Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dan Anak-Anak Menjadi Korban

Anak sebagai korban telah menjadi tema sentral pameran foto "Potret Anak" di Pusat Kebudayaan Prancis, Jakarta. Sebuah dunia yang mestinya manis tapi kadung getir

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak adalah bukti kita pernah bercinta,
pernah saling berbohong, saling mengkhianati diri,
saling lebur. Hanya itukah?

(Sajak Cinta, Sapardi Djoko Damono) JAKARTA adalah sebuah siang yang meranggas. Seorang anak penjaja koran merangsek di antara kerumunan massa yang berbaur di sebuah jalan utama. Hari itu, mahasiswa kembali turun ke jalan membentangkan spanduk. Kondisi negeri ini belum tenang betul, tampaknya, untuk dilalui tanpa demonstrasi. Sang anak menenteng tabloid jualannya masuk ke tengah massa: rautnya terlipat, matanya nanar, seperti menahan gelombang amarah. Dan foto hasil rekaman Padri Nadeak yang dipamerkan bersama beberapa karya Imelda Stefanny di Pusat Kebudayaan Prancis pada 9-24 Februari itu tampaknya menunjukkan satu hal: di negeri kita, anak bukanlah sebuah "spesies" yang imun, sebuah generasi yang belum bisa dengan bebas menentukan keinginannya—seperti kebebasan Toto Chan dalam novel Toto Chan: The Little Girl at the Window yang terkenal itu. Anak dalam rekaman lensa kedua mahasiswa fotografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu adalah korban. Lihatlah sorot mata bocah anggota Pam Swakarsa—pasukan partikelir dalam Sidang Istimewa MPR lalu—yang wajahnya tertutup sarung dengan ikat kepala. Ada semacam keberanian, mungkin bercampur rasa takut, bahwa ia bersama kanak-kanak lain yang jumlahnya ribuan harus bertarung sebagai pasukan dalam sebuah kancah politik yang tidak selalu bisa mereka pahami. Di pihak manakah mereka? Pejuang? Pengkhianat? Yang pasti, perang itu mestinya menjadi "ruang" lain di luar keseharian seorang anak. Keprihatinan terhadap anak itu menjadi roh bagi seri foto anak-anak penjara yang disajikan Imelda Stefanny: anak-anak di balik terali besi, anak bertato, anak yang menjulurkan jari tengahnya seperti sedang mengejek nasib yang mereka terima. Bersalah atau tidak, mungkin, bukan itu soalnya. Tapi bahwa mereka harus meringkuk dalam ruang pengap bernama penjara adalah bukti bahwa ruang hidup anak adalah ruang yang selalu rentan terhadap intervensi orang dewasa, dunia politik dan ekonomi, yang tidak selalu menghasilkan kesenangan atau dunia ceria. Variasi yang sama tampak dalam foto-foto anak jalan: pengamen, penjaja makanan, anak-anak bertelanjang dada yang hilir mudik di antara gemuruh kehidupan Ibu Kota, atau juga anak-anak miskin yang hidup di pedalaman Kalimantan atau Sumbawa. Dengan penyajian hitam putih yang kuat, Stefanny dan Padri sekali lagi ingin menunjukkan kenyataan pahit anak-anak dalam sebuah konstelasi ekonomi (politik) yang rumit. Siapakah yang menghendaki kemiskinan ini? Tentu bukan kanak-kanak itu—tapi mengapa mereka harus menjadi korban? Tentu saja kehidupan anak dalam alam nyata mungkin tidak segetir penggambaran kedua fotografer muda itu. Tapi kedua fotografer itu mencoba menyajikan realitas dari sudut yang pahit. Secara teknis mungkin tidak sempurna benar—beberapa foto tampak kelebihan pencahayaan—tapi semangat berempati pada derita kanak-kanak adalah modal yang lebih dari cukup untuk bercerita melalui medium foto. Dan keduanya terbukti berhasil. Anak seperti ditulis penyair Sapardi Djoko Damono mestinya memang tidak cuma buah dari cinta. Anak adalah cinta itu. Ia memiliki kebebasan menentukan pilihan-pilihannya secara mandiri. Tapi, di sebuah negeri yang carut-marut dirundung krisis, hak anak memang telah menjadi kemewahan. Anak telah menjadi bagian dari alat produksi, penopang keluarga, dan peluru bagi perjuangan politik yang entah di mana ujungnya. Anak memang telah menjadi korban. Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus