UNDANG-UNDANG Anti monopoli yang sudah lama dinantikan dan diharapkan bisa membenahi ekonomi pasar yang sakit, rampung juga akhirnya. Setelah melampaui pembahasan yang alot selama empat bulan lebih, pada Kamis pekan lalu, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, untuk dijadikan undang-undang.
Sebelum tercapai kesepakatan, berkali-kali terjadi perdebatan keras tentang konsep Undang-Undang Antimonopoli antara DPR dan pemerintah. DPR menghendaki pendekatan struktur pasar, sehingga pengusaha atau kelompok usaha dilarang menguasai pangsa pasar lebih dari 30 persen untuk satu jenis barang dan jasa. Sedangkan pemerintah bersikukuh mempertahankan konsep perilaku usaha. Dengan demikian, berapa persen pun pangsa pasar yang dikuasai pengusaha tak jadi masalah, asalkan persaingan usaha tetap sehat dan perusahaan baru boleh muncul.
Belakangan, setelah dicapai kompromi?kalau tak mau disebut sebagai kekalahan DPR?pendekatan perilaku usahalah yang digunakan. Maksudnya, penguasaan pangsa pasar tidak lagi identik dengan monopoli dan karena itu melanggar hukum. Namun, penguasaan itu hanya merupakan indikator alias dugaan terjadinya monopoli, yang bobotnya lebih ringan alias tidak langsung divonis sebagai monopoli. Dengan kondisi itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha langsung memeriksa bisnis tersebut, apakah pangsa pasarnya diperoleh secara fair atau tidak. Jelas dalam hal ini yang menjadi patokan adalah perilaku, bukan penguasaan pasar.
Selain itu, batas pangsa pasarnya pun diperbesar dari 30 persen menjadi 50 persen atau 75 persen, bila ada dua sampai tiga pelaku usaha dengan barang dan jasa sejenis. Tapi, "Kalaupun pangsa pasarnya kurang dari 50 persen dan ada masyarakat yang mengadu karena merasa dirugikan, bisa saja komisi menelitinya," kata Menteri Peridustrian dan Perdagangan, Rahardi Ramelan.
Komisi yang dimaksud, sebagaimana disetujui pemerintah dan DPR, beranggotakan tujuh orang. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dengan persetujuan DPR. Agar bisa menilai secara fair, anggota komisi yang "terpercaya" untuk menilai tingkah laku para pengusaha itu, tidak berasal dari unsur pemerintah ataupun kalangan bisnis. Hal ini dikemukakan oleh Ketua Panitia Khusus penggodok RUU di DPR, Rambe Kamarul Zaman.
Ketika disimak lebih jauh, ternyata wewenang komisi begitu berlimpah. Komisi itu bahkan sekaligus bisa berperan sebagai polisi, jaksa, dan hakim. Segala perkara yang menyangkut dugaan monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak sehat, hanya bisa diperiksa oleh komisi. Bila pelaku usaha tak mematuhi vonis komisi barulah perkara itu bisa disidik polisi. Dan bila ada yang keberatan atas vonis komisi mereka bisa naik banding ke peradilan umum. Tentu saja blangko kosong buat komisi itu agak mengkhawatirkan, terutama apakah efektif dalam menerapkan Undang-Undang Antimonopoli kelak.
Hal lain yang juga mengganjal adalah pengecualian terhadap larangan monopoli bagi usaha kecil, koperasi, dan bisnis yang dikelola negara. Koperasi diperkenankan melakukan monopoli, asalkan usahanya hanya untuk anggotanya bukan untuk pihak lain. Ketentuan itu agak kontroversial, bila menilik perkembangan koperasi selama ini yang banyak mengurusi bisnis bukan semata-mata untuk kepentingan anggotanya. Sekadar contoh, Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) yang dibolehkan memonopoli distribusi 60 persen minyak goreng curah.
Namun, Menteri Rahardi Ramelan menepis anggapan itu. "Undang-Undang Antimonopoli di negara mana pun pasti mengecualikan koperasi," ujarnya. Lagi pula, kata Rahardi, KDI melanjutkan tugas Badan Urusan Logistik, yang menguasai pasar minyak goreng hanya sebesar 15 persen?pasar yang lebih besar dikuasai swasta.
Bicara soal monopoli negara, selama ini bisnis listrik, telekomunikasi, minyak dan gas, juga jasa pelabuhan, masih dikelola badan usaha milik negara. Kelak monopoli bisnis oleh negara, menurut Rahardi, diberi catatan khusus, yaitu harus diatur dalam undang-undang yang merumuskan segala sesuatu tentang cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. "Supaya pemerintah tak gampang menerbitkan keputusan presiden yang mengecualikan suatu sektor usaha dari larangan monopoli," ujarnya.
Kecuali berbagai masalah di atas, setelah ada Undang-Undang Antimonopoli, bisakah proses dan persaingan yang sehat?dua hal yang selama ini tak ditemukan di Indonesia?terwujud? Tentang ini, Rambe hanya berkata, "Aturan pada undang-undang ini sangat tegas, sehingga diharapkan kondisi perekonomian bakal bisa lebih baik. Setiap warga negara punya hak yang sama untuk bersaing. Tak ada yang bisa mengklaim lebih berhak untuk menguasai pangsa pasar tertentu."
Happy Sulistyadi, Andari Karina Anom, dan Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini