Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari lee turun ke lee

Penulis : dianne k. mauzy colorado : westview press, 1990. resensi oleh : leo suryadinata.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINGAPURA: THE LEGACY OF LEE KUAN YEW Penulis: R.S. Milne dan Dianne K. Mauzy Penerbit: WEstview Press, Boulder, Colorado, 1990, 217 halaman. BUKU ini karya R.S. Milne dan Dianne K. Mauzy, dua ahli ilmu politik pada Universitas British Columbia, Kanada. Pasangan suami isteri ini banyak menulis tentang politik Malaysia. Pada 1960-an, Milne bahkan pernah jadi Ketua Jurusan Ilmu Politik pada Universitas Singapura. Buku ini membahas banyak aspek dari Singapura. Bab pertama menceritakan masyarakat Singapura yang majemuk dan masalah-masalahnya, kemudian disusul dengan sejarahnya secara singkat. Enam bab selanjutnya membahas masalah politik, ekonomi, dan pemimpin Singapura -- baik yang tua maupun muda. Singapura berpemerintahan sendiri pada 1959 di bawah pimpinan Lee Kuan Yew dengan Partai Tindakan Rakyat (PAP). Kemudian PAP mengalami perpecahan. Grup yang prokomunis mencoba merebut kekuasaan, tapi gagal. Keluar dari PAP, mereka membentuk partai oposisi, Barisan Sosialis, pada 1961. Tapi mereka kalah bersaing dengan PAP. Pada 1963 Singapura bergabung dengan Malaya untuk membentuk Malaysia. Tapi masuknya Singapura ke tubuh Malaysia mengguncangkan keseimbangan politik di federasi baru itu. Akhirnya Singapura dikeluarkan dari Malaysia pada 1965. Pada awalnya banyak orang menyangsikan Singapura, yang kecil dan tidak punya kekayaan alam, bisa bertahan. Kenyataannya: Singapura bukan saja bertahan, tapi juga makmur. Mengapa? Milne dan Mauzy mencoba menjelaskan mengapa Singapura bisa berkembang jadi NIC (Newly Industrialised Country). Jawabannya dihubungkan dengan pemimpin PAP yang pandai, dinamis, dan bersih. Mereka itulah yang menjalankan politik multiracial yang sukses dan strategi ekonomi yang tepat. Milne dan Mauzy tidak menekankan faktor-faktor eksternal yang juga menguntungkan Singapura. Bicara tentang ciri pimpinan PAP, Milne dan Mauzy mengatakan partai itu memegang prinsip elitis, Confucianist, dan juga pragmatis. Ketiga unsur itu merupakan faktor kejayaan Singapura, sekurang-kurangnya sampai setakat ini. PAP mulai memonopoli kekuasaan di Singapura setelah merdeka pada 1965. Dengan taktik yang lihai dan kesalahan partai oposisi memperhitungkan situasi di negara pulau itu, PAP akhirnya muncul sebagai partai tunggal yang menguasai 100% kursi parlemen. Monopoli PAP baru terpecahkan dengan terpilihnya pemimpin Partai Buruh (Jeyaratnam) sebagai anggota parlemen dalam sebuah by election. Dalam Pemilu 1984, kursi oposisi di parlemen bertambah satu lagi dengan terpilihnya Chiam See Tong dari Partai Demokrasi Singapura. Meski demikian, PAP tetap mendominasi politik di Singapura. Sebetulnya, sejarah politik Singapura modern itu merupakan sejarah PAP, dan sejarah partai itu tidak bisa dipisahkan dari Lee. Banyak orang berpendapat bahwa Lee pribadi sudah jadi sebuah institusi. Maka, Milne dan Mauzy memberikan banyak perhatian kepada Lee dan kepemimpinannya. Bukan kebetulan jika buku itu dinamakan: Singapura: Warisan Lee Kuan Yew. Apakah benar Lee sudah akan lenyap dari arena politik? Siapakah yang mengambil oper pucuk pimpinan itu? Pada 13 Juni, Wakil Perdana Menteri Goh Chok Tong mengumumkan di parlemen bahwa ia akan mengambil alih pemerintahan dari Lee, November 1990. Menurut Milne dan Mauzy, meski Goh jadi PM, Lee tidak akan mundur seratus persen. Ia masih akan mengawasi dari belakang. Lee sendiri mengatakan tidak akan pensiun. Kalau ada sesuatu yang membahayakan Singapura, ia akan ikut campur lagi. "Andaikata kamu sudah meletakkan aku di kuburan, kalau aku berasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar, aku akan bangun kembali," ujarnya (halaman 120). Karena itu, generasi sekarang ini masih akan bekerja di bawah bayangan Lee. Milne dan Mauzy mengatakan PAP pada setakat ini masih kompak. Namun, publik berpendapat bahwa dalam tubuh PAP terdapat grup Goh dan grup B.G. Lee (panggilan Lee Hsien Loong, putra Lee Kuan Yew). Goh dikatakan lebih lembut cara pemerintahannya tetapi kurang pandai bicara, sedang B.G. Lee lebih keras dan pandai berperang lidah (halaman 125-126). Selama Lee tua masih ada, bentrokan antara kedua kelompok itu tidak mungkin terjadi. Tetapi, Milne dan Mauzy meramalkan PAP mungkin tidak akan begitu kompak lagi kalau Lee Kuan Yew sudah benar-benar pergi. Yang menarik ialah pemilihan Goh sebagai perdana menteri. Milne dan Mauzy mengatakan bahwa sebetulnya Lee kurang begitu puas dengan Goh, yang dianggapnya kurang tegas dan tidak bisa omong. Akhirnya Lee menerima Goh karena Wakil PM itu merupakan pilihan rekan-rekannya. Apakah B.G. Lee merupakan ancaman Goh? Milne dan Mauzy mengutip perkataan Goh bahwa ia telah diakui sebagai pemimpin dari generasi kedua sedangkan B.G. Lee harus tunggu gilirannya. Berapa lama Goh akan bertahan? Ini bergantung, kata Milne dan Mauzy, pada penampilannya sebagai PM. Buku ini juga menyentuh soal legitimasi. Ada sementara pendapat, pemerintah sekarang bisa bertanan karena menggunakan tangan besi. Milne dan Mauzy tidak sependapat. Menurut mereka, PAP mendapat sokongan yang cukup besar. Mereka yang kritis terhadap PAP masih tetap memilih partai itu dalam pemilu. Rupanya, mereka berasa tidak ada alternatif. Namun, Milne dan Mauzy mengakui bahwa memang ada pemilih yang tidak suka kepada PAP karena dianggapnya tidak demokratis. Demokrasi dan stabilitas politik akan jadi dua faktor penting dalam politik Singapura di kemudian hari. Milne dan Mauzy mengatakan pemimpin PAP adalah manusia dan tidak luput dari kesalahan. Ia memberikan contoh yang menyebut pimpinan PAP telah membuat kekeliruan: ikut sertanya PAP dalam pemilu Malaysia pada 1964, kunjungan Presiden Israel ke Singapura pada 1986, kebijaksanaan yang membatasi kelahiran, serta keutamaan teknologi tinggi yang berlebihan. Mereka juga membahas ekonomi Singapura yang dependen tapi dinamis, politik luar negeri yang ingin mencari kawan, politik keamanan yang mengutamakan kestabilan, masalah etnik yang mungkin mengancam fabric masyarakat. Tak heran pembahasan mereka tidak mendalam. Buku ini memang tidak ditulis untuk ahli melainkan buat awam yang ingin tahu Singapura. Leo Suryadinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus