SIDANG umum MPR kali ini berlangsung adem ayem. Tak banyak perdebatan. Ketetapan yang akan diputuskan pun cuma lima buah. Dan satu-satunya penghangat adalah ''interupsi'' PDI, yang mengusulkan dibicarakannya rancangan ketetapan tentang pemilu. Dan awal pekan ini, persidangan memasuki babak yang ditunggu: pemilihan presiden dan wakil presiden. Presiden yang akan dipilih bisa dipastikan Jenderal Purnawirawan Soeharto. Dan wakil presidennya Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno. Namun, bagaimana proses pencalonannya? Itu yang perlu dilacak. Setiap anggota majelis diminta membubuhkan tanda tangan di atas blangko sebagai bukti dukungannya. Tradisi ini dirintis Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) pada Sidang Umum MPR 1988, dan kini diikuti oleh empat fraksi lainnya. Anggota F-KP menunjukkan sikap antusias menorehkan tanda tangannya. Sehari sebelum sidang umum dibuka Ahad petang pekan lalu, seusai rapat fraksi di Hotel Indonesia, pimpinan F-KP mengedarkan blangko dukungan untuk pencalonan presiden dan wakil. Kontan para anggota fraksi karya berdesak-desakan, adu cepat menekennya. Di antara kerumunan itu tampak pula Ny. Try Sutrisno. Peredaran blangko ini tak mencolok di kalangan Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan Daerah. Namun hasilnya sama. Tak ada anggota yang mencoba mbalelo, menolak menandatangani. Tapi di F-PDI dan F-PP suasananya agak lain. Sejumlah anggota tampak menunda penandatanganan blangko itu. Guruh Sukarno Putra salah satu di antaranya. ''Tolong, beri saya waktu berpikir,'' ujarnya ketika seorang pimpinan PDI menyodorkan blangko pencalonan presiden. Rupanya, ada 18 orang dari F-PDI yang menolak blangko itu sampai Rabu malam pekan lalu. Tapi akhirnya Guruh dan kawan- kawannya tak bisa mengelak. Alasannya, bagaimanapun fraksinya secara resmi telah mengajukan nama Pak Harto dan Try Sutrisno. ''Saya harus konsekuen dengan sikap F-PDI. Suka atau tidak suka,'' ujar Guruh ringan. Tapi tak berarti semuanya mulus. Sampai akhir pekan lalu masih ada dua anggota MPR, Royani Haminullah dari F-PDI dan Sri Bintang Pamungkas dari F-PP, yang belum membubuhkan tanda tangan di lembar pencalonan presiden. ''Saya tak setuju dengan prosedur begini,'' ujar Bintang. Ia menganggap prosedur tanda tangan itu sebuah pemaksaan halus. ''Ini menandakan segala sesuatunya telah diputuskan di luar sidang MPR. Ini aneh,'' tambah Bintang. Namun, tanpa tanda tangan kedua anggota itu, pencalonan presiden dan wakil presiden tak ada ganjalan. Kalaupun mereka tetap menolak, toh fraksi mereka di MPR, bersama ketiga fraksi yang lain, sudah sepakat mencalonkan duet Pak Harto dan Try Sutrisno. Di mata Majelis, Pak Harto memang punya kelebihan. Lihat saja pemandangan umum atas pidato pertanggungjawaban mandataris, Senin pekan lalu, yang diterima bulat oleh lima fraksi MPR. Ar- tinya, selaku mandataris, kepemimpinan Pak Harto dinilai berjalan lempang di atas rel Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). ''Mandataris telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, penuh tanggung jawab, bijaksana, dan arif,'' ujar juru bicara F-ABRI, Bantu H. Ardjito, dalam pidato pemandangan umumnya. Dalam pidato pertanggungjawabannya, sekitar dua jam, Pak Harto memaparkan jalannya pembangunan lima tahun lalu dan sekaligus 25 tahun, selama ia memimpin negeri ini (TEMPO, 6 Maret 1993). Memang ada pula catatan kecil yang memuat kritik atas pertanggungjawaban presiden itu. F-PP, misalnya, mencatat ada- nya peningkatan produktivitas petani padi, ternyata tak diimbangi dengan membaiknya nilai tukar produk pertanian. Lantas F-PP juga meminta adanya Inpres khusus untuk menangani kantung-kantung kemiskinan di kota atau di desa. Pelaksanaan pemilu juga menjadi salah satu sorotan F-PP. Koensholehoedin, juru bicara F-PP, memasalahkan kecurangan pe- milu yang dicurigainya terjadi di tingkat paling bawah, di kelompok penyelenggara pemilu dan panitia pendaftaran pemilih. Hal ini dipersoalkan pula oleh F-PDI dalam pemandangan umum atas pidato pertanggungjawaban presiden pada hari ketiga sidang, Rabu pekan lalu. Lewat Nico Daryanto, F-PDI menyoroti soal daya saing riil komoditi Indonesia yang loyo, lantaran rendah efisiensi dan produktivitasnya. Yang dikritiknya, Pemerintah mengambil jalan pintas, dengan proteksi yang berlebihan, subsidi, monopoli, atau praktek bisnis yang tidak fair. ''Jangan pula kita membuat barang menjadi murah dengan menekan upah buruh atau mendepresiasikan rupiah,'' ujar Nico, yang disambut tepuk tangan. Singkat kata, F-PDI minta adanya undang-undang antimonopoli. Tepuk tangan dan koor setuju memang mewarnai Sidang Umum MPR ini. Secara umum persidangan berlangsung tenang, dingin, dan tertib. Maklum, hampir seluruh perdebatan telah habis di Badan Pekerja MPR yang bekerja maraton selama 75 hari, sampai 21 Januari lalu. Sidang umum kali ini mengagendakan pembahasan lima rancangan ketetapan dan sebuah rancangan keputusan. Kelima rancangan ketetapan ini berisi materi mengenai tata tertib MPR, GBHN, pertanggungjawaban mandataris, pengangkatan presiden, dan pengangkatan wakil presiden. Sedangkan sebuah rancangan keputusan memuat jadwal persidangan. Namun, bagi Guruh Sukarno Putra, suasana sidang tetap tak memberikan sensasi yang menggairahkan. ''Bosan dan capek. Cuma mendengarkan pidato,'' ujarnya. Padahal, sebelumnya ia membayangkan bakal terjadi adu pendapat sengit, di semua tingkat persidangan majelis itu. Walau tak seru, pertemuan F-KP pekan lalu sempat mengundang perhatian. Tiga koran Media Indonesia, Terbit, dan Merdeka ''membocorkan'' pertemun tertutup. Diberitakan, Ny. E.N. Sudharmono mengimbau agar hak bicara anggota dihormati, minimal di fraksi. Istri Wakil Presiden Sudharmono itu juga mengecam pimpinan floor yang main menutup dengan mengajak anggota pass. ''Sebagai fraksi terbesar, seharusnya F-KP memberikan teladan, mendorong semua anggotanya lebih berani bicara secara terbuka, lebih demokratis,'' begitu antara lain ucapan Ny. E.N. Sudhar- mono. Berita itu mengundang protes Menteri Sudomo. Mereka dianggapnya telah menyiarkan sesuatu dari rapat yang dinyatakan tertutup. ''Pemberitaan itu tidak etis,'' ujarnya. Dan Sudomo mengancam akan memanggil ketiga pemimpin redaksi koran Ibu Kota itu. Namun, rupanya rencana itu tak didukung oleh tiga koleganya, Menteri Rudini, Akbar Tanjung, Harmoko. ''Selain dewan kehormatan pers, tak ada lembaga yang berhak memanggil pemimpin redaksi,'' kata Harmoko. Sudomo ragu, lalu berkelit. Ia mengatakan, mau memanggil tokoh pers. ''Saya kan satpamnya F- KP. Jadi berhak memanggil mereka karena mereka merugikan kami,'' ujarnya. Tapi cerita yang paling seru adalah kabar burung mengenai kemungkinan adanya dua calon wakil presiden. Cerita ini naik ke permukaan setelah dua tokoh F-KP Sudomo dan Suhardiman mengatakan bahwa pencalonan oleh kelima fraksi tak berarti Try Sutrisno bisa dipastikan akan menduduki kursi terhormat itu. ''Itu tergantung kesediaan presiden terpilih nanti,'' kata Sudomo. Kabar burung itu makin menjadi-jadi gara-gara ada info bahwa bekas menko kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara dikabarkan mengadakan rapat untuk mengajukan calon wakil presiden alternatif. Bahkan ia dikabarkan menemui Pangab Jenderal TNI Edi Sudradjat dan meminta ABRI menyiapkan calon alternatif itu. Namun, Edi Sudradjat menampik kabar burung itu. Ia mengatakan tak pernah ditemui Alamsjah. Pangab baru ini pun tegas menolak kebenaran desas-desus calon alternatif itu. Ketika didesak wartawan, Edi mengatakan, ''Kalian itu reporter tapi seperti agen rahasia saja,'' ujarnya sembari senyum. Suhardiman sendiri juga memastikan bahwa tak ada unsur-unsur F- KP yang mencoba mengutak-utik pencalonan Try. ''Pencalonan Pak Try oleh F-KP sudah bulat,'' ujarnya. Ia pun menyanggah cerita tentang rapat rahasia yang diadakan Alamsjah itu. ''Isu itu tak berdasar,'' ujarnya. Putut Trihusodo, Wahyu Muryadi, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini