Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Petikan Sapek hingga Komposisi Klasik

Festival musik etnik yang menghadirkan musikus dan kelompok musik dari berbagai daerah ini tak sekadar menyajikan musik tradisi. Mereka mengelaborasi, mengeksplorasi, serta mengawinkan musik etnik dengan musik klasik dan modern.

3 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertunjukan musik Baséput, Rayhan Sudrajat pada International Ethnic Music Festival 2021 yang disiarkan secara daring di kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta, 25 September 2021. Youtube/Dewan Kesenian Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Festival musik etnik menghadirkan musikus dan grup musik tradisi dari berbagai daerah.

  • Mereka menghadirkan musik tradisi yang dielaborasi serta dikawinkan dengan musik modern dan klasik.

  • Mereka juga mengangkat seni tradisi yang mulai jarang dimainkan.

APA jadinya jika keroncong dikawinkan dengan musik klasik atau petikan sapek khas Kalimantan yang modifikasi dengan teknologi modular synthesizer? Atau saluang yang berkawin dengan piano? Inilah yang dihadirkan para musikus etnik dalam International Music Ethnic Festival yang digelar Dewan Kesenian Jakarta pada 24-26 September 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Festival yang disiarkan secara daring melalui saluran YouTube itu menghadirkan sejumlah musikus dan kelompok musik dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Candasuara dari Sumatera Barat, Margasari (Jakarta), Rayhan Sudrajat "Baseput" (Bandung), Taufik Adam (Sumatera Barat), Donny Koeswinarno (Surakarta), dan Jayadwara (Sumedang).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok Candasuara dari Kabupaten Agam tampil dalam kesempatan pertama. Mereka membawakan komposisi yang memadukan vokal dan bebunyian tubuh, seperti tepukan tangan serta entakan kaki yang diselingi dengan tiupan saluang. Berjudul Minangkabau Demokratik, komposisi itu mencoba tafsir demokrasi di Minangkabau. Ada dendang saluang dengan melodi yang ritmis dan non-ritmis. "Itu menjadi satu kesatuan utuh," ujar Ucu, perwakilan dari Candasuara.

Pola serupa diperlihatkan dalam komposisi berjudul Galuh. Nomor yang didasarkan pada tradisi silat itu juga mengeksplorasi bunyi-bunyian dari tubuh. Dua lelaki dengan mata ditutup kain putih duduk berjarak dan berhadapan. Diselingi dengan vokal, mereka saling bertepuk di tubuh.

Setelah Candasuara, giliran kelompok Margasari unjuk penampilan. Mereka menghadirkan tiga komposisi yang diangkat dari tradisi Betawi pinggiran yang hampir punah, yakni Ujungan, Rembati, dan Gamelan Pajengan. “Ini upaya revitalisasi tradisi yang hampir punah," kata Samsudin, pemimpin Margasari. 

Ujungan dimulai dengan suara suling yang mengiringi dialog dua orang. Komposisi ini lebih banyak menggunakan alat musik bambu dan kayu, yang didasarkan pada tradisi pesta panen. Alat musik ditabuh dengan nada riang dan tembang dilantunkan. Tampil pula adegan duel silat Betawi sebagai wujud perayaan pesta.

Situs web Ensiklopedia Jakarta menyebutkan ujungan merupakan seni ketangkasan bela diri yang dipadu dengan seni musik, seni tari silat, dan seni bela diri tongkat. Ujungan berkembang di masyarakat Betawi Cakung dan Bekasi. Belakangan, seni ini makin langka.

Adapun Rembati, yang diangkat dari kesenian topeng Betawi, dimulai dengan pukulan pelan gong, lalu diikuti gamelan. Para pemain kemudian berteriak serempak dan bersahutan seperti mengajak berdialog. Seorang perempuan melantunkan tembang, yang diimbuhi vokal dari para pemain, diikuti gesekan tehyan, lalu ditimpali ketukan pelan kendang. Selanjutnya, musik menjadi lebih rancak dengan tepukan kendang, rebana gong, dan vokal para pemain. Menjelang akhir komposisi, irama musik menjadi lebih dinamis dengan pukulan gamelan bertempo cepat dan diakhiri dengan gesekan tehyan.

Karya ketiga, Gamelan Pajengan, diangkat dari musik folklor Betawi, yakni gamelan ajeng. Formasi gamelan ini terdiri atas sebuah kromong dengan sepuluh pencon, satu trompet, empat gendang, dua saron, satu bende, satu cemes, dan satu kecrek. Terkadang ada pula pemain yang menggunakan dua gong, yakni gong laki-laki dan perempuan.

Dalam Gamelan Pajengan, tiupan suling bernada mendayu mengawali komposisi, kemudian diimbuhi pukulan gong dan gamelan dalam tempo cepat, berhenti, lalu mulai lagi. Tiupan trompet panjang dan pukulan gamelan yang cepat mengantar tembang yang dinyanyikan seorang laki-laki. Ketika vokal berhenti, giliran gamelan ditabuh lagi dengan tempo sedang hingga cepat. Ada pula sentuhan kentongan.

Penampil lainnya adalah Rayhan Sudrajat dari Baseput, yang memfokuskan diri pada musik etnik Kalimantan. Dengan sapek, semacam alat musik petik dari Kalimantan, ia mempersembahkan dua komposisi. Berjudul Sanctuary, komposisi pertama ini menghadirkan tembang dengan petikan sapek yang mendayu bernada tinggi.

Saat memetik senar sapek, ia pun merekamnya dengan modular synthesizer. Sesaat ia berhenti memetik dawai, tapi dentingan terdengar dari modular synthesizer. Pria ini pun kemudian melantunkan vokalnya. "Heeeeeee heaaa hooeeee."  

Pada nomor kedua berjudul Sansana Kayao, Rayhan mengelaborasi tradisi lisan yang divokalkan dari suku Katingan. Nada yang keluar dari alat musiknya terdengar lebih ceria. Ia lebih banyak menyuguhkan vokal dan rekaman sampel alat musik etniknya. Selain sapek, ada nada perkusi gamelan dari logam. Semuanya dimodifikasi melalui modular synthesizer. Ada keriuhan dari komposisi Rayhan yang tampil seorang diri.

Rayhan, yang mengambil gelar master bidang musik di Monash University, Australia, menjelaskan bahwa komposisinya disusun dengan beberapa elemen, yakni petikan langsung sapek, rekaman langsung dari sapek, serta dimodularkan dan dimanipulasi langsung dengan modular synthesizer. Dari dua nomor ini, suara yang keluar dari musik tradisional dan diolah sedemikian rupa menjadi komposisi dengan sentuhan teknologi.

Pertunjukan musik Taufik Adam pada International Ethnic Music Festival 2021 yang disiarkan secara daring di kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta, 25 September 2021. Youtube/Dewan Kesenian Jakarta

Pemusik lainnya, Taufik Adam, beda lagi. Bersama kelompoknya, ia menggubah komposisi musik etnik dari Minang. Ia menampilkan dua komposisi yang menceritakan kegelisahan hidupnya di perantauan di Jakarta. Tiupan saluang, salempong, dan suling berpadu dengan tiupan didgeridoo yang bersuara ngebas serta kecrek.

Melalui komposisi pertama berjudul Neo Rakto, Taufik menghadirkan musik yang seperti meratap dengan iringan lembut saluang, denting piano, dan didgeridoo. Sesaat dia diam, lalu kecrek berbunyi ditimpali dengan tiupan didgeridoo dan sentuhan piano yang jazzy. Panggung menjadi riuh dengan bebunyian dari semua alat musik. Tiupan saluang menyelinap di antara riuh itu, sehingga terasa ada suasana kepiluan dan kerinduan.

Komposisi ini menggambarkan imaji Taufik ketika kelak ia meninggal. Ia membayangkan ratapan putra-putrinya. Komposisi pertama ini juga terhubung dengan komposisi kedua berjudul Terdampar, yang menggambarkan kesepiannya sebagai perantau. “Lagi-lagi seperti terdampar di pulau yang tak berpenghuni, padahal saya hidup di kota besar. Kesepian.”

Pada komposisi kedua, tiupan alat musik kerang mengiringi vokal salah satu pemain yang melantunkan tembang, lalu ditimpali denting logam. Ketika vokal diam, salempong ditiup pelan, disambung kembali dengan vokal bersahutan di antara tiga pemain, dan diiringi dengan denting piano dalam nada rendah. Seperti ada kegelisahan dan kemarahan dalam komposisi ini.

Musik tradisi Minang itu disatukan dengan piano. Namun Taufik mengatakan tak ada instruksi untuk menyelaraskan tradisi itu dengan musik modern. “Saya hanya memberi narasi ke pemain piano begini. Terserah dia mengaplikasikannya. Kami tidak saling mengganggu soal nada,” ujar Taufik.

Penampilan tak kalah menarik disajikan Donny Koeswinarno bersama tim keroncongnya pada hari kedua festival. Bukan keroncong biasa, ia mengawinkannya dengan musik klasik ala Eropa. Ia mengambil komposisi musik klasik era romantik. Ada Carnevale di Venezia ciptaan Giulio Briccialdi serta karya Chopin, Benjamin Goddard, dan Niccolo Paganini. Dua lagu menggunakan vokal dan dua nomor memakai flute, walau sebenarnya itu adalah komposisi untuk biola.

Sebagai pembuka, ia menampilkan komposisi ciptaannya yang berjudul Tak Pernah Lupa dengan keroncong asli yang kental. Adapun pada komposisi kedua, ia membawakan O Mio Babbino Caro karya Giacomo Puccini dan Giovacchino Forzano. Nuansa klasik dari vokal, flute, dan perpaduan keroncong sungguh terasa.

Lagu ketiga, Carnevale di Venezia ciptaan Giulio Briccialdi, diawali dengan bunyi flute dan cak cuk serta diikuti dengan gitar dan celo. Namun bunyi flute lebih menonjol. Di tengah komposisi, tiupan flute serta permainan cak cuk menjadi intens, khas keroncong dengan tempo cukup cepat dan mengasyikkan. Flute lebih mendayu dan sesekali diperkuat dengan sentuhan gitar. Komposisi diakhiri dengan tiupan panjang flute.

Pertunjukan musik keroncong Dony Koeswinarno pada International Ethnic Music Festival 2021 yang disiarkan secara daring di kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta, 26 September 2021. Youtube/Dewan Kesenian Jakarta

Pada nomor keempat, ia membawakan Allegretto #Movement from Suite de Troi Morceaux Op. 116 karya Benjamin Goddard. Flute masuk serta diiringi cak cuk, celo, dan gitar. Tempo menjadi lebih lambat dan santai, meskipun flute masih memimpin dalam komposisi ini. Adapun pada komposisi Variation on a Theme by Rossini ciptaan Chopin, flute mendahului yang disambut dengan cak cuk, gitar, dan celo. Nadanya riang dalam tempo yang agak lambat, tapi tiupan flute agak sendu dengan suara bergelombang dan kembali menjadi ceria.

Pada komposisi Paganini Caprice No. 2 ciptaan Niccolo Paganini, solo flute juga mengawali komposisi. Nadanya sangat dinamis, kadang cepat dan kadang lambat. Tiupannya pun sangat variatif hingga mencapai nada yang melengking tinggi, patah-patah.

Donny mengakui bahwa mengawinkan musik klasik dengan keroncong merupakan tantangan yang membuat pusing. Komposisi keroncong biasanya identik dengan orkestra besar dan kemegahan. Dengan karyanya ini, ia berusaha memindahkan bunyi dan komposisi asli orkestra ke keroncong. “Bagaimana supaya tidak menghilangkan rasa, harus pas meramunya. Ini sesuatu yang baru. Tantangan juga untuk pemain keroncong,” ujarnya.

Pertunjukan musik Jayadwara pada International Ethnic Music Festival 2021 yang disiarkan secara daring di kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta, 26 September 2021. Youtube Dewan Kesenian Jakarta

Penutup pertunjukan dalam festival ini adalah penampilan Jayadwara, grup perkusi dari Sumedang. Menampilkan komposisi berjudul Bramara (yang berarti lebah dalam bahasa Sanskerta), mereka mencoba menafsir kembali kehidupan lebah. Mereka sekaligus mengeksplorasi makna di balik penciptaan musik berdasarkan teori yang diciptakan etnomusikolog Sunda dengan notasi daminatila dan salendro hingga 17 nada.

Wendi, perwakilan dari Jayadwara, menampilkan alat musik yang dimainkan 10 orang, yakni gambang, rebab dan suling, langsing (sembilan lubang), kecapi, kecapi bas, bonang, perkusi dan gong, serta kendang. Dalam penampilannya kali ini, juara rampak gendang itu tidak menampilkan komposisi yang dinamis, melainkan cenderung kalem.

DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus