Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari ruang tahanan seorang ...

Pengarang: mochtar lubis jakarta: sinar harapan, 1980 resensi oleh: susanto pudjomartono. (bk)

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN SUBVERSIF Oleh: Mochtar Lubis Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta 1980 Cetakan kedua, 503 halaman DI awal revolusi 1945,seorang wartawan Amerika pernah mengajak Mochtar Lubis bertaruh jika sudah berkuasa, banyak pemimpin Indonesia yang akan korup. Sebagai wartawan, Mochtar yang mengenal Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sjafruddin dan sebagainya, yakin mereka akan tetap sederhana. Sejarah kemudian membuktikan Mochtar Lubis salah. Mungkin itulah yang kemudian mendorong Mochtar Lubis tumbuh sebagai pengeritik yang keras dan blak-blakan. Lewat koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya, ia melancarkan perang terhadap korupsi, penyelewengan dan apa saja yang dianggapnya "kezaliman". Itu dilakukannya dengan menggebu-gebu, tanpa kompromi. Tanpa peduli siapa yang bakal tergilas. Atau apa akibatnya bagi dirinya -- dan anak buahnya. Kritik kerasnya itulah yang kemudian menyebabkan pemimpin redaksi Indonesia Raya ini ditahan. Di akhir 1956, beberapa anggota CPM (Corps Polisi Militer) menjemput dan menahannya di tempat tahanan Jalan Guntur, Jakarta. Kemudian ia beberapa kali dipindahkan, ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Jalan Budi Utomo, Rumah Tahanan Madiun dan Wisma Keagungan Jakarta. Mochtar, waktu itu 34 tahun, masuk tahanan dengan sikap dan rasa keingintahuan seorang wartawan siap mendengar dan mencatat apa yang menarik perhatiannya. Ia membuat catatan harian, dengan keyakinan itu akan diterbitkan kelak. Mochtar yakin, walau dalam tahanan perjuangan bisa diteruskan. Ternyata sekitar sembilan tahun ia ditahan, termasuk 4,5 tahun tahanan rumah dan beberapa bulan kebebasan pada 1961. Catatan harian itu kemudian memang diterbitkan. Catatan Subversif semula secara bersambung dimuat di Indonesia Raya, setelah Mochtar bebas dan korannya diizinkan terbit lagi. Kemudian pada 1980 diterbitkan dalam bentuk buku. Sukarno Sebagai Lambang Selain wartawan, Mochtar Lubis dikenal sebagai sastrawan. Bukunya Jalan Tak Ada Ujung misalnya, merupakan salah satu novel Indonesia yang terkuat. Tapi Catatan Subversif bukanlah suatu karya jurnalistik atau sastra yang bagus. Sebagai suatu catatan harian ia mempunyai banyak keterbatasan: ditulis secara singkat dan tidak teratur, serta tak peduli dengan gaya bahasa. Buku seperti ini juga sulit dimengerti oleh mereka yang tak mengenal keadaan waktu itu. Namun buku ini kaya dengan banyak anekdot yang segar. Mochtar melukiskan kehidupan dalam tahanan yang rutin secara menarik. Dicatatnya bermacam pribadi dan watak para tahanan serta hidup mereka. Ia bercerita tentang mimpi-mimpi tidurnya. Juga tentang mimpinya yang lain: gagasan, pandangan dan citanya tentang Indonesia. Secara menyentuh -- meskipun bisa disebut juga terasa repetitif dalam buku ini -- ia menulis tentang Hally, istrinya, yang seakan dijadikannya ilham dan sumber kekuatannya selama ditahan. Membaca buku ini orang juga sulit meluputkan diri dari suatu kesan: tampaknya Mochtar Lubis memperoleh kekuatannya selama ditahan dari keyakinannya bahwa yang dilakukannya benar. Mochtar tampaknya yakin ia ditahan karena kebencian dan ketakutan "penguasa" padanya. Ia kemudian mengidentikkan Sukarno sebagai penguasa yang memenjarakannya. Sukarno dijadikannya lambang seorang musuh. Itu terlihat dalam catatan harian ini. Semua yang jelek yang menimpa dirinya, rekan-rekannya sesama tahanan dan juga segenap bangsa Indonesia, ditimpakannya pada Sukarno. Mochtar Lubis tak segan menggunakan kata kasar untuk mencaci Sukarno. Seakan ia bersikap hitam-putih terhadap presiden pertama ini. Orang bisa menganggap, berkat kebenciannya pada Sukarno lah Mochtar Lubis bisa tetap tegak tegar walau bertahun ditahan. Kesan ini diperkuat karena tampaknya Mochtar tidak berusaha mengkaji situasi Indonesia waktu itu secara lebih dingin. Misalnya ia tak mencatat sama sekali tentang peranan politik ABRI, khususnya Angkatan Darat, yang makin kuat dan mencuat sejak 1957. Mochtar seperti terpaku pada simbol Sukarno -- dan PKI yang makin kuat, sebagai musuh. Barulah di akhir buku, pada 1966, ia mengulas tentang peranan ABRI dan harapannya buat masa depan. Tapi rupanya Mochtar sadar. Rasa benci, dendam, amarah dan sakit hati pada Sukarno dan kawan-kawannya tak bisa dipendamnya. "Perasaan-perasaan demikian amat merusak diri kita sendiri, dan mesti dijauhkan dari hati dan jiwa," tulisnya. Janji Indah Yang juga menonjol dari buku ini adalah betapa besar dan kuat gairah hidup Mochur Lubis. Jumlah dan jenis kegiatannya selama ditahan menakjubkan. Antara lain ia banyak sekali membaca, mempelajari beberapa bahasa asing, melukis dan membuat skets (beberapa di antaranya dimuat dalam buku ini), berlatih yoga, memelihara anggrek, belajar main piano, mencatat resep masakan, bertukang kayu dan membuat keramik. Dan tentu juga menulis: sajak, gagasan-gagasan dan novel. Dua di antaranya yang kemudian diterbitkan adalah Senja di Jakarta dan Harimau-barimau. Lewat Catatan Subversif ini, Mochtar telah membuktikan seseorang bisa melawan penahanan yang lama tanpa menyerah. Ia berhasil membebaskan pikiran dan memelihara identitasnya sebagai manusia. Yang agak kurang, dan ini mungkin sesuai dengan diri Mochtar yang aktif, ialah perenungan atau kontemplasi, yang dalam. Mungkin semua ini karena sebagai tahanan politik, secara relatif Mochtar Lubis diperlakukan cukup baik. Ia memperoleh perlakuan dan fasilitas yang memungkinkannya mempertahankan identitasnya. Para "tapol", termasuk Mochtar, memperoleh cukup makan, bisa membaca dan berolahraga, sering dikunjungi keluarga, sesekali berpesta -- bahkan pernah dengan minum sampanye. Mereka tidak pernah mengalami siksaan jasmani dan derita tahanan kriminal yang bisa mematahkan orang terkuat sekalipun. Sebagai catatan sejarah buku ini perlu dibaca. Seperti diharapkan Mochtar: sebagai pelajaran untuk direnungkan para pemegang kekuasaan. Juga untuk rakyat agar tak mudah tertipu dan terpesona kata-kata dan janji indah. Seandainya melalui editing yang baik, buku ini sebetulnya bisa lebih enak diikuti. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus