Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Internationale mengalun.
”Tolong, agak lirih, jangan terlalu keras.”
Goenawan Mohamad terjun menyutradarai sendiri karyanya. Lagu itu, lagu kebangsaan kaum komunis Rusia zaman Lenin, diperdengarkan sebagai ilustrasi. Sayup sayup.
Di depan Goenawan berdiri sebuah set yang sangat ekspresionis. Set yang mengingatkan kita pada era teater Rusia tahun 1920 an, setelah Revolusi Bolshevik. Saat itu kalangan teater Rusia giat membebaskan diri dari skenografi panggung konvensional. Mereka membentuk konstruksi konstruksi panggung sendiri di luar model auditorium, sebuah aliran yang kemudian terkenal dengan sebutan konstrukvisme.
Kita lihat, sebentuk dermaga memanjang, kemudian konstruksi kayu yang penuh undak undakan melingkar. Tangga itu bisa mengasosiasikan bagian kapal atau pabrik. Tingkat tertingginya hampir mencapai 4 meter. Pintu masuknya banyak, bisa dari kolong, samping kanan kiri, atau belakang. Konstruksi ini nantinya akan dilengkapi dengan sebentuk sel yang bisa turun naik dari atas.
Sabtu dan Minggu pekan lalu, para aktor yang terlibat opera Tan Malaka terlihat menjajal panggung yang boleh dikatakan baru pertama kali disajikan dalam jagat seni pertunjukan kita itu. Opera ini sendiri dijadwalkan akan pentas tiga hari berturut turut, sekaligus menutup rangkaian Festival Salihara Ketiga, 23 September hingga 20 Oktober 2010.
Opera kerja sama Goenawan dan Tony Prabowo ini melibatkan banyak seniman. Dari musik akan tampil paduan suara Paragita Universitas Indonesia, dengan orkes pengiring yang beberapa pemainnya anggota Pitoelas Big Band, pianis Adelaide Simbolon, serta dua soprano, Binu D. Sukaman dan Nyak Ina Raseuki (Ubiet). Cecil Mariani akan menghadirkan montase multimedia: film, teks dalam dua layar besar. Dari keaktoran, yang menjadi dua narator adalah Adi Kurdi (Bengkel Teater) dan Whani Dharmawan (aktor teater Gandrik), serta sejumlah pemain Teater Ghanta dan Teater Ciliwung. Penari Fitri Setyaningsih pun akan terlibat mengkoreografi beberapa adegan.
Malam itu, anak anak Teater Ghanta dan Teater Ciliwung hilir mudik di konstruksi kayu itu, membawakan alegori adegan pengungsian, pertempuran, bendera merah dikibar kibarkan. Adi Kurdi dan Whani Dharmawan berjalan naik turun trap. Dua soprano Binu D. Sukaman dan Ubiet mencoba posisi posisi tangga tempat mereka harus menyanyi. ”Saya takut terpeleset,” kata Binu Sukarman tertawa, yang menapak di ketinggian empat meter.
Goenawan mencermati agar aliran adegan di tangga bisa terlihat dinamis dan tak terjadi perulangan. Adi Kurdi, yang sudah tampak mulai hafal naskah, mulanya tampak hati hati saat naik tangga, tapi kemudian terlihat bisa luwes. Suara dan ekspresi mukanya terlihat kontemplatif saat menampilkan adegan yang memaparkan perbedaan karakter Tan dan Soekarno.
”Aku berbeda dari Soekarno karena kapalku dibela ombak dan angin, sedang kapalnya ditarik sekunar Jepang. Soekarno hidup di panggung tentara pendudukan, sedang aku hidup dekat lumpur dan puing sampah dan lorong rendah.”
”Saya kira, dengan itu ia ingin mengatakan. Soekarno adalah burung merak, dan Tan Malaka seekor berang berang. Ia bersembunyi di lubang yang dibikinnya sendiri.”
Goenawan juga terlihat sangat mengawasi intonasi dan artikulasi aktor, saat anak anak Teater Ghanta dan Ciliwung sampai adegan yang mengharuskan mereka berucap:
”Hai! Hai! Tan Malaka ditemukan. Ia ditembak mati.
Goenawan berulang kali membenarkan intonasi mereka:
”Tolong, jangan terlalu berteriak, pengucapannya jangan seperti di televisi.”
Pada 5 November sepuluh tahun silam, gagasan opera esai Tan Malaka lahir. Tony Prabowo masih mengingat, hari itu ia menawarkan konsep opera esai kepada Goenawan. Tony menilai opera ini bisa lebih ekspresif ketimbang opera klasik yang semuanya serba dinyanyikan. ”Opera esai memang keluar dari pakem, lebih bebas,” kata Tony.
Goenawan, yang menilai emosi tak harus dituangkan dengan menyanyi, setuju. Ia memilih tokoh komunis Tan Malaka sebagai ide sentral naskah. Meski tak mengagumi sosoknya, Goenawan menilai Tan penting dalam sejarah Indonesia. Sayang, opera esai tak segera terwujud lantaran Tony dan Goenawan memiliki kesibukan masing masing.
Pada Oktober 2009 skenario tiga babak Tan Malaka diterbitkan. Dalam skenario itu Goenawan ternyata justru tak menghadirkan sosok Tan sama sekali. Menurut Goenawan, musababnya sederhana, ia tak mengenal Tan secara pribadi. Selain itu, kisah hidup Tan seperti dongeng, serba tak jelas bahkan sampai kematiannya.
Yang disajikan Goenawan adalah esai yang berbicara tentang sejarah, revolusi, dan Tan. Tak ada dialog. Hanya ada satu narator dan satu tokoh, serta dua penyanyi aria. ”Opera ini bisa disebut minimalis, tapi opera ini menjadi penegasan satu segi penting riwayat Tan Malaka: ketidakhadirannya,” kata Goenawan.
Adi Kurdi, yang menjadi narator, menilai kata kata dalam naskah sangat khas Goenawan, seperti yang sering muncul dalam kolom Catatan Pinggir di majalah ini. Dan, tak mudah mengikutinya.
Opera ini, kata Adi, memiliki kesulitan khusus: menyampaikan gagasan Goenawan. Terutama gagasan kehadiran Tan yang justru tak ditampilkan dalam bentuk tokoh. Opera ini berbeda dengan akting drama yang sering dijalani Adi, yang penokohannya selalu jelas dan melibatkan emosi. ”Prinsip akting adalah meyakinkan orang lain melalui perasaan, tapi sekarang saya meyakinkan orang lain melalui pikiran seorang Goenawan,” katanya.
Akan halnya komposisi dirampungkan Tony dengan penuh perjuangan. Kesibukannya di Teater Salihara selama ini mengakibatkan selama bertahun tahun, untuk keperluan opera Tan Malaka ini, ia baru bisa menyelesaikan hanya 30 lembaran partitur. Barulah tahun ini Tony bisa berkonsentrasi penuh. Ia cuti tiga bulan dan menghabiskan 10 hingga 12 jam tiap hari, berkutat dengan partitur. Hasilnya, 303 halaman komposisi untuk pementasan berdurasi sekitar satu jam.
Tony mengaku ada perbedaan komposisi Tan Malaka dibanding karya yang dihasilkannya untuk opera Kali dan The King’s Witch. Kali ini Tony terinspirasi oleh komposer Belanda, Louis Andriessen, dan gaya musik Jerman tahun 1950 an. Tony yang juga dipengaruhi progressive rock—yang didengarnya setiap hari—memasukkan motif jazz, repetisi, konsep minimalis, dalam irama yang tak terlalu kompleks. Tak melulu nyanyian, Tony juga memberikan ruang bagi dua soprano menyelingi dengan ucapan kata kata asing.
Berbeda dari biasanya, kali ini Tony memilih sejumlah musisi dalam negeri untuk mengekspresikan komposisinya. Beberapa musisi seperti Eric Awuy dan Adelaide Simbolon juga bakal mengisi bangku orkes. Juga unsur brass akan kuat. ”Ini pertama kalinya nanti unsur brass akan kuat dalam karya saya,” kata Tony. Dan untuk menampilkan semua itu, Tony memilih konduktor Josefino Toledo asal Filipina. Konduktor ini yang akan memimpin paduan suara dan orkes.
Ubiet, yang menjadi soprano 2, juga menilai komposisi Tony agak berbeda dari sebelumnya. ”Komposisinya lebih harmonis,” kata dosen etnomusikologi di Institut Kesenian Jakarta ini. Tapi komposisi baru ini tak menghilangkan gaya khas Tony: musik yang atonal atau tak memiliki nada dasar.
Dengan segala gagasannya yang cerdas, Tan Malaka jelas bukan pertunjukan biasa. Wajar jika tiket dijual sampai Rp 500 ribu untuk pertunjukan perdana. Tapi, bagi Tony dan Goenawan, Tan Malaka bukan proyek komersial. ”Semua yang di Salihara proyek idealis,” kata Goenawan.
Nama itu menjebakmu,
seperti sel sempit
dari mana kau ingin lari.
Mungkin ia bukan nama itu
dan Tan Malaka
hanya bunyi
yang menandai
yang tak ada.
Pramono, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo