Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TWILIGHT
Sutradara: Catherine Hardwicke
Skenario: Melisa Rosenberg, berdasarkan novel Stephenie Meyer
Pemain: Kristen Stewart, Robert Pattinson, Billy Burke, Peter Facinelli, Taylor Lautner
Produksi: Summit Entertainment
MEREKA menyebut dirinya The Twilighters. Mudah ditebak, ini adalah penggemar novel Twilight karya Stephenie Meyer yang sedang digila-gilai anak-anak remaja (cewek) seantero dunia, termasuk Indonesia. Syahdan para Twilighters Indonesia itu menulis petisi kepada pihak bioskop 21 yang isinya kira-kira: kenapa film yang diangkat dari novel yang mereka gemari itu baru akan ditayangkan di Indonesia pada Desember? Kenapa bukan November, seperti di Amerika? Kenapa? Kenapa?
Sampai pekan lalu, penanda tangan petisi itu berjumlah 1.400 orang. Ini segelintir kecil dari pembaca novel Twilight—yang kini sudah ada sekuelnya, yakni New Moon, Eclipse, dan Breaking Dawn. Film yang sudah beredar pekan lalu di Amerika Serikat itu berhasil meraih US$ 70,6 juta (Rp 720 miliar) pada hari pertama; angka ini menempatkan Twilight di posisi pertama pekan lalu sebagai peraih box office (tempat kedua adalah film Quantum of Solace yang pekan itu menempat posisi kedua).
Inikah film yang disebut-sebut diramalkan akan seheboh film-film Harry Potter? Ngngng…. (garuk kepala dulu, ah)… begini: mari kita lihat kisahnya. Dan bisa kita lihat apa betul novel dan filmnya ini bisa seheboh fenomena Harry Potter: Isabella Swan, yang lebih suka dipanggil Bella (diperankan si jelita Kristen Stewart), baru saja pindah dari Phoenix, Arizona, yang penuh matahari ke kawasan Fork, Washington, yang basah oleh hujan. Sang ibu—yang sudah bercerai dengan ayahnya—baru saja kawin lagi. Bella memilih tinggal bersama ayahnya untuk sementara. Film dibuka dengan pernyataan Bella, ”Inikah rasanya saat menjemput kematian….” Seekor kijang berkelebat dan disambar oleh sesosok ”makhluk” di hutan yang muram.
Lalu wajah Bella yang berkenalan dengan desa kecil Fork berpenduduk 3.120 orang itu di atas mobil Charlie, ayahnya, seorang kepala polisi di desa itu. Seorang duda yang tak pandai berkata-kata, yang sangat mencintai putri tunggalnya itu. ”Kelebihan Ayah, dia tidak nongkrong terus-menerus di dekatku.”
Kalimat inilah, yang diambil dari novel Stephenie Meyer itu, yang kemudian menjadi nilai plus bagi para remaja putri. Bella, seorang gadis berusia 17 tahun, seperti mewakili mereka. Mereka butuh orang tua, tapi tak ingin orang tua wira-wiri mengganggu ”wilayah pribadi” mereka.
Hal kedua yang membuat para remaja cewek begitu lengket dengan novel ini: ”wilayah pribadi” Bella adalah sesuatu yang magnetis: seorang remaja lelaki gagah, tampan, bermata tajam seperti elang yang mampu menembus hatinya, berkulit pucat: Edward Cullen.
Di dalam film, Edward diperankan oleh si ganteng Robert Pattinson, aktor pemeran Cedric Diggory dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Edward adalah bagian dari keluarga dokter Carlisle Cullen (Peter Facinelli), sebuah keluarga yang seluruhnya berwajah pucat, berdandan keren, dan kaya raya, yang hanya mau bergaul dengan keluarga sendiri.” Anak-anak keluarga Cullen itu adalah anak angkat sang dokter yang masih sangat muda, berambut blonde, dan berwajah pucat.
Perkenalan pertama Edward dan Bella tidak mulus. Bella harus menjadi pasangan lab Edward di kelas biologi. Semula sang pria ganteng tampak tegang dan jengkel dipasangkan dengan Bella hingga ia minta pindah kelas. Belakangan, setelah menghilang beberapa lama dari sekolah, Edward mendadak ramah.
Di tengah kebingungannya menghadapi sikap Edward yang berubah-ubah, sebuah insiden terjadi: Bella hampir saja tertabrak sebuah mobil, dan Edward yang memperhatikannya dari jauh tiba-tiba saja meloncat dari jauh, zzzap! Edward sudah berada di samping Bella. Bak seorang Superman, dia menahan mobil itu dengan tangannya. Caila!
Siapa yang tidak ingin punya pacar seperti Edward Cullen? Bahwa ternyata dia adalah vampir yang sebetulnya sudah berusia 114 tahun? Tidak jadi masalah! Bella malah semakin bergairah. Boleh taruhan, para penonton (yang sudah pasti mayoritas remaja cewek; sementara para remaja lelaki menemani sembari menghela napas) juga ikut bergairah. Bahwa Edward sebetulnya ”ingin sekali menghirup darah Bella”, bukankah itu serem banget? No problemo. Bukankah Edward sungguh cinta kepada Bella, sangat protektif terhadapnya, dan oh, oh, lihatlah bagaimana dia mengajak Bella ikut terbang serta meloncat dari satu pohon ke pohon lain dan memandang seluruh Washington dari pucuk pohon… bukankah itu sungguh romantis? Mana mungkin si Pailul atau si Joni yang tukang ngupil di kelas itu bisa menandingi Edward? OMG….
Nah. Persoalan pelik muncul. Ada gerombolan vampir jahat lainnya: James the Tracker, yang bisa mencium bau manusia; Victoria, vampir cewek berambut merah yang maskulin; dan Laurent, vampir Afro-Amerika berambut panjang yang seksi. Ketiganya lebih mirip rocker daripada vampir. Tak bertaring, tak berbibir merah darah, tampaknya tak takut pada bawang putih.
”Saya mencium bau camilan,” kata James mendengus. Keluarga Cullen langsung merapatkan barisan dengan sigap, melindungi Bella. Kini kita melihat: gerombolan vampir baik siap melawan vampir jahat. Pokoknya, serulah. Nah, sampai di sini, masih adakah yang mau menyetarakan buku ataupun film ini dengan Harry Potter? Enak aja!
Harry Potter adalah sebuah saga yang memperkenalkan kita pada sebuah dunia baru; dunia sihir yang tak terlihat oleh para ”muggle”, manusia biasa. Penulis J.K. Rowling menciptakan fantasi itu lengkap dengan kosakata baru; kultur baru dan pemahaman serta definisi baru tentang ”manusia biasa” dan ”manusia berkemampuan sihir” serta makhluk-makhluk lainnya yang tak terbayangkan. Ada persoalan seorang anak yatim piatu; soal identitas, keluarga, dan pencarian.
Film Twilight adalah sebuah kisah cinta remaja biasa. Oke deh, yeah, remaja lelakinya adalah vampir yang sudah berkali-kali berusia 17 tahun. Yang menarik adalah sang vampir dan keluarganya memutuskan untuk ”diet”. Mereka ”vegetarian”, artinya mereka su-dah puluhan tahun tidak mengisap darah manusia. Sebagai gantinya, mereka mengisap darah binatang belaka. Phiuuuh… lega kan? Mosok cowok seganteng itu mengisap darah si cantik Bella?
Nah, tentu saja ada tarik-menarik; percintaan antara vampir dan manusia? Tentu gawat. Sang vampir harus selalu menahan diri untuk tidak menunaikan rasa gairahnya. Mereka masih bisa berciuman. Tapi, jika mereka melangkah pada hubungan tubuh, itu akan sangat berbahaya bagi Bella. ”Aku tak tahu apakah aku bisa mengontrol diriku,” kata Edward. Termasuk kontrol untuk tidak mengisap darah sang pacar.
Edward yang merasa telah menyebabkan Bella jadi sasaran empuk James, ingin pergi jauh, agar Bella aman. Dan Bella memohon, ”Jangan pernah berani mengucapkan itu lagi. Jangan!”
Sikap ”together forever” inilah yang rupanya cocok betul dengan perasaan para remaja cewek yang sedang (atau ingin) jatuh cinta. Harus diakui, Twilight versi sutradara Catherine Hardwicke jauh lebih menarik, ringkas, efektif, dan dinamis daripada novel karya Meyer. Sutradara Hardwicke, yang melahirkan film Thirteen yang dahsyat itu, menggunakan gambar seefektif mungkin. Teknik CGI yang membantu Edward berlari cepat, meloncat ke pohon, dan terbang ke sana-kemari bak Superman yang menggotong Lois Lane sebetulnya bukan sesuatu yang baru; tapi karena ini adegan romantis yang sudah lama dinanti-nanti, apa boleh buat, kritik untuk film ini hampir tak ada gunanya.
Pemeran Edward dan Bella sebetulnya bukan pemain baru. Kristen Swanson pernah mendapat peran dalam film Into the Wild (Sean Penn) dan In the Land of Women bersama Meg Ryan, sedangkan Robert Pattinson—yang disebut media sebagai pengganti Jude Law—yang berperan sebagai pelukis Salvador Dali muda dalam film Little Ashes, tidak memiliki gereget. Tentu saja mereka pasangan cakep dan chemistry pasangan ini akan selalu menjadi contoh bagi remaja dunia, tapi pada tahap ini seharusnya mereka sudah pada tahap yang mampu menaklukkan peran mereka. Tapi, sekali lagi, mau dikritik seperti apa pun, film yang sudah dinanti cewek remaja sedunia ini akan tetap kebal. Gigi taringnya akan menancap seluruh leher sinema. Zaap!
Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo