Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku Catatan Duarte Barbosa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton Kurnia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam catatannya yang bertitimangsa tahun 1516, Duarte Barbosa, antara lain, menulis sebagai berikut:
A ilha de Çamatra tem, a leste, a ilha de Jaoa e apartam-se ambas per um canal de 10 ou 12 leguas que tem muitas ilhas pequenas, antre as quaes está Çunda que tem muita pimenta que daqui levam as naos e juncos de Malaca e doutras partes, e muitos escravos. Tem rei sobre si o qual deseja amizade dos portugueses.
[Di sebelah timur Pulau Sumatera (Çamatra) terdapat Pulau Jawa (Jaoa). Kedua pulau itu terpisahkan oleh sebuah selat sepanjang 10 sampai 12 liga (45 hingga 54 kilometer). Di sana ada kerajaan kecil Sunda (Çunda) yang memiliki banyak lada untuk diangkut oleh kapal-kapal dan jung-jung dari Malaka serta tempat-tempat lainnya, juga terdapat banyak budak. Mereka memiliki raja yang ingin bersahabat dengan orang Portugis.]
Duarte Barbosa bukan orang sembarangan. Dia merupakan penjelajah ulung Portugis dan kapten kapal yang bekerja di bawah Afonso de Albuquerque, sang penakluk Goa dan Malaka. Dia juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah yang menguasai beragam bahasa, termasuk bahasa Malayalam dan Melayu. Barbosa menghabiskan sebagian besar umurnya untuk bekerja di wilayah Asia, termasuk India dan Cina. Dia menulis catatan tentang pekerjaannya dan apa yang dia temui, alami, dan saksikan di sana. Kumpulan catatan itu kelak dikenal sebagai O Livro de Duarte Barbosa atau Buku Catatan Duarte Barbosa.
Pada 1519, Barbosa meninggalkan tugasnya di kesatuan armada Portugis dan bergabung dengan Fernão de Magalhães—kawan seumur dan sepetualangan Barbosa sejak lama—yang bertekad mengelilingi dunia dengan berlayar ke arah barat Eropa untuk menemukan Kepulauan Rempah di Timur Jauh.
Ekspedisi Magalhães yang didukung oleh Raja Carlos I, penguasa Spanyol, dengan armada berkekuatan lima kapal, termasuk Barbosa di dalamnya, berangkat pada 20 September 1519. Mereka berlayar ke Afrika dan menjauhi pantainya, lalu menyeberang ke Amerika Selatan. Magalhães dan armadanya berlayar menyusuri daratan yang kini menjadi wilayah Argentina dan Cile. Mereka kemudian meninggalkan pantai dan berlayar ke barat melintasi segara yang seakan-akan tak bertepi.
Pada Maret 1521, mereka sampai di sebuah kepulauan yang kelak dinamai Filipina—dari nama seorang raja Spanyol, Felipe. Ketika Barbosa yang diandalkan sebagai penerjemah berbicara dengan penduduk setempat, ternyata mereka bisa saling memahami.
Menyaksikan itu, Magalhães sadar bahwa dia telah hampir berhasil. Kepulauan Rempah yang menjadi tujuannya telah berada di depan mata. Dengan berlayar ke barat dari Eropa, dia telah nyaris mencapai perairan Asia Tenggara yang satu dasawarsa sebelumnya pernah dia kunjungi bersama kapal Portugis—dan Barbosa—dengan berlayar ke arah timur. Selangkah lagi dia akan berhasil mengelilingi bumi.
Namun, takdir berkata lain. Dalam satu pertempuran karena salah paham dengan para pengikut Lapu-Lapu, kepala suku Pulau Mactan, Magalhães yang bersenjatakan pedang terkena panah beracun saat berusaha melindungi anak buahnya yang terdesak mundur ke kapal. Dia tumbang di atas pasir. Selusin prajurit musuh lalu menghabisinya. Waktu itu umurnya baru 41 tahun.
Barbosa lalu diutus untuk berunding agar dapat mengambil jenazah Magalhães. Malangnya, dia tewas diracun dalam jamuan perundingan penuh muslihat yang dibuat oleh Rajah Humabon, kepala suku Pulau Cebu. Riwayat Barbosa pun berakhir. Namun, Buku Catatan Duarte Barbosa yang selesai ditulis pada 1516 selamat karena tersimpan di rumah keluarganya di Lisboa.
***
Hampir lima ratus tahun setelah Barbosa tutup usia, seorang pengelana dari Bandung bernama Bujangga Manik menemukan salinan tua Buku Catatan Duarte Barbosa di sebuah toko buku antik di Istanbul. Pada akhir musim gugur 2019 itu dia berkunjung ke Turki untuk mengikuti sebuah konferensi perbukuan internasional.
Toko buku kecil tersebut terletak di Sahaflar Carsisi—pasar buku tua—tak jauh dari alun-alun Beyazit di Distrik Fatih, tepatnya di samping Masjid Beyazit yang megah. Pasar buku itu telah ada di sana sejak abad kelima belas.
Pemilik toko itu adalah seorang perempuan paruh baya dengan pipi berlesung mungil bernama Gamze Müteferrika. Gamze memang berarti dekik pipi dalam bahasa Turki. Dia mengaku sebagai keturunan langsung Ibrahim Müteferrika, pendatang dari Hungaria yang menjadi pionir penerbitan dan percetakan buku di Turki pada 1726. Sebelumnya, yang diperjualbelikan di sana hanyalah manuskrip dan perkamen hasil tulisan tangan. Gamze mewarisi toko buku itu dari almarhum ayahnya, Mehmet Müteferrika. Dia menjaga tokonya seorang diri. Hanya ditemani seekor kucing angora jantan berbulu kelabu.
Manik mengetahui toko buku Gamze dari kawan baiknya, Nenad Saponja—penyair dan pemilik sebuah penerbit buku sastra dari Novi Sad, Serbia, yang kerap berkunjung ke Istanbul dan memiliki banyak teman di sana. Nenad mengenal Gamze dari sahabatnya yang memang warga Istanbul, Nermin Kalem. Nermin adalah seorang perempuan mandiri penuh semangat yang bekerja sebagai agen naskah internasional. Dia memiliki rumah megah warisan keluarga di tepi Selat Bosphorus. Saat berada di Istanbul, Nenad selalu menyempatkan diri mengunjungi kediaman Nermin. Mereka biasanya bercengkerama di atap lantai teratas rumah Nermin—duduk santai saat senja menikmati raki atau anggur putih seraya menatap pemandangan indah sekitar perairan yang memisahkan Benua Eropa dan Asia.
Manik sangat gembira saat tanpa terduga menemukan salinan Buku Catatan Duarte Barbosa di toko buku Gamze. Sudah lama dia mendengar tentang naskah langka itu dan ingin memilikinya, tetapi tak menduga akan menemukannya di Istanbul. Saat mengunjungi toko buku itu bersama Nenad, semula Manik hanya berniat melihat-lihat tanpa mencari buku tertentu.
Manik telah bertahun-tahun menjelajahi toko-toko buku tua di banyak kota di berbagai belahan dunia—Beijing, Dubai, Frankfurt, Paris, Praha, Bratislava, Wina, Budapest, Krakow, London, sampai Edinburgh. Namun, dia tak pernah menemukan Buku Catatan Duarte Barbosa yang diam-diam dia idam-idamkan.
Selain pengusaha penerbitan yang cukup berhasil, Manik adalah kolektor buku dan naskah kuno, terutama yang berkaitan dengan segala hal tentang Sunda. Di rumah tiga lantai miliknya di Antapani, Bandung, dia memiliki koleksi ribuan buku; sekitar seribu di antaranya merupakan koleksi berharga tentang Sunda—termasuk manuskrip-manuskrip langka yang dia dapatkan dari berbagai tempat di dalam dan luar negeri.
Di antara koleksi kebanggaan Manik terdapat salinan naskah Zhu Fan Zhi yang berarti Gambaran tentang Bangsa-bangsa Biadab karya Zhao Rukuo, pengawas pabean dan penulis kronik dari Kota Quanzhou, Fujian, satu wilayah di pesisir selatan Cina, pada era wangsa Song. Kompendium catatan yang selesai ditulis pada 1225 itu merekam penuturan para pelaut asing dan pengembara Cina yang sampai ke Fujian tentang keadaan di negeri-negeri yang jauh dan orang-orangnya—termasuk Kerajaan Sunda. Zhao Rukuo sendiri tidak pernah menginjakkan kaki di tanah Sunda sepanjang hayatnya.
Naskah Zhu Fan Zhi kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris secara tidak lengkap serta dengan banyak kesalahan oleh Friedriech Hirth dan William Rockhill pada 1911. Manik juga memiliki naskah terjemahan itu. Namun, yang jauh lebih berharga adalah salinan lengkap edisi asli jilid pertama dalam aksara Cina dari abad kelima belas yang dia dapatkan dengan harga tinggi di sebuah toko barang antik di kawasan kota tua Semarang. Sesungguhnya naskah itu terdiri atas dua jilid. Jilid kedua yang tak dimiliki Manik berisi katalog barang dagangan yang diimpor oleh Cina.
Bisa jadi naskah itu sampai ke Pulau Jawa dibawa oleh Wang Jinghong, juru mudi kapal dan orang kepercayaan Zheng He—laksamana muslim era wangsa Ming yang tujuh kali melawat ke Nusantara pada awal abad kelima belas. Menurut salah satu versi sejarah yang dipercayai banyak orang, Wang Jinghong menderita sakit keras dalam perjalanan di Laut Jawa pada 1416, sehingga kemudian dia diturunkan dan dirawat di Pantai Simongan, Semarang. Diyakini, setelah sehat, dia lalu menetap di Semarang hingga akhir hayatnya. Oleh penduduk setempat dia dikenal dengan sebutan Dampo Awang.
Manik juga diam-diam memiliki cuplikan asli naskah langka Perjalanan Bujangga Manik yang ditulis dalam bahasa Sunda Kuno di atas pelepah daun nipah. Naskah kuno dari abad kelima belas itu mengisahkan petualangan seorang pangeran pengelana dari Kerajaan Sunda bernama Bujangga Manik alias Prabu Jaya Pakuan atau Ameng Layaran yang menjelajahi Jawa dan Bali. Menurut catatan sejarah resmi, naskah puisi naratif itu seluruhnya terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi 55 baris kalimat yang tiap-tiapnya terdiri atas delapan suku kata. Sejak 1627 seluruh naskah itu tersimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford, Inggris, sebagai hasil jarahan Andrew James—pelaut Inggris yang ikut dalam pelayaran Sir James Lancaster ke Banten pada 1601.
Yang tak diketahui orang banyak, sesungguhnya naskah aslinya terdiri atas 30 lembar daun nipah. Lembar pertama yang merupakan semacam puisi pengantar penuh perlambang misterius berhasil dimiliki oleh Manik melalui perjuangan berliku. Dari tokoh Bujangga Manik itulah ayah Manik yang ahli filologi memberi nama anak tunggalnya lebih dari empat puluh tahun silam.
Kini ayah Manik telah tiada. Namun, kedekatannya dengan naskah kuno dan buku-buku terwariskan kepada Manik hingga dia dewasa. Seperti Bujangga Manik dalam naskah lama, Manik pun tidak pernah menikah meski dia telah menginjak masa setengah baya. Ibunya, yang sudah kebelet ingin menimang cucu, berkali-kali berupaya mengatur perjodohan. Namun, Manik selalu menolak dengan halus. Dia lebih suka hidup sendiri bersama buku-buku.
Di toko buku tua milik Gamze di Istanbul, di hadapan naskah Buku Catatan Duarte Barbosa yang menguarkan aroma khas kertas lawas, Manik terkenang kepada mendiang ayahnya yang telah mengajari dia banyak hal berharga dalam hidupnya—terutama yang terkait dengan naskah kuno dan buku-buku.
Manik harus menebus naskah langka itu dengan harga sangat tinggi. Namun, dia tak peduli. Dalam situasi tertentu, uang tak penting lagi. Lagi pula, uang lebih mudah dicari. Sementara itu, kesempatan bertemu dengan naskah itu mungkin tak akan datang dua kali. Bahkan, seperti sebaris larik yang pernah dia baca dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik, jika perlu dia akan “menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau” demi mendapatkan koleksi berharga yang dia idamkan.
***
Manik sungguh bungah saat dia lepas landas dalam pesawat Turkish Airlines TK 467 dari Bandara Attaturk pada sore 22 November 2019 dengan naskah salinan Buku Catatan Duarte Barbosa tersimpan aman di dalam salah satu kopernya di ruang bagasi. Pesawat itu terbang menuju Odessa, Ukraina. Menurut rencana, dari Odessa, Manik akan bertolak ke Jakarta via Moskow tiga hari kemudian. Sebelum kembali ke Bandung via Jakarta, Manik hendak menemui salah satu kekasih gelapnya yang sudah lama tak dia jumpai. Rasa senang bergelora di dadanya karena berhasil memiliki koleksi langka berbaur dengan denyar rindu yang bergejolak minta dilampiaskan.
Andriy Denysenko adalah mantan pemain sepak bola yang terpaksa pensiun dini akibat menderita cedera lutut. Dia kini mencari nafkah dengan membuka sebuah toko alat-alat olahraga. Manik berkenalan dengan Andriy tiga tahun sebelumnya di Frankfurt. Waktu itu Manik menghadiri Frankfurt Buchmesse—pameran buku terbesar dan tertua di dunia. Sementara itu, Andriy datang untuk berlibur.
Mereka berjumpa tak sengaja di sebuah bar khusus gay di kawasan Kaiserstrasse, lalu berlanjut menjadi sepasang kekasih meski saling berjauhan dan tak bisa sering berkencan. Setelah pertemuan di Frankfurt, Manik sekali mengunjungi Andriy di Odessa. Lalu, mereka bertemu lagi saat Andriy berlibur di Bali. Setahun telah lewat sejak terakhir mereka berjumpa: pada musim gugur yang lalu mereka menghabiskan saat-saat indah bersama di Budapest.
Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang punya kuasa. Manik merasa bahagia karena berhasil memiliki Buku Catatan Duarte Barbosa. Namun, kebahagiaannya tak berlangsung lama.
Setelah menolak dijodohkan, Bujangga Manik di dalam naskah kuno mencangking tasnya yang berisi sebuah buku besar (apus ageung) tempat dia mencatat segala hal dan berkata kepada ibunya bahwa dia akan pergi ke timur untuk menuju tempat dia kelak akan dikuburkan, mencari “laut untuk hanyut, tanah untuk rebah, tempat untuk mati”.
Setelah berhasil mendapatkan Buku Catatan Duarte Barbosa di Istanbul, Bujangga Manik dalam kisah ini tak pernah kembali ke tanah asalnya. Dia bahkan tak sempat berjumpa dengan kekasihnya. Pesawat yang dia tumpangi jatuh di Laut Hitam di lepas Pantai Odessa saat hendak mendarat. Penyebab kecelakaan tidak diketahui secara pasti.
Menurut data statistik, pesawat terbang adalah moda transportasi teraman di dunia. Kemungkinan seseorang meninggal akibat kecelakaan pesawat hanyalah 1 berbanding 29,4 juta. Namun, saat kecelakaan pesawat terjadi, kemungkinan seseorang selamat cuma 24 persen.
Catatan Duarte Barbosa tentang Kerajaan Sunda yang ditemukan oleh Bujangga Manik di Istanbul terkubur di laut bersama jasad 134 penumpang dan awak pesawat Boeing 737-800 yang bernasib nahas. Salinan naskah langka itu tak pernah sampai ke tatar Sunda.
Istanbul, Maret 2021—Ponggok, Januari 2022
Anton Kurnia menulis cerpen, esai, dan nonfiksi naratif. Kumpulan cerpen pertamanya, Insomnia (2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai A Cat on the Moon and Other Stories (2015) dan ke bahasa Arab sebagai Qithah ’alal Qamar (2020)—diterbitkan di Kairo, Mesir. Buku cerpen terbarunya yang akan terbit tahun ini adalah Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo