CATATAN SUBVERSIF
Oleh: Mochtar Lubis
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta 1980
Cetakan kedua, 503 halaman
DI awal revolusi 1945,seorang wartawan Amerika pernah mengajak
Mochtar Lubis bertaruh jika sudah berkuasa, banyak pemimpin
Indonesia yang akan korup. Sebagai wartawan, Mochtar yang
mengenal Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sjafruddin dan sebagainya,
yakin mereka akan tetap sederhana. Sejarah kemudian membuktikan
Mochtar Lubis salah.
Mungkin itulah yang kemudian mendorong Mochtar Lubis tumbuh
sebagai pengeritik yang keras dan blak-blakan. Lewat koran yang
dipimpinnya, Indonesia Raya, ia melancarkan perang terhadap
korupsi, penyelewengan dan apa saja yang dianggapnya
"kezaliman". Itu dilakukannya dengan menggebu-gebu, tanpa
kompromi. Tanpa peduli siapa yang bakal tergilas. Atau apa
akibatnya bagi dirinya -- dan anak buahnya.
Kritik kerasnya itulah yang kemudian menyebabkan pemimpin
redaksi Indonesia Raya ini ditahan. Di akhir 1956, beberapa
anggota CPM (Corps Polisi Militer) menjemput dan menahannya di
tempat tahanan Jalan Guntur, Jakarta.
Kemudian ia beberapa kali dipindahkan, ke Rumah Tahanan Militer
(RTM) Jalan Budi Utomo, Rumah Tahanan Madiun dan Wisma Keagungan
Jakarta.
Mochtar, waktu itu 34 tahun, masuk tahanan dengan sikap dan rasa
keingintahuan seorang wartawan siap mendengar dan mencatat apa
yang menarik perhatiannya. Ia membuat catatan harian, dengan
keyakinan itu akan diterbitkan kelak. Mochtar yakin, walau dalam
tahanan perjuangan bisa diteruskan. Ternyata sekitar sembilan
tahun ia ditahan, termasuk 4,5 tahun tahanan rumah dan beberapa
bulan kebebasan pada 1961.
Catatan harian itu kemudian memang diterbitkan. Catatan
Subversif semula secara bersambung dimuat di Indonesia Raya,
setelah Mochtar bebas dan korannya diizinkan terbit lagi.
Kemudian pada 1980 diterbitkan dalam bentuk buku.
Sukarno Sebagai Lambang
Selain wartawan, Mochtar Lubis dikenal sebagai sastrawan.
Bukunya Jalan Tak Ada Ujung misalnya, merupakan salah satu novel
Indonesia yang terkuat. Tapi Catatan Subversif bukanlah suatu
karya jurnalistik atau sastra yang bagus. Sebagai suatu catatan
harian ia mempunyai banyak keterbatasan: ditulis secara singkat
dan tidak teratur, serta tak peduli dengan gaya bahasa. Buku
seperti ini juga sulit dimengerti oleh mereka yang tak mengenal
keadaan waktu itu.
Namun buku ini kaya dengan banyak anekdot yang segar. Mochtar
melukiskan kehidupan dalam tahanan yang rutin secara menarik.
Dicatatnya bermacam pribadi dan watak para tahanan serta hidup
mereka. Ia bercerita tentang mimpi-mimpi tidurnya. Juga tentang
mimpinya yang lain: gagasan, pandangan dan citanya tentang
Indonesia. Secara menyentuh -- meskipun bisa disebut juga terasa
repetitif dalam buku ini -- ia menulis tentang Hally, istrinya,
yang seakan dijadikannya ilham dan sumber kekuatannya selama
ditahan.
Membaca buku ini orang juga sulit meluputkan diri dari suatu
kesan: tampaknya Mochtar Lubis memperoleh kekuatannya selama
ditahan dari keyakinannya bahwa yang dilakukannya benar. Mochtar
tampaknya yakin ia ditahan karena kebencian dan ketakutan
"penguasa" padanya. Ia kemudian mengidentikkan Sukarno sebagai
penguasa yang memenjarakannya. Sukarno dijadikannya lambang
seorang musuh.
Itu terlihat dalam catatan harian ini. Semua yang jelek yang
menimpa dirinya, rekan-rekannya sesama tahanan dan juga segenap
bangsa Indonesia, ditimpakannya pada Sukarno. Mochtar Lubis tak
segan menggunakan kata kasar untuk mencaci Sukarno. Seakan ia
bersikap hitam-putih terhadap presiden pertama ini.
Orang bisa menganggap, berkat kebenciannya pada Sukarno lah
Mochtar Lubis bisa tetap tegak tegar walau bertahun ditahan.
Kesan ini diperkuat karena tampaknya Mochtar tidak berusaha
mengkaji situasi Indonesia waktu itu secara lebih dingin.
Misalnya ia tak mencatat sama sekali tentang peranan politik
ABRI, khususnya Angkatan Darat, yang makin kuat dan mencuat
sejak 1957. Mochtar seperti terpaku pada simbol Sukarno -- dan
PKI yang makin kuat, sebagai musuh. Barulah di akhir buku, pada
1966, ia mengulas tentang peranan ABRI dan harapannya buat masa
depan.
Tapi rupanya Mochtar sadar. Rasa benci, dendam, amarah dan sakit
hati pada Sukarno dan kawan-kawannya tak bisa dipendamnya.
"Perasaan-perasaan demikian amat merusak diri kita sendiri, dan
mesti dijauhkan dari hati dan jiwa," tulisnya.
Janji Indah
Yang juga menonjol dari buku ini adalah betapa besar dan kuat
gairah hidup Mochur Lubis. Jumlah dan jenis kegiatannya selama
ditahan menakjubkan. Antara lain ia banyak sekali membaca,
mempelajari beberapa bahasa asing, melukis dan membuat skets
(beberapa di antaranya dimuat dalam buku ini), berlatih yoga,
memelihara anggrek, belajar main piano, mencatat resep masakan,
bertukang kayu dan membuat keramik.
Dan tentu juga menulis: sajak, gagasan-gagasan dan novel. Dua di
antaranya yang kemudian diterbitkan adalah Senja di Jakarta dan
Harimau-barimau. Lewat Catatan Subversif ini, Mochtar telah
membuktikan seseorang bisa melawan penahanan yang lama tanpa
menyerah. Ia berhasil membebaskan pikiran dan memelihara
identitasnya sebagai manusia. Yang agak kurang, dan ini mungkin
sesuai dengan diri Mochtar yang aktif, ialah perenungan atau
kontemplasi, yang dalam.
Mungkin semua ini karena sebagai tahanan politik, secara relatif
Mochtar Lubis diperlakukan cukup baik. Ia memperoleh perlakuan
dan fasilitas yang memungkinkannya mempertahankan identitasnya.
Para "tapol", termasuk Mochtar, memperoleh cukup makan, bisa
membaca dan berolahraga, sering dikunjungi keluarga, sesekali
berpesta -- bahkan pernah dengan minum sampanye. Mereka tidak
pernah mengalami siksaan jasmani dan derita tahanan kriminal
yang bisa mematahkan orang terkuat sekalipun.
Sebagai catatan sejarah buku ini perlu dibaca. Seperti
diharapkan Mochtar: sebagai pelajaran untuk direnungkan para
pemegang kekuasaan. Juga untuk rakyat agar tak mudah tertipu dan
terpesona kata-kata dan janji indah. Seandainya melalui editing
yang baik, buku ini sebetulnya bisa lebih enak diikuti.
Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini