Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cerita tentang Ibu Tiri Modern

Hollywood menyajikan konsep ibu tiri masa kini: trendi, wanita karir, dan berusaha keras menjadi ibu yang baik. Mungkinkah dia menjadi seorang ibu yang sesungguhnya?

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STEPMOM
Sutradara: Chris Columbus
Skenario: Wendy Finerman, Gigie Levangie
Pemain: Julia Roberts, Susan Sarandon, Ed Harris
Ini kisah tentang ibu tiri masa kini. Ibu tiri versi Cinderella, Putri Salju, dan seterusnya itu sudah kuno. Bagi studio Hollywood, ibu tiri adalah ma- nusia biasa yang juga punya cinta. Kalau perlu, karena umumnya ibu tiri digambarkan lebih muda dari ibu asli, mereka jadi lebih kreatif dan karena itu bisa menjadi "teman" anak-anak tirinya daripada sebagai sosok "otoriter" seorang ibu. Nah, demikianlah tesis sutradara Chris Columbus yang ditampilkan melalui film Stepmom, yang tengah beredar di Jakarta. Jackie (Susan Sarandon) adalah sang ibu asli; Isabel (Julia Roberts) adalah sang ibu tiri. Yang pertama adalah bekas istri Luke (Ed Harris). Yang kedua adalah calon istri Luke. Jackie, seperti ibu pada umumnya, sangat keibuan, teliti, obsesif dalam soal kedisiplinan dan penjadwalan yang ketat untuk kedua anaknya. Ia adalah seorang bekas editor terkemuka yang melepas karirnya demi membesarkan kedua anaknya dan menyukai kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Isabel, seorang fotografer dari perusahaan iklan yang prestisius, berusaha membagi waktu antara karir dan "latihan" sebagai ibu dadakan bagi Anna (Jen Malone), seorang putri tiri yang menjelang remaja, dan Ben (Liam Aiken), seorang anak lelaki yang bandel banget. Sutradara Chris Columbus—sebelumnya menyutradarai film bertema keluarga seperti Home Alone dan Mrs. Doubtfire—memang tidak berpretensi secara moralis bahwa sebuah perkawinan harus selalu dipertahankan. Perceraian memang bukan konsep asing bagi masyarakat Amerika, sehingga adegan anak-anak yang mondar-mandir setiap minggu dari rumah ayah (dan calon istrinya) ke rumah ibu (yang kebetulan belum punya pacar) adalah sebuah pemandangan yang biasa. Tema "biasa" yang mungkin belum tentu biasa di Indonesia ini menjadi menarik karena dua hal. Pertama, penggarapan Columbus—seperti film drama romantis Hollywood umumnya—yang sangat lancar, diisi dengan dialog yang tangkas, pemain yang bagus, musik yang dinamis, dan sambil sesekali menampilkan fotografi yang romantis (daun mapel merah yang menyelimuti jalan di musim gugur atau berkuda di atas salju). Kedua, film ini mungkin bisa memperlihatkan bahwa perceraian bisa juga melahirkan hubungan yang (tetap) beradab antara bekas suami dan istri dan bahkan mereka bisa berakhir sebagai kawan yang baik. Namun, perceraian tentu akan tetap melukai semua pihak, terutama anak-anak. Stepmom alias ibu tiri dalam film ini tampil sebagai sebuah sosok yang kagok (dimainkan dengan baik oleh Julia Roberts), karena ia seorang anak muda trendi yang menjadi "ibu kagetan" yang masih berusaha belajar menjadi "ibu". Tapi skenario tampak tak ingin berpihak pada salah satu pihak. Sang ibu asli digambarkan sebagai seorang perempuan yang terlalu yakin bahwa pendidikan yang ketat yang diterapkan adalah satu-satunya alternatif; adapun sang ibu tiri juga punya beberapa kelemahan, antara lain keteledorannya menjaga Ben yang gemar menghilang di antara kerumunan orang. Permasalahan semakin runcing karena kedua perempuan ini saling tidak menyukai dan khawatir kedua anak itu akan sibuk membandingkan pendidikan kedua ibu yang berbeda. Dan kemudian, bagian perbedaan yang meruncing ini menjadi sebuah ajang "persaingan dua perempuan" yang memperebutkan afeksi anak-anak. Sebuah stereotip yang menjengkelkan. Lalu, bagaimana menyelesaikan permasalahan ini? Sang ibu menderita kanker. Semua bersimpati. Ibu asli dan ibu tiri sama-sama menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Mereka jadi kompak dan mengetahui bahwa masing-masing punya tempat di hati kedua anak itu. "Saya bagian dari masa lalu mereka, dan kamu adalah bagian dari masa depan," kata Jackie, yang usianya sudah dihitung oleh hari. Penyelesaian yang gampangan dan klise, memang. Apalagi fokus kemudian menyimpang ke persoalan penyakit kanker yang diderita sang ibu, dan jadilah akhir film ini yang jatuh menjadi banjir air mata. Tapi itu hanya sebagian kecil. Sekali lagi, penggarapan, akting pemain, dan musik film ini menyajikan sebuah hiburan dengan "H" besar. Dan hiburan, dengan kata dasar "hibur", itu artinya: suatu tontonan yang ditonton untuk bersenang-senang. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus