Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Jatuh di Bisnis Yoshi

Yoshihiro, arisan berantai yang dikombinasikan dengan sistem multilevel marketing, ternyata cuma menjual mimpi. Barang yang ditawarkannya banyak yang palsu.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM waktu itu meledak. Menjamurnya bisnis "serupa" multilevel marketing?pemasaran berjenjang, satu anggota mengajak anggota yang lain?akhirnya membawa korban. Itulah yang dialami ribuan peserta Yoshihiro, perusahaan yang mengaku bergerak di bidang multilevel marketing (MLM). Banyak anggota Yoshi yang "terjerat" karena tergiur untung dengan cara mudah dan cepat. Yang lebih dulu menjadi anggota memang bisa meraup bonus alias fulus puluhan juta rupiah, bahkan sampai Rp 500 juta. Tapi yang masuk belakangan banyak yang buntung. Sebab, semakin banyak anggota Yoshihiro, semakin sulit mencari anggota baru?atau yang disebut downline. Dan modal yang disetor sebanyak Rp 1,5 juta sewaktu pendaftaran, akhirnya, harus direlakan bye-bye. Krisis moneter membuat orang mencari jalan pintas, termasuk menabrak si Yoshi ini. Dan siapa sih yang tak boleh bermimpi indah: meraup bonus jutaan rupiah dengan cara gampang, dengan hanya mencari anggota baru? Sebab, di bisnis Yoshi ini, komisi untuk upline alias "atasan yang mengajak bergabung" ditentukan oleh setoran awal si downline, bukan oleh potongan harga (rabat) dari barang yang terjual. Asal usul komisi jutaan itulah yang membedakan perusahaan yang "pura-pura MLM" dan yang benar-benar MLM. Yang "pura-pura" mendasarkan penghitungan komisi pada setoran awal anggota baru, sementara barang yang diperdagangkan hanya sekadar "basa-basi". Sedangkan MLM yang asli memberikan bonus sesuai dengan jumlah penjualan barang si anggota dan banyaknya anggota yang direkrutnya. Misalnya, Anda punya anggota 1.000 orang, maka komisi Anda ditentukan oleh berapa banyak barang yang dibeli anggota grup Anda selama sebulan. Nah, ketika rekrutmen anggota Yoshi macet, tentu saja bonus jutaan juga tinggal mimpi. Sialnya, kata sebuah sumber, produk toiletries yang dijual Yoshihiro ternyata banyak yang palsu atau kualitasnya buruk. Harganya pun jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk sejenis. Dan sering kali mutunya jauh lebih rendah. Barang itu banyak yang tak melewati uji Departemen Kesehatan. PT Sridenta Swaguna Indonesia, si empunya Yoshihiro, sebetulnya cuma mendapatkan izin memasarkan sepuluh produk toiletries. Namun, menurut sumber TEMPO, perusahaan milik Steven Gimin Jono ini menjual sampai seratusan item barang. Itu dibenarkan salah seorang bekas peserta Yoshihiro, yang berhenti pada Maret 1998?sebut saja namanya Tania. Dia tak tahu jumlah seluruhnya. "Tapi saya yakin lebih dari 20 item," ujar Tania kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Menurut Tania, yang mengaku sudah meraih bonus lebih dari Rp 20 juta, mutu produk Yoshihiro ada yang bagus, ada pula yang buruk. Produk pelembap kulit dan pembersih mata, misalnya, memang bagus. Tapi produk lain yang juga untuk kesehatan mata, Eye Done Gel, sangat buruk dan tak sebanding dengan harganya yang Rp 95 ribu. "Baru tiga kali dipakai sudah cair," katanya. Tania juga menyebut produk minyak wangi yang isinya cuma air dan tanpa aroma sama sekali. Meski bisa memilih, peserta Yoshihiro memang tak bisa memilah mana produk asli dan mana yang palsu karena semuanya dicampur jadi satu. Penjual produk Yoshi ini selalu berbicara bahwa produknya untuk kelas atas dan banyak dijual di plaza-plaza. Anehnya, tak ada peserta Yoshihiro yang mencoba mengeceknya. Ternyata banyak produk Yoshihiro yang dijual di Pasarbaru atau ITC Manggadua dan harganya cuma setengahnya. Placenta Snow White, misalnya, cuma dijual Rp 125 ribu di Pasarbaru, padahal di Yoshihiro bisa sampai Rp 250 ribu. Tania juga mengaku baru sadar bahwa sebagian produk Yoshihiro palsu setelah dia "cabut" dari Yoshi. Sebelumnya, dia tak pernah mengecek keaslian barang-barang itu. "Pokoknya diterima saja. Yang penting bonusnya," katanya enteng. Benarkah semua produk Yoshi dari luar negeri seperti tercantum di kemasannya? Menurut sumber TEMPO, barang-barang itu sejatinya cuma dibuat di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda, Tangerang, dan di sebuah rumah toko (ruko) di Jalan Hayamwuruk, Jakarta. Produsen barang-barang itu PT Kirindo Tiara, yang juga dimiliki Steven Gimin Jono. Tapi ini dibantah oleh Kepala BagianUmum dan Hukum Sridenta, Sanusi Arsyad. Menurut dia, produk yang dijual Yoshihiro semuanya barang impor. "Kalaupun dibuat di sini, paling cuma kemasannya," kata alumni Fakultas Hukum UI ini. Tapi, menurut bekas karyawan Kirindo Tiara, mereka tak hanya mengemas, tapi juga memproduksi toiletries untuk Sridenta. Di sana, toiletries itu diramu, dikemas, dan didistribusikan. "Bohong kalau dikatakan produk itu diimpor," katanya. Cuma, sejak pertengahan Januari lalu, pabriknya sudah ditutup dan 70-an pegawainya tak jelas nasibnya. Pintu pabrik itu sekarang digembok oleh Budi Santoso, mitra Steven yang masuk ke perusahaan itu sejak Januari 1998. Tak seorang pun, termasuk para penjaga pabrik, bisa masuk ke kompleks pabrik tanpa izin Budi, yang membawa sendiri kuncinya. Sebuah bedeng kecil dibangun di depan pabrik tempat para penjaga tinggal. Praktis sudah lebih dari sebulan pabrik tersebut tidak beroperasi. Ruko di Hayamwuruk setali tiga uang ceritanya. Dari empat lantai yang ada di ruko itu, praktis hanya satu lantai yang dipakai. Tiga lantainya yang di atas haram dimasuki para pegawai Sridenta. Padahal, sebelumnya, hanya lantai dua yang relatif jarang dimasuki karyawan karena di situlah Steven berkantor. "Sejak pertengahan Januari, produksi kosmetik sudah dihentikan sama sekali," kata Umar, pegawai Sridenta. Para karyawan terlihat cuma duduk-duduk di depan kantor atau di lantai satu. Umar juga mengaku tak tahu kapan kondisi ini akan berakhir. Peminat Yoshi, yang mulai jalan pada Januari 1998, pada awalnya memang membeludak. Setiap Senin, saat pembagian bonus, jumlah anggota yang datang bisa mencapai 4.000-5.000 orang. Data terakhir menyebutkan, jumlah pembeli kapling Yoshihiro sudah mencapai lebih dari 40 ribu orang. Namun banyak di antara mereka yang sudah berhenti. Belakangan ini, anggota atau calon anggota yang datang ke kantor Yoshihiro di kawasan Pluit, Jakarta Utara, hanya sekitar 100 orang setiap harinya. Dengan peserta yang menipis, produk yang bisa dijual pun semakin sedikit. Tak aneh jika produksi Kirindo pun terhenti. Kendati demikian, Yoshi sudah menangguk untung besar. Hitung saja. Misalnya Anda bermain dan game?dengan menghimpun 51 peserta?maka total uang yang Anda kumpulkan adalah Rp 77,6 juta, sedangkan bonus untuk Anda maksimal Rp 24 juta. Dari sini, penyelenggara mendapatkan keuntungan Rp 52,6 juta, ditambah biaya formulir Rp 510 ribu?setiap formulir harganya Rp 10 ribu. Dari sinilah trik-trik Yoshi ini dimulai. Jika produk yang dijual itu nilainya setara dengan harga kapling Rp 1,5 juta, Yoshihiro jelas akan buntung karena harus mengeluarkan bonus. Untuk mengakalinya, Yoshihiro harus menaikkan harga produk dua kali lipat, mutu diabaikan, atau barangnya tidak didaftarkan sehingga bebas pajak. "Paling-paling nilai barangnya cuma Rp 500 ribu," kata Tania. Dengan hitung-hitungan itu, tak masuk akal kalau perusahaan yang kabarnya dekat dengan Keluarga Cendana yang tinggal di Condet, Jakarta Timur, ini mendatangkan produk impor. Sebab, pasti Yoshi belum-belum sudah akan terkena pajak pertambahan nilai (PPN) impor 10 persen. Apalagi, menurut sumber, perusahaan ini sejak berdiri (1992) hingga sekarang tak pernah membayar PPN dan PPh (pajak penghasilan). Padahal nilai transaksi Sridenta Swaguna lumayan besar. Dengan anggota 50 ribu, sampai akhir 1998, perusahaaan ini menerima Rp 75 miliar?belum termasuk biaya formulir, yang mencapai Rp 500 juta. Menurut Direktur Jenderal Pajak, Anshari Ritonga, transaksi yang melampaui Rp 240 juta akan dikenai PPN. Dengan demikian, perusahaan itu minimal harus membayar PPN sekitar Rp 7,5 miliar. Tak hanya itu. Sridenta juga menunggak PPh atas bonus yang besarnya minimal 10 persen. Menurut Tania, setiap dia menerima bonus, itu sudah dipotong PPh. Tapi, menurut sumber TEMPO, perusahaan itu tak pernah membayar PPh atas bonus. Dia memperkirakan, nilai tunggakan PPh Sridenta minimal Rp 700 juta. Dan jika itu benar, "Akan kita kejar," kata Ritonga kepada Agus Hidayat dari TEMPO. Duet Steven dan Budi juga "suka-suka hati" saja menetapkan aturan main untuk anggotanya. Bonus anggota diubah seenaknya sendiri. Sementara sebelumnya mereka yang berhasil mendapatkan enam downline berhak mendapat bonus Rp 1 juta, dan untuk yang memperoleh 12 orang downline bonusnya Rp 2 juta, sejak 16 November lalu aturannya diubah. Bonusnya dipangkas menjadi Rp 200 ribu dan Rp 600 ribu saja. Kendati diprotes, Steven dan Budi?yang ke mana-mana sering menunjukkan pistol dan berseragam militer dengan pangkat kolonel?tak pernah menggubrisnya. Mereka juga secara terbuka mencoba memberikan kesan dekat dengan militer?misalnya lewat berita-berita di majalah internal mereka yang memuat sambutan beberapa petinggi militer lokal. Misalnya, diberitakan Sridenta pernah menyumbangkan Rp 30 juta kepada sebuah instansi militer di Jawa Barat. Sayang, Steven dan Budi tak mudah ditemui. Bisnis berkedok MLM ini membuat Kota Pinrang dibakar oleh anggota koperasi simpan pinjam (kospin) yang duitnya macet. Yang kaya-raya hanyalah pengurus kospin. Nah, jangan mudah jatuh hati walau fulus menumpuk membayang di depan mata. M. Taufiqurohman dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus