Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerita Bayu Wardhana Melukis Tembok Kafe di Gedung Tempo

Bayu Wardhana mencoba menampilkan pesan kerukunan lewat lukisan pada dinding restoran Yumakan di Gedung Tempo

17 Mei 2019 | 13.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelukis on the spot, Bayu Wardhana saat melukis dinding luar YuMakan di Gedung Tempo, Jakarta, Kamis, 16 Mei 2019. TEMPO/Fardi Bestari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang tengah malam, pelukis Bayu Wardhana memulai aksinya. Pria berambut panjang itu mengecat dinding setinggi 10 meter menggunakan pisau. Sesekali dengan rol kecil, dia menggoreskan cat dengan corak tak beraturan.

"Yang punya AC mau marah silakan," kata Bayu sambil tersenyum saat menggoreskan cat pada freon AC di dinding kafe Yumakan, di Gedung Tempo, Kamis malam, 16 Mei 2019. Kafe ini melengkapi fasilitas di Kantor Tempo Media yang berada di Jalan Palmerah, Jakarta Barat.  

Bayu mulai melukis di dinding itu sekitar pukul 20.20 WIB. Namun, hingga lewat tengah malam, lukisan yang didominasi warna hitam, coklat, putih, krem, dan sedikit aksen jingga itu, masih terlihat abstrak. Dia mengatakan, lukisan akan mulai terlihat bentuknya pada keesokan hari atau Jumat sore, 17 Mei 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis on the spot, Bayu Wardhana saat melukis dinding luar YuMakan di Gedung Tempo, Jakarta, Kamis, 16 Mei 2019. TEMPO/Fardi Bestari

Menurut Bayu, caranya melukis memang membutuhkan beberapa tahap. Tahap berawal dari goresan gulungan cat dengan rol kecil dan tebasan pisau. "Habis itu baru aku keluarin bentuknya apa," ujar dia.

Dia mengatakan baru menggunakan  kuas pada bagian akhir atau waktu menuntaskan lukisan. Pada dinding selebar 20 meter itu, Bayu mencoba menampilkan lukisan dengan tema kerukunan, gotong royong, komunal, dan juga membawa pesan agar siapapun yang melihat lukisannya tersebut bakal teringat asal mulanya.

Menurut Bayu, manusia atau yang melihat lukisan tidak lepas dari orang lain. Dia yakin, manusia tidak bisa hidup sendiri. "Di sini aku akan bikin suasana gotong royong itu. Hal itu juga didasari karena di Jakarta ini, alam yang aku bikin ini, tidak ada di mana-mana," kata Bayu.

Bayu mengatakan, tema dan gaya pengerjaan seperti itu juga belum pernah ada di Jakarta. Metode lukis yang dia gunakan ditemukan lewat berbagai eksperimen setelah membuat 100 karya lukis. Bayu menilai jika melukis hanya dengan kuas hasilnya hampir sama dengan lukisan-lukisan lainnya.

Melalui temuannya itu, Bayu merasakan bisa mengeksplorasi kerusakan yang tidak disengaja pada lukisan. Dia lantas menyebutnya dengan istilah garis negatif. Dalam lukisan, kata Bayu, memang perlu ada garis negatif, yang sebenarnya justru menguntungkan pelukis.

Kolektor saat ini, menurutnya, juga jenuh dengan lukisan kontemporer yang mengadopsi dari Google dengan diproyektor dan dibuat linier. "Semua terprogram, bukan kerusakan-kerusakan yang tidak disengaja," ujarnya. "Itu tidak ada sekolahnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis on the spot, Bayu Wardhana saat melukis dinding luar YuMakan di Gedung Tempo, Jakarta, Kamis, 16 Mei 2019. Tempo/Hendartyo Hanggi

Bayu sudah melukis di berbagai negara seperti Cina, Myanmar, Hong Kong dan rencananya bakal ke Prancis, Inggris, dan Belanda. Dia masih sering diundang komunitas di daerah.Bayu menikmati setiap kunjungan ke manapun. Bagi dia ilmu harus dibagikan. Empat tahun lalu Bayu mengikuti program artist residence di Galeria Fatahillah yang dikelola Konsorsium Kota Tua Jakarta (JEFORAH).

Pesan Bayu, tanpa sekolah seni lukis seseorang tidak ada larangan untuk melukis. "Semua orang bisa jadi pelukis, tergantung lingkungannya, mendukung atau tidak," kata alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.

Adapun pemilik dan pendiri Yumakan, Lutania Karyadi, mengatakan belum mengetahui tampilan visual karya Bayu. "Yang tahu saat itu hanya Pak Bayu dan Pak Malela (S Malela Mahargasarie, redaktur khusus Tempo). Itu hasil kesepakatan berdua," kata Lutania saat dihubungi.

Lutania mengaku bahwa keluarganya mengenal Bayu belum lama. Kendati begitu, dia sangat senang dengan perjuangan Bayu dalam bisang seni. Sebagai pemilik tempat makan, Lutania berpesan kepada Bayu agar lukisan yang dibuat punya makna untuk Indonesia, seperti menampilkan kebudayaan, kehidupan, kebiasaan, atau pemandangan.

HENDARTYO HANGGI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus