Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Dari Sang Gadis Pemburu Senja

Gadis Pemburu Senja itu kini seorang ibu yang relaks. Ia melahirkan "Petir" yang sangat enak dibaca.

21 Februari 2005 | 00.00 WIB

Dari Sang Gadis Pemburu Senja
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Supernova, Petir Penulis: Dee Penerbit: Akur, Desember 2004 (201 halaman)

Elektra lahir dari persetubuhan antara bunga-bunga hujan bernama petir dengan bumi. Dia kemudian tumbuh menjadi se-orang gadis yang tidak menyadari "tenaga" yang ada dalam dirinya, sebuah tenaga, sebuah tubuh yang mengandung "energi yang tetap jumlahnya, kekal, tak bisa diciptakan dan dibinasakan," demikian tutur ibu Sati kepada Elektra yang ternganga akan kekuatan dirinya (hlm. 136).

Dengan kekuatan seperti itu, Elektra yang selama ini tumbuh dan memiliki dunia sendiri—ia memilih tidur siang dan tak punya pekerjaan—kemudian memberanikan diri merentangkan kekuatannya perlahan-lahan. Hidupnya yang selama ini bak orang kalah dan dungu—sementara kakaknya, Watti yang jelita itu, telah menikah, makmur, dan kaya raya bersuamikan eksekutif Freeport, dia tak kunjung punya jodoh—mulai terbuka ketika dia berkenalan dengan sebuah dunia tak berbatas: dunia cyber. Maka rumahnya yang besar itu—warisan dari ayah, "tukang listrik" Wijaya—menjadi sebuah distro terkemuka di Kota Bandung.

Novel Supernova, Petir—buku serial ketiga dari Supernova—karya Dee (nama asli Dewi Lestari) ini bisa dikatakan sekuel yang paling "relaks" sekaligus paling cemerlang dibandingkan kedua sekuel sebelumnya. Jika Supernova, Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh tampil menggebrak dunia perbukuan tiga tahun silam karena "ditulis dengan bakat yang lumayan, yang ditandingi oleh semangat menggebu seorang pemula yang takjub" akan sains (Nirwan Arsuka, Tempo, 8 April 2001). Jika pada Supernova pertama, istilah ilmiah yang bertebaran lebih menunjukkan "pergulatan seorang amatir yang mabuk kepayang" sehingga kehadiran teori-teori sains yang membludak itu bisa "memukau, dan bisa jadi mengintimidasi", maka Supernova sekuel Petir ini berhasil menampilkan sebuah kisah—sebagaimana fitrah sebuah novel—yang meramu sains, drama, roman dan dunia maya sebagai satu kesatuan yang asyik, jenaka tanpa pretensi, tanpa ketegangan seorang penulis pemula. Kini, Sang Gadis Pemburu Senja—demikian majalah ini menamakannya, karena dia gemar mengejar cahaya kuning di senja hari—tak lagi menggebu-gebu menebarkan semangat introduksi sains kepada pembaca. Dia seorang ibu yang nyaman dengan dirinya, dengan kelahiran anak dan "anaknya" bernama Petir.

Jika Supernova pertama tampil dengan "ketegangan" yang memuncak pada format dan isi, Supernova, Petir menunjukkan sebuah kejujuran, keikhlasan, dan kenyamanan Dee dalam pergulatannya di kalangan anak-anak muda Bandung yang meriah, yang "distro", yang hip dan penuh bahasa pergaulan dan kultur yang "hanya" ada di dalam kaum distro tetapi kemudian berhasil bersatu dengan bahasa sehari-hari dunia imajinasi pembaca.

Elektra, tokoh utama dalam novel ini, pun bukan seorang gadis yang menjadi impian setiap perempuan remaja. Sesungguhnya dia wakil dari remaja yang merasa dirinya "terlalu biasa-biasa saja" dengan kakak perempuan jelita yang sosoknya sekaligus menjadi penghinaan bagi eksistensi Elektra yang terlalu biasa dan terlalu datar tanpa tenaga ("Watti merupakan wanita produk negeri dongeng yang ketika sudah bertemu sang Pangeran maka pencariannya usai"—hlm. 28).

Tetapi pembaca bisa mengikuti jalur pemikiran Elektra yang berloncatan bak sengatan listrik, menyengat dan menggigit. Pemikiran dan diskusi Elektra dengan pembaca inilah yang membuat novel ini menjadi sebuah page-turner—Anda tak bisa melepasnya hingga halaman terakhir. Terakhir saya membaca novel yang memiliki daya page-turner adalah Saman karya Ayu Utami dan novel grafis Persepolis karya Marjane Satrapi. Peristiwa demi peristiwa sebetulnya menjadi tak penting. Kematian ayah Elektra, kesendiriannya, hubungannya dengan kakaknya yang fluktuatif, perkenalannya dengan dunia cyber dan sekelompok orang—yang kemudian menjadi "keluarga inti" dalam hidupnya dengan nama-nama yang sangat "anti-romantik" dan sengaja tidak memberikan daya puitis seperti pada karya-karya Ayu Utami atau Nukila Akmal (bayangkan nama seperti Mpret, Kewoy, Miun, Bong...). Yang menggerakkan tubuh buku ini adalah energi yang berada dalam tubuh Elektra, kesibukannya mengomentari letikan api yang terjadi di sekelilingnya, dengan pedih, dengan jenaka, dan dengan perasaan sia-sia. Dan itulah sebabnya kita merasa Elektra adalah kita.

Mungkin benar Dee terkadang tak peduli dengan penyuntingan, dengan tata bahasa yang semaunya (misalnya "Mpret diam, tak bergeming", pasti maksudnya "Mpret diam, bergeming". Atau kebiasaannya mencampuradukkan bahasa serapan dengan awalan "me-" seperti "Aku merepetisi pesan sama ke semua sekat yang terisi" —Red). Kebiasaan Dee sejak novel pertama untuk tidak melakukan penyuntingan mungkin membuat novel-novelnya bermasalah, meski saya sendiri tetap bisa menikmati novel ini tanpa jeda. Dia berbakat, dan dengan sedikit kerendahan hati untuk bertanya pada mereka yang bergaul dalam dunia tekstual, problem pergulatan bahasa itu seyogianya bisa disetrika dengan mudah. Di luar itu, novel ini setara dengan yang disarankan judulnya: petir!

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus