SUATU malam di pangkalan angkatan laut AS, Teluk Guantanamo, Kuba. Dua perwira, Dawson dan Downey, berjalan menuju kamar rekannya, Santiago, untuk menunaikan sebuah tugas. Tugas itu adalah: menyiksa Santiago habis-habisan karena ia dianggap tidak menjunjung tinggi kehormatan korps. Ternyata Santiago meninggal. Pertanyaan yang muncul: apakah kedua perwira itu bersalah atau hanya sekadar menjalankan tugas atasan? Sutradara Rob Reiner menyodorkan sebuah pertanyaan dilematis. Di satu pihak, para marinir wajib menjunjung tinggi disiplin militer. ''Hidup kami diatur kata-kata Tuhan dan perintah Kolonel Nathan Jessep,'' demikian Letnan Kendrick (Kiefer Sutherland). Di lain pihak, apakah kepatuhan kepada perintah atasan harus sedemikian membabi buta sehingga melanggar perikemanusiaan? Sejak semula penonton sudah diberi tahu bahwa Kolonel Nathan Jessep (diperankan dengan gemilang oleh Jack Nicholson) adalah muara dari persoalan ini. Adalah Kolonel Jessep yang masih menjalankan Code Red, sebuah konsep kedaluwarsa yang tak pernah tercantum secara formal dalam buku manual marinir AS. Tujuan kode ini adalah untuk menghukum anak buah yang dianggap tidak disiplin. Tugas tim pengacara AL di Washington yang terdiri dari Letnan Daniel Kaffee (Tom Cruise), Letkol Joanne Galloway (Demi Moore), dan Letnan Sam Weinberg (Kevin Pollack) membuktikan bahwa kedua perwira itu tak bersalah dan hanya alat dari perbuatan penyelewengan kekuasaan. Sayangnya, Kaffee yang bertindak sebagai ketua tim pengacara lebih suka bermain base- ball daripada bersusah payah mencari bukti bagi pembelaan kliennya. Kaffee adalah wakil dari sikap para pengacara ''sukses'' Amerika. Muda, tampan, lulusan Universitas Harvard, dan lebih suka menyelesaikan kasusnya di luar pengadilan dengan cara ''musyawarah''. Tapi gaya gampangan ini justru ditentang oleh Galloway. Galloway berhasil meyakinkan Kaffee untuk berjuang membebaskan kedua perwira itu dan memaksa mengajukan Kolonel Jessep sebagai saksi. Reiner berhasil menciptakan suasana ketegangan sepanjang film bukan untuk mencari pembunuh Santiago. Ketegangan itu tercipta karena kita ingin tahu bagaimana Kaffee yang dianggap pengacara ingusan itu bisa memojokkan Jessep. Jessep adalah seorang komandan senior yang menyangka dirinya berada di atas hukum. Ia adalah generasi yang mengalami Perang Korea dan Vietnam, sehingga pertanyaan-pertanyaan Kaffee di sidang pengadilan dianggapnya sebagai rengekan anak kecil yang menjengkelkan. Yang menarik dari film ini adalah intensitas suasana pengadilan yang dibangun Reiner di hampir sepanjang film. Film drama pengadilan memang bukan hal yang baru dalam sejarah perfilman Hollywood, tapi film yang mengetengahkan martial court (pengadilan militer) baru sedikit. Beberapa tahun silam, sutradara terkemuka Robert Altman pernah membuat film dengan tema serupa yang berjudul The Caine Mutiny. Ini mengisahkan seorang marinir yang didakwa atasannya karena dianggap telah melawan perintahnya dalam sebuah peristiwa badai. Selama dua jam, penonton sama sekali tidak diberi gambaran flash back, sehingga peristiwa-peristiwa itu hanya diketahui dari sidang. The Caine Mutiny tidak akan menarik banyak penonton karena tak satu pun aktor atau aktrisnya dikenal di Indonesia. Berbeda dengan A Few Good Men. Namun, sebagai sebuah film, penggarapan cerita dan karakterisasi dalam The Caine Mutiny jauh lebih kompleks dan menukik. Altman tidak terjebak dalam sebuah kisah pengadilan Si Jahat lawan Si Baik. Baik terdakwa maupun penuntut sama-sama memiliki kepentingan politik. Sementara A Few Good Men secara terang-terangan memilih siapa tokoh yang jahat (Kolonel Jessep dan Letnan Kendrick) dan tokoh yang baik (Kaffee dan Galloway). Karakterisasi yang dibangun oleh Tom Cruise dan Demi Moore tidak meyakinkan. Kita melihat seorang pengacara ganteng, yang semula ogah untuk berpikir yang susah-susah, mendadak sontak setelah dimaki oleh rekan wanitanya menjadi pengacara yang garang dan agresif di ruang pengadilan. Metamorfosa yang terjadi dalam kepribadian Kaffee begitu gampang dan mulus. Sebaliknya, Galloway yang semula digambarkan sebagai pengacara wanita yang idealis, gagah dan berani, tiba-tiba dengan mudahnya membentangkan arena pengadilan untuk Kaffee sendiri. Satu-satunya yang menunjukkan kecanggihan akting adalah Jack Nicholson. Dan ia layak mendapat Piala Oscar tahun ini. Penyelesaian yang dibuat Reiner tentu saja sebuah happy ending. Hakim memerintahkan penahanan Kolonel Jessep. Dengan wajah puas, Kaffee menyaksikan singa tua itu meraung dengan pahit. Sebuah penyelesaian yang sangat memenuhi kriteria Hollywood. Reiner yang telah berhasil dalam film Stand by Me, When Harry Met Sally, dan Misery ini akhirnya menawarkan sebuah impian. Dalam kenyataan hidup, terlalu banyak orang seperti Kolonel Jessep yang dibiarkan hidup dan memenangkan pertandingan. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini