nasional. Nilai ujian mereka pun meroket. Bahkan tahun lalu sekolah mereka menduduki peringkat pertama nilai ujian nasional untuk jurusan IPA se-Kota Madya Bogor, dengan rata-rata 9,14.
Apa yang dilakukan Asep dan banyak guru lain yang sadar betul manfaat teknologi informasi rupanya menginspirasi pemerintah. Pada akhir Maret lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi ini. Program ini menghubungkan sekolah dan dinas pendidikan seluruh Indonesia melalui Internet.
Dengan adanya Jejaring itu, para guru seperti Asep bisa dengan mudah berdiskusi dan memperoleh manfaat tentang pola mengajar matematika dengan guru lain di Indonesia. Para siswa kelak juga bisa mengunduh pengetahuan dari program pengajaran guru lain yang ada di Internet. ”Dengan jaringan ini, tak ada alasan pendidikan di daerah akan tertinggal,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.
Cuma, kondisi yang ada saat ini masih jauh dari cita-cita itu. Jardiknas baru dikembangkan di 10 provinsi. Itu pun pekerjaan awal proyek ini baru men-data nomor induk siswa dan sekolah, serta merekam proses pelajaran. Adapun proses belajar-mengajar dan ujian jarak jauh—yang merupakan bagian dari program Jardiknas—masih belum dilakukan. ”Tak mudah mengubah paradigma 180 derajat,” ujar Abi Sujak, Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Memang tidak mudah. Banyak sekolah yang masih menghadapi kendala infrastruktur: belum memiliki komputer, apalagi jaringan Internet. Menurut pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung, Dimitri Mahayana, yang juga konsultan Jardiknas, satu komputer di Indonesia digunakan 100 siswa. ”Bandingkan dengan Singapura yang rasionya sudah 1:2,” ujarnya.
Masih menurut Dimitri, para guru pun masih sedikit yang melek teknologi informasi. Komputer baru sebatas dimanfaatkan untuk mengetik. Belum lagi, mereka menghadapi masalah dalam soal kemampuan bahasa Inggris yang masih rendah. Namun itu semua seharusnya tak menghalangi guru seperti Asep mengambil langkah kuda untuk meraih hasil yang lebih bagus.
Asep sendiri terbilang guru nekat. Dia sudah melakukan inovasi itu sejak 1999. Yakin metodenya bakal diterima muridnya, dia membeli sendiri komputer jinjing sebagai alat mengajarnya. Setiap kali mengajar, dia selalu menenteng komputernya. Ditambah proyektor yang disediakan sekolah, Asep mulai melakukan eksperimen.
Dia memanfaatkan PowerPoint yang biasa dipakai untuk presentasi seminar, mengolah teks, dan merancang gambar bergerak tiga dimensi. Pendek kata, penampilan Asep mengajar berubah. Dia bak direktur sebuah perusahaan yang tengah mempresentasikan proposalnya. ”Misalnya saya mengajarkan bagaimana menghitung volume ruangan dengan menampilkan gambar tiga dimensi,” ujarnya.
Kerja kerasnya tak sia-sia. Para muridnya puas, dia sendiri pun makin terkenal. Dia ditunjuk pemerintah untuk ikut dalam pelatihan guru sains di Penang, Malaysia, pada 2003. Pelatihan itu diselenggarakan oleh organisasi kementerian pendidikan 10 negara ASEAN, yaitu South East Asia Minister of Education Organization (SEAMO).
Atas kreativitasnya, Asep menang dalam kompetisi guru inovatif 2006 yang digelar Microsoft Indonesia, bersama Sri Rahayu Ningsih dari SMAN 67 Jakarta Timur dan Kwarta Adimprahana dari SMK Negeri 4 Malang. Ketiganya berhasil menyisihkan 20 ribu guru yang ikut program Peer Coaching, sebuah prog-ram pelatihan bagi guru yang memakai teknologi informasi komunikasi dalam kegiatan belajar-mengajar.
Ketiganya kemudian dikirim Microsoft mewakili Indonesia ke Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, mengikuti Forum Guru Inovatif Sedunia, November 2006. Mereka juga terbang ke Siem Rap, Kamboja, menghadiri Konferensi Regional Guru Inovatif se-Asia Pasifik, akhir Februari lalu. Di sana mereka berbagi pengalaman dengan guru negara lain tentang pengajaran kreatif yang ”ramah teknologi” itu.
Yang dilakukan SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor, lain lagi. Semua guru dan murid membuhulkan tekad menjadikan sekolah mereka berbasis teknologi komunikasi dan informasi, bukan hanya satu guru seperti Asep di SMAN 5 Bogor. Tujuh tahun setelah itu, Rabu dua pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil meresmikan sekolah tersebut sebagai kampung pendidikan ICT.
Padahal, ketika baru berdiri pada 1978, sekolah ini tergolong sekolah pinggiran, yang hanya dipandang sebelah mata. Namun ia berhasil merombak diri. Berkali-kali guru sekolah ini melakukan studi banding ke sekolah elite, baik swasta maupun sekolah internasional. Sistem pendidikan yang bagus diadopsi. Teknologi informasi pun dilirik untuk dikembangkan sejak 2000.
Anggaran terbatas tak menghalangi niat sekolah ini membangun pendidikan berdasarkan teknologi informasi. Caranya, murid tak hanya diajari bagaimana menggunakan komputer, tapi juga diperkenalkan pada seni bongkar pasang dan pemeliharaan komputer sejak kelas satu. ”Semacam orientasi bagi siswa baru,” kata Agus Rohman, Wakil Kepala Sekolah. Pengajarnya adalah kakak kelas mereka yang dianggap sudah mumpuni dalam soal komputer.
Berkat keahlian murid SMA Plus PGRI Cibinong ini, sekolah tersebut tak perlu mengeluarkan dana besar untuk membeli komputer. Komputer lama disulap menjadi lebih canggih sehingga layak digunakan berselancar di dunia maya. Sekolah ini juga menampung komputer bekas dari mana saja. Tak mengherankan jika biaya pemeliharaannya bisa dikatakan nol.
Seperti halnya Asep dari SMAN 5 Bogor, SMA di Cibinong juga berusaha menularkan resep membangun sekolah yang melek teknologi informasi ke luar. Sekolah ini tak hanya menawarkan jasa dan produk komputer rakitan, tapi juga mengembangkan teknologi informasi di kawasan itu, misalnya dengan membangun jaringan teknologi informasi di pesantren dan karang taruna.
Para murid pun giat belajar komputer karena ada insentifnya, yaitu sekolah memberikan sertifikasi keahlian komputer setingkat diploma 1. ”Banyak dari mereka yang lulus kini diterima di Informatika UI, ITB, dan Binus. Banyak juga yang sudah siap kerja,” ujar Rohman. Guru pada abad ke-21 ini memang bukan lagi seorang Umar Bakri dengan sepeda tua. Mereka sudah terbiasa berselancar di dunia maya.
Widiarsi Agustina, Rinny Srihartini (Bandung) dan Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo