Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tabuhan gendang makin keras. Tiupan pui pui pun makin melengking. Kontras dengan musik, gerakan sembilan penari perempuan itu demikian lambat dan konstan. Antara musik dan gerakan seakan berada di dunia berbeda. Tapi ketidakharmonisan itu justru menjadi kekuatan tarian ini.
Inilah Akkarena Sombali, karya Wiwiek Sipala, yang membuka Festival Salihara, Kamis malam pekan lalu. Karya sekitar 28 menit ini cukup gemuruh, mengingatkan kita pada pembukaan Festival Salihara Kedua, saat rombongan seniman Lima Gunung Jawa Tengah pimpinan komponis Susanto memainkan orkestra truntung (rebana yang dipukul dengan kayu kecil). Saat itu suasana riuh. Ingar bingar. Tapi, berbeda dengan penampilan rombongan musisi truntung, Akka, antara tarian dan musik sangat kontradiktif ”Dibutuhkan pengendalian diri, terutama bagi penarinya,” kata Wiwiek.
Datanglah ke Salihara, di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selama sebulan dari 23 September sampai 20 Oktober, sebuah pesta seni pertunjukan diselenggarakan. Di sejumlah sudut Salihara dipasang berbagai karya instalasi. Sebuah patung gajah seukuran sebenarnya, terbuat dari bambu, karya Joko Dwi Avianto, terpasang dekat pintu masuk ruang teater. Terlihat ketelatenan Joko memelengkungkan, meliuk liukkan, ratusan bambu panjang membentuk figur gajah. Sementara perupa Hedi Hariyanto membungkus trap trap dan lantai Salihara dengan botol plastik. Jangan kaget ketika Anda masuk ke toilet. Di toilet pun ada instalasi televisi, bagian dari instalasi video mapping.
Selama sebulan, para penonton dapat menyaksikan pentas dari yang berbau tradisi seperti Akkarena di atas atau pertunjukan Barong Banyuwangi (6 7 Oktober) sampai Opera Tan Malaka opera multimedia yang mengkontemplasikan sosok Tan Malaka yang penuh teka teki (18 20 Oktober).
Kita juga melihat sejumlah nama baru yang muncul dalam festival ini. Pada Jumat, 24 Oktober lalu, misalnya, tampil grup progressive metal dari Semarang: Twin Demon. Para musisinya masih sangat muda muda. Nama grup ini tak pernah terdengar di lingkaran kelompok penggemar progressive rock Jakarta. Meski aksi panggung mereka sama sekali tak gahar, komposisi mereka cukup dalam dan rapi. Demikian juga penampilan grup pop Bonita and the hus Band yang pernah memeriahkan Esplanade Outdoor Festival Music, Singapura. Renyah.
Untuk musik, akan datang beberapa musisi kelas dunia. Komponis Korea, Jin Hi Kim, misalnya, akan menyajikan sebuah konsep musik yang disebutnya Digital Buddha (29 30 September). Ia akan membawakan solo komungo (sitar Korea). Namun alat ini tidak dipetik secara tradisional. Sitarnya adalah sitar elektrik. Dari sitar ini akan muncul nada nada meditasi Buddhis. Yang menarik, Jin Hi akan menggabungkan nada Buddhis ini dengan bunyi sistem radar abad angkasa luar proyek musik yang telah lama ditekuninya. Pertunjukannya akan dilengkapi dengan citra digital yang futuristis.
Anda akan bisa menyaksikan hal yang berbeda sekali dari penampilan Jin Hi dengan sajian Margaret Leng Tan, pianis dari Amerika, pada 5 Oktober. Margaret adalah seorang pianis yang dikenal dekat dengan bapak musik eksperimental Amerika, John Cage. John Cage bisa disebut ”nabi” bagi dunia musik avant garde. Sebagai komposer, ia memperluas apa yang disebut musik, bahkan menjadikan sunyi dan bunyi bunyian berbagai benda sebagai komposisi. Margaret Lang yang kelahiran Singapura ini adalah murid John Cage. Ia adalah pianis yang banyak bekerja sama dengan John Cage selama masa 11 tahun menjelang kematiannya (Cage meninggal pada 12 Agustus 1992). Margaret Leng Tan di Amerika dikenal sebagai penafsir John Cage paling otoritatif.
Adapun di bidang tari kita bisa membandingkan pencapaian koreografer kita Fitri Sertyaningsih (1 dan 2 Oktober) dengan penampilan kelompok Glow Chunki Movie Glow (8 9 Oktober). Fitri bisa disebut sekarang ini adalah wakil terdepan tari avant garde kita. Sementara Glow Chunki Movie disebut sebut sebagai kelompok tari Australia yang cerdas.
Fitri akan menyajikan Selamat Datang dari Bawah. Tari ini pernah diuji coba di Yogya. Salah satu bagian tari ini bercerita tentang Franz Schubert, komponis Australia yang melatih jari jari tangannya dengan batu, serta pandangan Zen tentang pikiran yang terjebak dalam balok es. Kisah Schubert akan ditampilkan Fitri dengan permainan efek cahaya dari lampu led di ujung ujung jari tiga penari dan benang warna warni yang terentang ke langit langit panggung. Gerak jari para penari yang seperti menekan bilah bilah piano itu akan membuat titik titik cahaya led menjelma jadi kunang kunang melayang layang.
Adapun karya yang berbicara tentang Zen akan menampilkan enam penari muncul membawa balok balok es. Yang lelaki mengenakan kemeja panjang, celana panjang, dan sepatu kulit. Yang perempuan dengan atasan blus dan bawahan celana kain serta bersepatu kulit. Mereka menenteng tas biru yang berisi balok es. Es tersebut mereka cium, dekap, bopong, timang, dan mereka tiduri.
Akan halnya Glow Chunki Movie akan menyajikan interaksi antara tubuh tubuh penarinya dan cahaya. Penonton akan melihat bagaimana mereka mampu menciptakan imaji yang sureal, grostek, dan sensual. Cahaya di tangan mereka bukan hanya ilustrasi pemanggungan, tapi juga aktor sendiri.
Dari bidang teater, dua kelompok teater Indonesia paling eksperimental, Teater Kubur dan Teater Garasi, akan menyajikan karya terbaru mereka. Teater Kubur pimpinan Dindon W.S., yang sudah pentas pada Sabtu, 25 September, dan Ahad 26, September lalu, menampilkan pertunjukan berjudul On Off (Rumah Bolong). Untuk persiapan pementasan ini, Dindon selama seminggu memboyong sekitar 20 pemain dan kru dari tempat mereka biasa berlatih di Gang Kober, Jatinegara, Jakarta Timur, ke aula kampus Universitas Nasional, yang tak jauh dari Salihara.
On Off sebenarnya pernah dipentaskan di Tokyo pada 2008 dalam sebuah workshop, semacam festival kecil kecilan yang digelar komunitas 15 sutradara se Asia. ”Dibandingkan dengan di Tokyo, pementasan di Salihara ada progress. Tak hanya visual, tapi juga komposisi. Ada penambahan atau pengurangan, tapi substansinya tidak berbeda jauh,” kata Dindon.
On Off berkisah tentang sebuah rumah yang kehilangan daun pintu dan jendela. Kapan saja semua orang asing bisa masuk. On Off bisa dilihat sebagai sebuah alegori tentang kehancuran dan harapan. Dindon tidak menampilkan sebuah pementasan yang bersifat naratif. Secara visual, dia lebih banyak menggunakan metafora dan simbol dan dengan kata kata yang bernuansa puitis. Ia banyak menggunakan bambu. Semuanya ditampilkan di atas panggung yang mengusung konsep teater rakyat. Pemain duduk melingkar mengelilingi panggung berbentuk tapal kuda. Tidak ada penggantian adegan, semua mengalir begitu saja.
Setting panggung dibuat sederhana, cuma lingkaran dengan latar belakang sebuah totem. ”Jadi, memberikan ruang imaji kepada penonton dengan lebih luas,” katanya. Para pemain juga tak terpaku memainkan satu karakter tertentu. Dia bisa menjadi apa saja. Karena itu, Dindon tidak menggunakan ruang teater sebagaimana lazimnya pertunjukan di Salihara, tapi di galeri ruang pameran seni rupa Salihara yang bentuk ruangannya bundar.
Akan halnya Teater Garasi akan membawakan pentas Tubuh Ketiga pada 12 dan 13 Oktober. Tempo menyaksikan latihan mereka di Studio Banjarmili, Sleman, milik penari Miroto, dan di markas Teater Garasi di kawasan Bugisan, Bantul, Yogyakarta. ”Di Bugisan kami berlatih detail, bagian per bagian,” kata Yudi Ahmad Tajudin, pemimpin Teater Garasi.
”Ide ending nya sudah ada, tapi detail adegannya belum ketemu. Ini proses yang biasa terjadi di Teater Garasi,” kata Yudi. Rencananya, pada 6 Oktober, sebelum berangkat ke Jakarta, mereka di Studio Banjarmili, Sleman, akan berlatih secara lengkap, termasuk mengundang penonton. ”Kami butuh kehadiran penonton karena penonton juga menjadi bagian dari pementasan ini, seperti halnya pada pementasan kami sebelumnya, Jejalan,” tuturnya.
Tubuh Ketiga melibatkan 12 pemain, termasuk penari topeng Cirebon, Wangi Indriya, dan penari yang menekuni tradisi Sunda, Hanny Herlina. Proses Tubuh Ketiga diawali dengan observasi kehidupan pelaku kesenian tarling di Indramayu, Jawa Barat, sejak April 2010. Tema besar pementasan ini adalah strategi kebudayaan dalam dunia global saat ini. Dalam pandangan Teater Garasi, pelaku kesenian tarling di Indramayu adalah contoh konkret strategi kebudayaan yang paling sukses. ”Mereka bisa mencomot unsur budaya sana sini tanpa pernah mempersoalkan asli atau tidak asli, tradisi atau modern. Kemudian mereka bisa menjalaninya dengan amat santai, tanpa ada keterpaksaan. Itulah tubuh ketiga atau kebudayaan ketiga,” ujar Yudi.
Tubuh Ketiga, menurut Yudi, adalah sebuah evolusi perjalanan estetika Teater Garasi. ”Ketika melihat pentas Tubuh Ketiga nanti, penonton pasti akan teringat pentas terakhir Teater Garasi, Jejalan. Tubuh Ketiga ini memang semacam zoom in dari beberapa adegan Jejalan yang kemudian diperdalam, meski Tubuh Ketiga ini bukan sekuel dari Jejalan,” tuturnya.
Dua pentas teater eksperimental dari Indonesia ini bisa dibandingkan dengan penampilan kelompok Cinematograph dari India, yang disebut sebut salah satu grup teater terkuat India saat ini. Kelompok teater dari Mumbai yang banyak dipuji kritikus ini akan menampilkan pentas Hamlet pada 27 September dan 28 September 2010.
Bukan Hamlet yang konvensional yang akan mereka sajikan, tapi sebuah tafsir baru yang binal serta jenaka. Malam ini kita bisa menyaksikan bagaimana sutradara Rajat Kapoor melakukan subversi terhadap karya agung Shakespeare itu. Kita tak melihat sosok Hamlet sebagaimana dikarakterkan Shakespeare. Tokoh Hamlet, Horatio, Raja Claudius, Hantu, dan Ophelia, akan dimainkan oleh badut badut. Bahasa Shakespeare yang puitis dan tinggi akan dipermainkan dengan bahasa slang India Inggris. Hamlet yang dibesarkan oleh tradisi Inggris dalam pentas ini akan dibaca dan didekonstruksi dalam parodi.
Jadi? Silakan datang ke Salihara, menikmati kejutan kejutan artistik ini.
Nunuy Nurhayati, Seno Joko Suyono (Jakarta), Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo