Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sisik Dajal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jemmy Piran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pastor Yuventius sudah memikirkan hal ini, bahwa suatu waktu Tuhan akan mengirim kutukan untuk menghalaunya dari tanah dan umat yang telah ditahirkannya dengan berkat. Tanah yang telah ia sucikan dan orang-orang yang telah dipermandikannya, pada suatu pagi, terkesiap bangun ketakutan lantaran mendengarkan teriakan Wilhelminus, sang koster, saat hendak membuka pintu gereja. Telah ditemukan sesosok lelaki dengan tubuh penuh sisik di samping gereja, meringkuk kedinginan dalam keadaan telanjang.
Kabar kemunculan orang asing dengan tubuh penuh sisik menggemparkan umat yang berada di lembah yang selalu dipenuhi dengan kabut hingga ke pusat paroki yang berada di lain lembah.
Karena penasaran dan tidak ingin membuat umat kembali mempercayai hal-hal konyol, Pastor Yuventius, yang telah bertahun-tahun menetap dan mengajari warga berdoa dan hidup teladan, bergegas ke stasi yang berada di lembah itu.
Sang pastor tidak bisa membayangkan bagaimana warga pemuja burung gagak dan kunang-kunang yang telah diajarnya berdoa sebaik dan sebenar-benarnya berbelok dan tersesat. Atau kembali menyembah burung dan kunang-kunang. Ia merasa sebagai seorang pastor yang paling malang.
Setelah bertanya kepada Wilhelmus perihal lelaki bersisik itu, pergilah sang pastor menemui lelaki itu.
“Bagaimana kau bisa muncul di lembah yang damai ini?” tanya Pastor Yuventius.
Orang asing bersisik tidak menjawab, tidak juga memberikan rasa hormatnya sebagaimana yang dilakukan warga kepada sang pastor. Ia menjulurkan lidahnya.
Lelaki bersisik itu menembakkan pandangan mengancam. Beberapa lelaki langsung mengamankannya karena takut orang itu menyerang sang pastor. Jika hal itu terjadi, lelaki itu jelas tak terampunkan.
Pastor Yuventius memejamkan mata, mulutnya terlihat komat-kamit. Betapa umat mengharapkan keajaiban segera terjadi pada saat itu.
“Apa kau muncul dari kerak neraka di Selatan sana?”
Tidak ada jawaban. Karena setiap pertanyaan selalu dijawab dengan diam dan pandangan mengancam, sang pastor berseru lantang kepada semua orang, “Ia keturunan dajal!”
Seruan itu disambut dengan gelegak geram umat yang berkumpul. Mereka bersiap-siap merajah.
Orang asing bersisik mulai mendesis, seperti merapal sesuatu yang tidak jelas manakala Pastor Yuventius melambungkan doa untuk mengusir kutuk. Doa yang sedang khusyuk itu tetiba terobrak-abrik karena konsentrasi umat pecah oleh tujuh orang yang tiba-tiba kesurupan.
Kerumunan menjadi tak beraturan saat ketujuh orang itu melompat ke tengah, membentuk lingkaran mengelilingi orang asing bersisik. Mereka kemudian mencakar-cakar tanah, mendesis-desis, dan bersiap-siap menyeruduk.
Saat beberapa lelaki menyerobot maju hendak menggasak, ketujuh orang itu tiba-tiba menguik-nguik lantang seperti babi. Para lelaki kekar itu terpaku. Mereka tidak mau seumur hidup mereka menjadi terkutuk karena membunuh binatang yang paling rakus dan berisik.
Umat yang putus asa melempar pandang ke arah sang pastor.
“Bagaimanapun juga,” kata Pastor Yuventius, “Ketenangan lembah ini akan terusik. Malapetaka akan menimpa kita jika tidak membunuh. Mereka iblis!”
Namun siapa yang berani? Mereka takut diseruduk karena tiap waktu, tabiat ketujuh orang itu semakin menyerupai babi. Liur meluncur seperti air di sudut bibir ketujuh orang kesurupan itu.
Umat berharap sang pastor menggunakan karismanya untuk melenyapkan orang asing bersisik dan tujuh warga yang kesurupan. Atau setidaknya menjinakkan mereka agar terhindar dari amuk.
***
Karena belum berhasil membunuh delapan dajal itu, para lelaki mulai berkumpul meminta restu, doa, dan tumpangan tangan dari sang pastor agar mereka dijauhi dari mara bahaya.
“Darah mereka sama seperti darah orang-orang kafir,” kata Pastor Yuventius.
“Jika kami mati, surga menjadi jaminan untuk kami?”
Sang pastor mengangguk tenang. Bagaimana mereka tidak percaya pada kata-katanya, sementara mereka sendiri telah menyaksikan keajaiban-keajaiban yang ia perbuat. Ia berjalan di tengah hujan tanpa sedikit pun kebasahan. Atau berjalan di atas air, melayang dari satu pohon ke pohon yang lain. Menjinakkan semua satwa liar dan buas di hutan.
Pernah mereka bertanya bagaimana ia bisa memperoleh semua keajaiban itu.
“Kami ingin sepertimu.”
“Setidaknya sebelum mati, kami bisa berpencar membagikan ajaranmu.”
Di lain kesempatan, Pastor Yuventius mengatakan, “Semua yang kuperoleh berasal dari Allah. Semua keajaiban yang kalian saksikan terjadi karena aku telah menuruti semua perintah dan menjauhi larangan yang tertulis dalam kitab kita.”
Sang pastor memandang orang-orang muda yang datang kepadanya. Dengan suara rendah dan penuh wibawa, ia berkata, “Membunuh mereka adalah pekerjaan agung.” Ia diam, memandang pada kejauhan, “Ini ujian terakhir dariku sebelum aku ke Utara, mengajari umat di sana.”
***
Mereka menyusun siasat untuk membasmi orang-orang yang telah dirasuki itu. Ada yang mengusulkan mereka sebaiknya disalibkan dengan kepala ke bawah. Yang lain menambahkan, sebelum mati, sebaiknya mereka dikuliti sedikit demi sedikit. Atau menenggelamkan mereka ke dasar laut di balik bukit.
Namun lagi-lagi mereka teringat ajaran yang dibawa sang pastor bahwa semua satwa tak boleh dibunuh karena segala yang hidup diciptakan dari tangan yang suci.
“Apakah diperbolehkan membunuh seekor babi?”
“Apakah kami menjadi najis hingga tujuh turunan?”
Pastor Yuventius tahu muara dari pertanyaan tersebut. Delapan orang yang telah kerasukan satwa liar telah mereka anggap sebagai celeng.
Ia menatap mereka tanpa suara, meludah, menunduk, dan membuat lingkaran kecil dengan telunjuknya mengelilingi ludahnya. Ia mengambil sedikit tanah, menabur di atas ludahnya, mengaduk hingga rata.
“Tubuh kalian akan bersih dari segala kenajisan walau tanganmu berhasil membunuh mereka.”
Ia kemudian membagi gumpalan tanah basah itu kepada mereka. Ia menatap mereka dan berkata, “Jiwa kalian akan bersih dari dunia dan akhirat.”
Perkataan tersebut membuat ingatan mereka terlempar ke khotbah sang pastor sendiri. Mereka berharap jiwa mereka tidak masuk ke sembilan pusaran neraka, tapi mereka akan langsung disambut di gerbang kesembilan di surga.
Setelah dari tempat itu, mereka mempersiapkan diri dengan banyak berdoa dan berzikir. Dua malam berturut-turut mereka melantunkan ayat-ayat suci. Mereka membayangkan bahwa ini tidak sekadar membunuh orang-orang yang kerasukan roh celeng, tapi lebih dari itu.
“Ini adalah perang,” begitu mereka mempercakapkan, saling menguatkan sesama. “Kita adalah pahlawan yang dipakai untuk mengenyahkan dajal.”
Ketika malam yang telah ditentukan tiba, mereka mengepung delapan orang yang kerasukan roh celeng itu dalam diam. Malam bulan purnama, tanpa awan menutup langit. Tiba-tiba mereka diselimuti gumpalan hitam yang entah dari mana. Sembari berbisik perlahan saling menguatkan, mereka sangat merasakan keringkihan yang tak terperikan. Ada yang bagai menganga dalam rongga dada mereka. Sesuatu yang membuat mereka bagai tiada berdaya.
“Mengapa kalian ingin membunuh mereka?”
Suara itu bagai mengambang dalam udara.
Mereka tetap melangkah maju. Namun, sebelum kelewang yang mereka bawa menyentuh delapan orang yang sedang terlelap, tiba-tiba, begitu saja mereka terpental ke belakang, seperti ada kekuatan tak kasatmata yang berasal dari orang-orang di hadapan mereka. Warga yang menyaksikan dan mengalami hal tersebut semakin percaya bahwa kedelapan orang yang telah kerasukan roh celeng adalah dajal yang menjelma.
Mereka mencoba lagi, tetapi kembali terpental. Setelah beberapa kali, mereka menyerah. Begitulah suatu keajaiban yang tengah terjadi di antara mereka. Apakah Tuhan senang melihat tanah dan umat yang telah diberkati ini dikotori celeng? Mengapa tidak ada penaklukan di tanah suci ini?
Jika tetap dibiarkan, mereka percaya bahwa akan datang masa di mana wabah-wabah mematikan menjangkiti mereka. Mereka sampai gemetaran membayangkan tubuh mereka yang telah suci dipenuhi dengan sisik-sisik menjijikkan.
***
Banyak hal yang sebelumnya terlihat baik-baik saja, kini berubah. Lembah yang sebelumnya terasa damai, kini bagai dipenuhi dengan aib yang mesti segera dilenyapkan. Satwa-satwa liar yang telah dijinakkan kembali liar. Tak jarang umat diseruduk oleh binatang penghuni hutan.
Pastor Yuventius melihat ini sebagai ancaman serius. Ia tahu dan sadar bahwa delapan orang itu telah menjadi momok untuk misinya. Ia seperti telah melihat kehancuran yang tak mampu dihentikan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dari teman pastor di keuskupan. Ia dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan.
Ia mencoba menghibur diri, tetapi desakan umat untuk melenyapkan delapan orang itu membuatnya tidak bisa tenang. Ia merasa bagai sedang terjadi badai dalam dirinya. Ia sadar, delapan orang yang kerasukan itu bukan roh yang mudah ditaklukkan.
Pada malam-malam tertentu, ia bermimpi melihat ular berbicara kepadanya. Tidak jelas apa yang didesiskan ular itu, tetapi ia yakin bahwa ada ancaman. Ia berpikir jangan-jangan ular itu adalah Lilith.
Pastor Yuventius menemukan satu kenyataan bahwa ia adalah makhluk lemah dan sosok yang fana. Malam lain, ia bermimpi dikurung oleh sekumpulan celeng. Setelahnya, tubuhnya dicabik-cabik binatang bermoncong bau itu. Ia tergeragap bangun dengan tubuh dipenuhi butir-butir keringat. Ia lantas bersujud, berdoa memohon pertolongan.
Pastor Yuventius tidak habis pikir dan mempertanyakan apakah Tuhan masih mendengarkannya. Atau setidaknya Tuhan memberinya tanda-tanda. Ia bertanya mengapa Tuhan mempermainkan dan mempermalukannya di depan umatnya. Ia tampak tidak berdaya.
Waktu terus melaju. Belum ada tanda-tanda delapan orang itu terbebas dari roh celeng, tetapi justru bertambah sembilan orang. Perkembangan mereka semakin buruk. Semakin kuat dan kadang mulut mereka penuh dengan buih putih.
Sang pastor pada suatu hari berjalan ke arah bukit, yang bagian ujungnya berhubungan langsung dengan laut. Orang-orang yang melihat orang suci itu berjalan ke sana segera menahannya, karena di sanalah ia pernah meyakinkan orang-orang bahwa ada 77 iblis bersemayam. Hal ini terbukti dengan banyaknya kelelawar yang bergelantungan di pohon-pohon tinggi dan batu-batu yang menjadi dinding untuk menghalangi bukit tersebut.
Seorang penasihat, orang dituakan di kampung itu, menegur sang pastor.
“Percayalah, aku akan kembali dengan berita bagaimana membunuh mereka yang kerasukan itu,” ia meyakinkan.
Ia kemudian berangkat disaksikan oleh semua orang, tak terkecuali orang-orang yang telah kerasukan roh celeng. Di sana ia bersila di atas batu besar dan bertapa.
Singkatnya, ia menemukan suatu pencerahan. Terjadi pada suatu hari saat ia memandang ke arah perkampungan, di sebuah lapangan luas. Ia tersenyum-senyum.
Setelah turun dari bukit keramat itu, ia memanggil 99 lelaki yang paling kuat di perkampungan itu.
***
Hari yang ditentukan tiba. Sebanyak 99 orang kepercayaan imam Najiba menggiring orang-orang yang kerasukan roh celeng ke tengah lapangan. Sedangkan Wilhelmus mempersiapkan segala sesuatu untuk sang imam.
Tak ada cara selain mereka semua harus bersama-sama melantunkan ayat-ayat suci.
Bersama Pastor Yuventius, ketika matahari mulai tenggelam, mereka membakar kemenyan.
Saat ayat-ayat suci dilantunkan dan keheningan langit bagai turut sembahyang bersama mereka, tiba-tiba tubuh orang-orang yang kerasukan roh celeng bergetar.
Ketika orang-orang masih khusyuk dan memejamkan mata, tubuh orang asing bersisik itu satu per satu terkelupas. Ia berubah wujud menjadi seperti Pastor Yuventius. Pada saat yang sama, tubuh Pastor Yuventius yang asli raib begitu saja. Enam belas orang kerasukan itu turut serta menghilang bersama orang suci itu.
Setelah melantunkan ayat-ayat suci, jemaat yang hadir membuka mata. Mereka tidak lagi menemukan orang-orang yang kerasukan roh celeng.
Mereka memandang Pastor Yuventius, jelmaan dari orang asing bersisik itu dengan penuh rasa takzim dan hormat yang luar biasa.
Waimana, 2022
Jemmy Piran, lahir di Sabah, Malaysia. Alumnus PBSI pada Universitas Nusa Cendana, Kupang. Cerpen-cerpennya tersiar di beberapa koran. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul Obituari Sebutir Telur, Seekor Ayam, dan Babi (Basabasi, 2018). Lalu dua novelnya yang telah terbit berjudul Wanita Bermata Gurita (Laksana, 2020) dan Dalam Pelukan Rahim Tanah (Basabasi, 2021).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo