Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARAK dari Kota K ke Pesisir berkisar sekitar seratus dua puluh kilometer. Butuh waktu dua setengah jam sampai di sana bila naik kendaraan pribadi. Sedangkan bersama PO Janti, satu-satunya jasa layanan transportasi ke Pesisir, menghabiskan waktu paling tidak tiga setengah jam ditemani bus-bus tua berkarat, dan itu belum termasuk mogok atau pecah ban di tengah jalan. Dan di seberang bengkel tempat majikanku bekerja ini, bus-bus reyot itu mengetem sebelum melanjutkan perjalanan ke Pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempat itu bukanlah sejenis terminal, melainkan sisa pelataran parkir sebuah toko kelontong yang tidak sengaja dijadikan pangkalan tembak. Pemiliknya, lelaki setengah baya bernama Man, secara sadar baru saja menambah gelar keagamaan pada nama toko itu tak lama setelah pulang dari Tanah Suci. Tidak hanya itu, dia bahkan tak mau lagi menjual minuman beralkohol dan bersoda. “Haram!” katanya kepada majikanku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikianlah semua kerat-kerat stok bir dan minuman bersoda diberikan kepada majikanku. Kukira itu cuma-cuma, tapi Haji Man malah melepasnya setengah harga.
***
MEREKA menyebut Kota K kota mati. Tak ada kehidupan yang layak dinikmati bila matahari telah terbenam. Toko Haji Man dan bengkel majikanku cuma dipisahkan jalan selebar badan bus. Padahal itu jalan antarprovinsi. Karena sebegitu dekatnya, saban hari aku bisa melihat kelakuan-kelakuan aneh Haji Man dan orang-orang di pangkalan tembak.
Majikanku bekerja tak kenal waktu. Saat mesin gerinda masih menyala atau besi-besi masih berdentingan hingga larut malam, artinya aku masih memiliki kesempatan melimpah menyaksikan lelaki tua, yang selalu pakai baju batik lengan panjang sewarna tembaga, celana gelap kusam, dan kopiah beludru buluk, menanti tumpangan pulang di depan toko tersebut.
Ia seorang penjual ikan keliling dari Pesisir. Orang-orang memanggilnya Ajo Pakak karena pendengarannya memang rada bermasalah. Umurnya 70-an tahun, kukira. Suaranya lantang. Berbadan jangkung. Dan berjalan pincang. Orang-orang selalu menawar dengan permainan jari atau bila tidak mereka pasti meninggikan suara sewajarnya untuk menyepakati harga.
Ia rutin menyambangi kota ini kecuali hari Jumat. Di setiap kunjungannya, surau dekat rumah majikanku selalu jadi tempat pertama yang ia tuju. Selain jadi tempat menitip gerobak merah yang kelak menemaninya berjualan, di sana pula pak tua itu menata barang dagangannya sebelum menjajakan keliling kota.
Dalam hitungan menit saja, di atas gerobak itu telah berjejer rapi ikan padang, ikan serai, cumi, serta udang, yang terbungkus plastik bening bersama berbongkah balok es dalam lambung baskom anti-pecah. Hampir selalu, entah karena iba atau memang butuh, istri majikanku jadi orang pertama yang meringankan bebannya.
Setelah itu, ia mulai berjalan terseok-seok, sambil berteriak lantang, “Lawuak! lawuak!”
***
DI depan toko Haji Man ada meja panjang dan lima buah bangku, masing-masing terbuat dari potongan batang kelapa setinggi dua kaki. Meskipun Ajo Pakak sering duduk menunggu tumpangan di sana, aku belum pernah melihatnya bercakap-cakap dengan si pemilik tempat. Sebaliknya, aku sering memperhatikan Haji Man menutup toko lebih cepat apabila Ajo Pakak duduk di sana.
Malam ini pak tua kembali duduk di sana. Kedua tangannya memeluk lutut. Sementara Haji Man mulai mengemasi barang-barangnya. Di sana sangat terang, sehingga tampak jelas mata Ajo Pakak yang sayu menatap jalanan yang kosong. Ia tabah, bergeming menahan dingin menanti tumpangan pulang. Tak lama berselang, pak tua itu berdiri sembari merogoh kantong celana, menarik beberapa lembar uang kemudian berjalan masuk ke dalam toko.
“Sampurna hijau lah ciek.”
Haji Man menghentikan kegiatan sesaat. Ia berjalan ke belakang etalase. Jari-jarinya cekatan menyibak kotak-kotak rokok.
“18 ribu ,” ujarnya setengah berteriak.
Ajo Pakak terkejut. Ia melongok sesaat sebelum berkata, “Ondeh mandeh! Ka naiak haji angku sakali lai?”
Tertegun lama menimbang penuh perhitungan, ia mengembalikan uang itu ke saku dan berjalan keluar, duduk di tempat semula. Tak lama berselang, terdengar bunyi pintu terali saling beradu. Ajo Pakak terkesiap, segera kembali ke dalam.
“Samsu lah sabatang.”
Api menyala. Asap mengepul. Ia taruh korek di atas meja lalu menikmati tiap embusan. Terlepas dari keriuhan di bengkel majikanku, malam ini jalanan benar-benar lengang sehingga sedikit percakapan tadi terdengar begitu jelas selain fakta bahwa intonasi Ajo Pakak yang lantang, tentu saja.
Toko Haji Man sudah tutup. Lampu-lampunya dimatikan, kecuali satu lampu besar yang berada tepat di atas kepala Ajo Pakak. Laron-laron pindah. Berkumpul pada satu lampu itu.
Majikanku masih sibuk bekerja. Sesungguhnya aku tak pernah tahu apa yang ia kerjakan sebab aku sendiri belum pernah masuk ke sana. Aku hanya berharap ia selesai larut malam atau bahkan sampai subuh agar aku dapat menikmati malam lebih panjang bersama Ajo Pakak.
***
PANCARAN kuning dari arah timur kembali membangunkan Ajo Pakak dari lamunan panjang. Ia bangkit untuk ke sekian kalinya dan bersumpah bakal menaklukkan kali ini. Sesaat kemudian ia sudah berada di pinggir jalan, persis melakukan hal serupa seperti sebelumnya; mengangkat baskom dan mengayunkannya berulang kali.
Ia tampak tak peduli apakah itu mobil pribadi, berpelat merah, truk tronton atau truk tangki minyak sekalipun. Ia cuma ingin satu dari sederet mobil itu berhenti dan memberinya tumpangan pulang. Dan mobil bak pengangkut kelapa itu sudah jadi mobil kedelapan sasaran makiannya malam ini.
Aku sering bertaruh dengan diriku sendiri tentang seberapa besar peluang Ajo Pakak dapat menghentikan mereka. Seperti dugaanku, mobil-mobil itu tak pernah berhenti atau setidaknya memberi kesempatan buat menemuinya. Dan Ajo Pakak memilih duduk kembali daripada harus berdiri di pinggir jalan sebab ia tahu butuh waktu lama agar kendaraan berikutnya datang.
Sejujurnya kejadian itu lebih membuatku geli daripada jatuh iba. Tak jarang aku cekikikan sendiri menyaksikan sopir-sopir itu menghujaninya dengan klakson panjang bertubi-tubi. Terlebih ketika ia bersungut-sungut, memaki balik para sopir itu dengan umpatan-umpatan yang khas.
***
MALAM kian larut. Pohon-pohon kelapa dekat surau berayun mengikuti embusan angin. Rokok tinggal puntung namun dingin semakin menusuk. Barangkali itulah yang menggerakkan raga pak tua mengumpulkan sampah-sampah di halaman toko Haji Man dan menyatukannya dengan sampah-sampah di pangkalan tembak, lantas membakarnya dalam kaleng cat bekas. Api menyala. Tapi hanya sebentar. Plastik dan kertas berubah menjadi abu hanya dalam hitungan detik.
Ia bergerak lagi. Menyeberangi jalan menuju pondok mebel tepat di sebelah bengkel majikanku. Ketika menyeret kakinya, aku melihat kurok meruyak di mata kaki kirinya yang barangkali penyebab ia berjalan pincang.
Di pondok mebel ia mencomot kayu-kayu kecil bekas olahan yang terbuang. Saat sibuk mengumpulkan kayu-kayu, mobil ke sembilan melintas dengan pelan. Mobil Kijang. Aku yakin ia tak menyadari kehadirannya sebab ia membelakangi jalan. Ingin rasanya aku keluar dan berlari ke depan sambil berteriak, “Berhenti. Tolong berhenti!”
Jelas itu takkan terjadi dan mobil tetap melaju dengan pasti.
Ajo Pakak baru menyadari begitu berbalik badan hendak kembali ke tempat semula. Ia menggeleng ketika melihat dua cahaya merah berpendar di kejauhan. Ia kemudian menyusun kayu-kayu kecil itu lalu membakarnya bersama kertas rokok sebagai pemicu. Api kembali menyala.
Ia duduk menghadap ke pijar itu, memberi ruang agar kakinya hangat sambil bersandar ke tubir meja. Lalu ia menyibukkan diri mematahkan kayu-kayu sebelum memasukkan satu demi satu ke dalam bara.
***
BEBERAPA saat kemudian majikanku selesai bekerja. Ia segera memindahkanku ke dalam rumah, lantas tibalah waktu kami berpisah. Bengkel dikunci, seluruh lampu dimatikan.
Sebelum membawaku ke dalam, ia menelungkupkan kursi di teras agar anjing atau kucing liar tidak tidur di sana sebab majikanku alergi terhadap bulu-bulu mereka.
Melihat Ajo Pakak masih berada di depan toko Haji Man, ia pergi menemuinya. Kulihat ia menawarkan rokok sembari mengajaknya pindah ke teras jika ingin bermalam. Tapi Ajo Pakak hanya memilih tawaran pertama.
Di dalam rumah aku tak bisa lagi melihat Ajo Pakak. Pandanganku terhambat tirai tebal. Ventilasinya tinggi sehingga aku hanya bisa melihat papan nama “Toko Haji Man”.
Aku harap ia menerima tawaran majikanku agar kami bisa berdekatan. Namun aku lebih berharap pada setiap mobil yang melintasi jalan ini berhenti dan memberinya tumpangan pulang.
Hari telah berganti. Dalam hitunganku, sudah dua belas mobil yang lewat dan tak terdengar sedikit pun tanda-tanda mereka berhenti. Dan dalam lamunan menjelang kantukku datang, entah mengapa aku sangat memikirkannya.
Ada satu hal yang tak bisa kupahami. Aku memang baru tinggal di sini. Aku tak tahu seberapa jauh perjalanannya mengelilingi kota ini hingga memutuskan pulang ke Pesisir terlepas dari dagangannya habis atau tidak—tapi satu hal yang pasti, ia tak pernah pulang sebelum lewat pukul sepuluh malam.
Padahal sebagai orang Pesisir, seharusnya ia tahu bus terakhir yang membawanya pulang berangkat pukul enam petang. Dan sepengetahuanku, aku belum pernah melihatnya pulang pada jam-jam itu. Justru kulihat ia baru berada di sana ketika malam tiba dan kadang bisa lebih larut lagi.
Maksudku, bagaimana mungkin pak tua itu selalu terlambat mencari tumpangan pulang, sementara aku yakin ia tahu bus terakhir berangkat petang? Yang paling mengherankanku, saban pagi, pukul delapan ia telah kembali di kota ini. Kau tahu maksudku, kan? Bagaimana pak tua itu menemukan jalan pulang?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo