Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tinggal Pilih: Di sini Atau Di Sana

Cina akan mengakhiri kewarganegaraan rangkap orang Cina diperantauan, namun dari berbagai pihak di Indonesia masih meragukan pelaksanaannya a.l: Soenario (bekas menlu R.I).

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sekitar 1,5 juta orang keturunan Cina, yang selama ini status kewarganegaraannya mengambang, kini harus memantapkan pilihan. Yaitu: menjadi warganegara RI, WNI, yang berarti menolak kewarganegaraan RRC -- atau sebaliknya, memilih menjadi warga dari negeri leluhurnya, RRC, yang artinya menolak kewarganegaraan RI. Sebab Kongres Rakyat Nasional RRC, yang bersidang Agustus lalu, telah mengakhiri kewarganegaraan rangkap orang Cina di perantauan. Nah, "kini menjadi lebih enak mengurus mereka," kata Kepala Sub Direktorat Penelaahan Status Warganegara, R.S. Nandar, dari Dit. Penyidikan Keimigrasian (Ditjen Imigrasi). "Pembinaan keturunan Cina sepenuhnya terserah pemerintah kita sendiri." Misalnya, tambah Nandar, "mereka harus mau transmigrasi, ikut KB, juga milisi kalau ada perang." RRC, katanya pula, tak bisa lagi menggugat-gugat dan menyatakan warganya diperlakukan tak semestinya bila pemerintah RI menerapkan sesuatu hukum bagi keturunan Cina di sini. Urusan "sekarang juga jadi lebih jernih," komentar Advokat Yap Thiam Hien. RRC, katanya, tak boleh lagi mencampuri cara-cara pemerintah RI memperlakukan warga keturunan Cina. "Mau digantung, diinternir atau diapakan saja menurut hukum yang berlaku -- di sana (RRC) tak bisa lagi campur tangan," ujar Mr. Yap. Pokoknya, katanya pula, sekarang jelas bagi keturunan Cina di sini: "Siapa yang lebih berkuasa atas mereka, RI atau RRC, dan undang-undang mana yang berlaku bagi mereka." Sebelum ini RRC menganut asas ius sanguinus -- mengklaim setiap keturunan Cina yang lahir di negara mana pun sebagai warganegaranya. Bahkan terhadap mereka yang menyatakan menolak pun, seperti kata Yap, RRC tak mau tahu. Timbullah apa yang disebut dwikewarganegaraan atau warganegara rangkap. Akibatnya menyulitkan negara-negara yang dimukimi, seperti Malaysia, Muangthai di samping Indonesia sendiri. Konflik negara-negara berdaulat sering terjadi dengan RRC yang ingin ikut mengatur "warga perantauan." Maka keputusan Kongres Rakyat Nasional RRC baru-baru ini boleh mengingatkan sekian juta huakiaw, yang "mengambang" di mana-mana, untuk memilih kewarganeragaannya. Sebelum kebijaksanaan pemerintah, yang mempermudah proses kewarganegaraan (berdasarkan Inpres No. 2/1980 yang berakhir Agustus lalu), menurut Nandar, di Indonesia terdapat sekitar 2 juta orang yang berkewarganegaraan rangkap. Sekarang diperkirakan berkurang dan tinggal sekitar 1,5 juta. Namun begitu kesungguhan sikap RRC masih diragukan. Setidaknya oleh Prof. Soenario, yang punya pengalaman dengan RRC, khususnya yang berkenaan dengan urusan kewarganegaraan. "Saya tak heran mendengar sikap RRC hendak melepaskan warganya yang di perantauan," kata bekas Menteri Luarnegeri yang kini berusia 78 tahun tersebut. Sebab, katanya, "hal itu seharusnya sudah lama terjadi." Ketika bekas Menlu tersebut menandatangani perjanjian dengan Chou En Lai, dalam Konperensi AA yang berlangsung 1955, dwikewarganegaraan sebenarnya sudah diakhiri. "Itulah foto perjanjiannya," kata Soenario sambil menunjuk sebuah foto. Dari perjanjian tersebut dibuatlah undang-undang tentang kewarganegaraan (UU No. 62/1958) Berikutnya Chou En Lai juga meneken perjanjian yang sama dengan Malaysia (1974) dan Muangthai (1975). Tapi anehnya, menurut Soenario, "RRC terus-menerus berusaha mempengaruhi huakiaw untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka." Bahkan, menurut profesor lain, Ting Swan Tiong, RRC tak pernah menggubris permohonan "berhenti" jadi warganegara yang banyak diajukan keturunan Cina di sini. "Sikap RRC mau menang sendiri," nilai Prof. Ting. Dan Soenario dari dulu juga menilai: "Sikap negara itu menclamencle atau plin plan " Oleh karena itu katanya lagi, "konsekuensinya yang penting adalah agar kita jangan dulu memulihkan hubungan diplomatik dengan RRC, sebelum soal kewarganegaraan beres."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus