JANGAN menunjuk suatu karya Nashar dan menanyakan kepada pelukis itu, apa maunya. Boleh jadi ia akan memberikan jawaban seperti yang diberikannya kepada seorang wartawan, tiga tahun lalu. "Saya cuma menyajikan," katanya, "tetapi tidak bisa menceritakannya." (Suara Pembaruan, 3 Oktober 1987). Judul? "Saya memberi judul juga asal-asalan. Persis atau mirip-mirip pantai, maka saya beri judul yang ada pantainya." Dalam pamerannya yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Juni-9 Juli, pelukis kelahiran Pariaman, Sumatera Barat (1928) itu memang praktis hanya mempunyai tiga judul untuk 34 lukisannya: Irama Alam, Gerak Alam, dan Wajah (atau Wajah-Wajah). Sebuah saja berjudul agak lain: Irama Kota. Yang berjudul Wajah dan Wajah-Wajah menampilkan citra yang cukup jelas bagi setiap penonton: citra wajah manusia tampak dari depan satu, dua, atau beberapa pada satu bidang gambar. Kadang dengan sosok badan. Sangat bersahaja: digambarkan dengan beberapa garis sederhana, serta dua atau beberapa warna rata. Ada yang tampak mirip topeng, ada yang seperti boneka atau patung. Namun, semua itu tak dapat dipastikan karena sederhananya dan digambarkan dengan garis minim yang memberi gambaran global (tidak ada citra telinga di kepala atau lengan di badan, misalnya) dan ditarik leluasa, seenaknya. Walhasil, citra yang rancu, memungkinkan aneka tafsir. Lukisan berjudul Irama Alam dan Gerak Alam sepintas menyerupai lukisan abstrak. Namun, tetap kepada kita Nashar menyajikan citra ruang (atau bahkan citra "tempat"), citra kepejalan (massa), citra bobot, dan citra sosok dengan raut tidak beraturan: citra sosok obyek-obyek, meskipun kita tidak dapat memastikan apa. Sosok-sosok itu, karena beberapa cirinya, hanya dapat kita katakan menggugah pikiran kepada sesuatu, atau membangkitkan asosiasi kepada sesuatu. Misalnya, membangkitkan asosiasi kepada tumbuhan, atau hewan, atau kepada benda mati, atau kepada ketiga hal itu sekaligus. Kerancuan memungkinkan gugahan yang kental, padat atau bernas, bermacam-macam sekaligus. Warna-warna lukisan Nashar terang-benderang, menyala, hampir dapat dibilang rata: kuning, merah, hijau, jingga, biru, dan lain-lain. Hanya di sana-sini nampak olesan-olesan kecil dan bayangan warna yang dioleskan lebih dahulu dan sudah ditumpang warna lain. Dalam lukisan Nashar itu dunia "obyek fantasi". Kita dapat menamakan dunia di dalam lukisan Nashar dunia "obyek khayal" atau "obyek fantasi" karena dihuni oleh obyek-obyek meskipun tidak dapat kita pastikan identitasnya. Lukisan Nashar, dengan demikian, bukannya "nonfiguratif", bukan lukisan abstrak. Cara kerja Nashar sendiri memberi peluang bagi giatnya asosiasi bebas dan pengentalan alias kondensasi pikiran, proses yang terjadi dalam proses dasar atau "proses primer" jiwa kita, kalau kita hendak bergenit-genit dengan istilah psikoanalisis. Bukan sekali dua kali Nashar melontarkan kecurigaan dan penolakannya terhadap peranan akal sadar dalam kerja seni. Proses melukisnya sendiri ia gambarkan dalam sepucuk surat kepada Zaini (Sinar Harapan, 9 November 1974). Menurut pengakuannya dalam surat itu, Nashar mulai melukis tanpa rancangan, tanpa konsep. Ia langsung mulai dengan mencoret-coret, tanpa gambaran sedikit pun tentang hasilnya nanti. "Aku sama sekali tidak tahu apa yang hendak kucapai," katanya. Pada corat-coret awal itu ia melihat sejumlah kemungkinan untuk dikembangkan. Dikembangkan jadi apa, itu ia tidak tahu. Ia hanya "merasa sesuatu yang samarsamar". Lalu ia memilih salah satu kemungkinan -- pilihan yang samar-samar pula. Kembali ke pernyataannya yang saya kutip pertama di depan tadi. Kalaupun didesak juga untuk mengatakan apa yang diungkapkannya dalam lukisannya, paling-paling Nashar akan menjawab, "Inilah yang saya lukis. Getaran hidup, rasa hidup, atau kehidupan rasa itu sendiri." Ia tidak menyebutkan jenis-jenis perasaan ataupun macam-macam emosi. Alih-alih, ia menyebutkan "rasa hidup" atau bahkan "kehidupan rasa". Dan itu tidaklah amat jelas. Lagi pula, tampaknya ia menyebutkan sesuatu yang ia ungkapkan dalam setiap, atau semua, karyanya. Apa yang khusus ia ungkapkan dalam suatu karya tertentu, dalam lukisan ini, atau lukisan itu, kita tetap tidak tahu. Dan formula "rasa hidup" atau "kehidupan rasa" tidak pula memberi kita kunci untuk memasuki dan memahami lukisan-lukisan Nashar. Nashar adalah perupa yang sejak 1944 melukis dan tidak pernah tinggal gelanggang meskipun kemiskinan dan penderitaan dialaminya. Ini memang menimbulkan hormat dan kagum. Orang lantas ingin mendengarkannya. Orang ingin mengetahui rahasianya, ingin belajar. Maka, setiap kali ia berpameran, wartawan dan penulis berbondong datang kepadanya untuk bertanya-tanya. Lagi pula, menurut kepercayaan umum, pelukis yang gigih ini tentulah mempunyai pasal-pasal penting yang dirasa perlu disampaikannya -- pasal-pasal pribadi, maksud-maksud pribadi -- yang orang awam, ketika berhadapan dengan karyanya, tidak mampu mengajuk dan mengangkatnya ke pemahaman. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini