BAGI sekitar 1,5 juta orang keturunan Cina, yang selama ini
status kewarganegaraannya mengambang, kini harus memantapkan
pilihan. Yaitu: menjadi warganegara RI, WNI, yang berarti
menolak kewarganegaraan RRC -- atau sebaliknya, memilih menjadi
warga dari negeri leluhurnya, RRC, yang artinya menolak
kewarganegaraan RI. Sebab Kongres Rakyat Nasional RRC, yang
bersidang Agustus lalu, telah mengakhiri kewarganegaraan rangkap
orang Cina di perantauan.
Nah, "kini menjadi lebih enak mengurus mereka," kata Kepala Sub
Direktorat Penelaahan Status Warganegara, R.S. Nandar, dari Dit.
Penyidikan Keimigrasian (Ditjen Imigrasi). "Pembinaan keturunan
Cina sepenuhnya terserah pemerintah kita sendiri." Misalnya,
tambah Nandar, "mereka harus mau transmigrasi, ikut KB, juga
milisi kalau ada perang." RRC, katanya pula, tak bisa lagi
menggugat-gugat dan menyatakan warganya diperlakukan tak
semestinya bila pemerintah RI menerapkan sesuatu hukum bagi
keturunan Cina di sini.
Urusan "sekarang juga jadi lebih jernih," komentar Advokat Yap
Thiam Hien. RRC, katanya, tak boleh lagi mencampuri cara-cara
pemerintah RI memperlakukan warga keturunan Cina. "Mau
digantung, diinternir atau diapakan saja menurut hukum yang
berlaku -- di sana (RRC) tak bisa lagi campur tangan," ujar Mr.
Yap. Pokoknya, katanya pula, sekarang jelas bagi keturunan Cina
di sini: "Siapa yang lebih berkuasa atas mereka, RI atau RRC,
dan undang-undang mana yang berlaku bagi mereka."
Sebelum ini RRC menganut asas ius sanguinus -- mengklaim setiap
keturunan Cina yang lahir di negara mana pun sebagai
warganegaranya. Bahkan terhadap mereka yang menyatakan menolak
pun, seperti kata Yap, RRC tak mau tahu. Timbullah apa yang
disebut dwikewarganegaraan atau warganegara rangkap. Akibatnya
menyulitkan negara-negara yang dimukimi, seperti Malaysia,
Muangthai di samping Indonesia sendiri. Konflik negara-negara
berdaulat sering terjadi dengan RRC yang ingin ikut mengatur
"warga perantauan."
Maka keputusan Kongres Rakyat Nasional RRC baru-baru ini boleh
mengingatkan sekian juta huakiaw, yang "mengambang" di
mana-mana, untuk memilih kewarganeragaannya. Sebelum
kebijaksanaan pemerintah, yang mempermudah proses
kewarganegaraan (berdasarkan Inpres No. 2/1980 yang berakhir
Agustus lalu), menurut Nandar, di Indonesia terdapat sekitar 2
juta orang yang berkewarganegaraan rangkap. Sekarang
diperkirakan berkurang dan tinggal sekitar 1,5 juta.
Namun begitu kesungguhan sikap RRC masih diragukan. Setidaknya
oleh Prof. Soenario, yang punya pengalaman dengan RRC, khususnya
yang berkenaan dengan urusan kewarganegaraan. "Saya tak heran
mendengar sikap RRC hendak melepaskan warganya yang di
perantauan," kata bekas Menteri Luarnegeri yang kini berusia 78
tahun tersebut. Sebab, katanya, "hal itu seharusnya sudah lama
terjadi." Ketika bekas Menlu tersebut menandatangani perjanjian
dengan Chou En Lai, dalam Konperensi AA yang berlangsung 1955,
dwikewarganegaraan sebenarnya sudah diakhiri. "Itulah foto
perjanjiannya," kata Soenario sambil menunjuk sebuah foto.
Dari perjanjian tersebut dibuatlah undang-undang tentang
kewarganegaraan (UU No. 62/1958) Berikutnya Chou En Lai juga
meneken perjanjian yang sama dengan Malaysia (1974) dan
Muangthai (1975). Tapi anehnya, menurut Soenario, "RRC
terus-menerus berusaha mempengaruhi huakiaw untuk kepentingan
politik dan ekonomi mereka." Bahkan, menurut profesor lain, Ting
Swan Tiong, RRC tak pernah menggubris permohonan "berhenti" jadi
warganegara yang banyak diajukan keturunan Cina di sini.
"Sikap RRC mau menang sendiri," nilai Prof. Ting. Dan Soenario
dari dulu juga menilai: "Sikap negara itu menclamencle atau plin
plan " Oleh karena itu katanya lagi, "konsekuensinya yang
penting adalah agar kita jangan dulu memulihkan hubungan
diplomatik dengan RRC, sebelum soal kewarganegaraan beres."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini