Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Addie M.S. mengambil napas panjang. Ia membusungkan dada sambil mengangkat baton yang dipegang dengan tangan kanan. Ini adalah aba-aba agar 65 anggota Twilite Orchestra di hadapannya bersiap-siap. Di depan mata para pemain, ada setumpuk kertas berisi partitur Hedwig's Theme, komposisi yang khusus digubah komponis John Williams sebagai pengiring film Harry Potter and the Sorcerer's Stone.
Addie melengok ke kiri. Matanya tertuju pada pemain keyboard, Adam Putra Pertama. Sejurus kemudian Addie mengangguk sembari mengetukkan baton, stik untuk konduktor, ke udara. Sebuah melodi manis dengan gemulai mengalun memenuhi seantero ruang konser. Ini bukan suara piano, melainkan suara celesta. Suaranya mirip denting puluhan lonceng mini. Suaranya manis dan kecil tak memekakkan telinga.
Permainan solo Adam yang berlangsung selama kurang-lebih 30 detik membuat pendengar terbuai oleh imajinasi. Melodi yang khas dan melekat di kepala tersebut sukses membawa pendengar masuk ke dunia si Harry, bocah setengah penyihir yang termasyhur itu.
Sebelum sampai di ujung solo, para pemain lain mengambil ancang-ancang untuk masuk ke salah satu bagian komposisi tersulit malam itu. Dan bagian itu tiba. Ketika para pemain dawai harus menggesek senar dengan pelan, tapi jari-jemari tangan kiri mereka berlari sekencang-kencangnya layaknya musikus metal menghabisi fret gitarnya. Pada bagian itu, mereka yang memegang biola harus menggilir empat not dalam sekali ketukan. Dan permainan seperti itu berlangsung tidak sekali saja. Tapi lama.
"Sulit sekali, apalagi dimainkan dalam tempo sangat cepat," kata Fafan Isfandiar, salah satu pemain biola dari Twilite Orchestra. Bukan hanya permainan cepat yang membuat para pemain biola kelabakan. Pada komposisi itu, John Williams boleh dibilang tak membuat pola yang berulang. "Jadi kami harus benar-benar berkonsentrasi membaca partitur," kata Fafan.
Itulah risiko memainkan komposisi John Williams, komponis andal yang membuat musik pengiring untuk puluhan film box office, seperti Star Wars, Superman, Harry Potter, Schindler's List, Indiana Jones, Home Alone, Jurassic Park, dan Jaws. Di balik melodi-melodi instrumental yang mudah nempel di kepala, tersimpan rangkaian nada pengiring yang rumit dan njelimet yang sangat menguras stamina para pemain.
Pada Sabtu, 20 Februari 2016, di Aula Simfonia Jakarta, Twilite Orchestra menggelar konser tribut untuk John Williams. Konser itu merupakan salah satu acara dalam rangkaian perayaan ulang tahun ke-25 Twilite Orchestra. Repertoar malam itu berisi 16 komposisi asli Williams. Addie tahu repertoar itu pasti akan menyiksa para pemainnya, terutama seksi alat tiup (brass section). Membutuhkan ketahanan otot bibir dan pipi yang kuat karena notasi yang rumit dan panjang-panjang. "Ini adalah repertoar tersulit sepanjang sejarah Twilite," ucap Addie.
Sebelas tahun lalu, kata Addie, Twilite sempat memainkan komposisi Star Wars bikinan Williams. Setelah memainkan itu, Addie berujar. Ia kapok dan mengatakan tak mau lagi memainkan komposisi-komposisi Williams karena sulit. Tapi, kalau sudah suka, mau bagaimana lagi? Tahun ini, sebagai pembuka rangkaian konser 25 tahun Twilite, ia malah membuat konser tribut untuk Williams. Lumayan ambisius dan berisiko karena Addie sebenarnya tak mau terdengar ada cela sedikit pun ketika Twilite memainkan komposisi Williams.
Addie menyukai karya Williams karena pas dengan selera dan kiblat musikalnya. Karya Williams banyak terpengaruh oleh komponis klasik era romantik yang berkembang pada 1800-1900 awal. Karya Williams banyak terpengaruh oleh tokoh seperti Pyotr Ilyich Tchaikovsky (1840-1893), Wilhelm Richard Wagner (1813-1883), Igor Stravinsky (1882-1971), dan Richard Strauss (1864-1949).
"Saya juga mendengarkan musik klasik era lain. Tapi, kalau disuruh pilih suka yang mana, saya suka klasik romantik," kata komponis 58 tahun itu.
Karya-karya komponis pada era ini punya ciri tersendiri yang membedakannya dengan musik di era lain. Komposisi-komposisi umumnya puitis dan emosional. Rangkaian nada dan permainan amat bergantung pada emosi. Jika marah, akan terdengar marah. Jika sedang jatuh cinta, musik terdengar pula seperti sedang jatuh cinta. Pada era ini jamak digunakan teknik rubato, sebuah situasi ketika komponis membiarkan musik berjalan tanpa perlu taat pada tempo yang ajek. Sebab, rasa dan emosi lebih penting ketimbang ketepatan hitungan yang kaku.
Kehebatan Williams memperdalam emosi dan rasa itu terasa betul di semua film yang ia garap. Pada Schindler's List misalnya, Williams bisa menangkap kegetiran yang tertuang dalam film dan mampu melukiskannya kembali menggunakan rangkaian nada. Dalam film lain, pada Star Wars Episode I: The Phantom Menace, misalnya, Williams mampu melipatgandakan ketegangan pertarungan Qui-Gon dan Obi-Wan melawan Darth Maul dengan komposisinya yang fenomenal, Duel of the Fates. Adapun Superman semakin gagah lewat komposisi Superman March.
Dan pada konser Twilite, kita bisa lihat apa jadinya jika musik itu dilepas dari keseruan di layar kaca. Apakah akan tetap menghadirkan ketegangan yang sama? Kegetiran yang serupa?
Di ruang konser malam itu, Twilite menghadirkan kemegahan musik Williams. Dalam beberapa komposisi, Addie berhasil menuntun 65 pemain instrumen dan 50 lebih anggota paduan suara mencapai emosi dan rasa yang dituju oleh Williams. Memukau. Tapi bukan tanpa cela.
Beberapa komposisi, seperti Superman March, Anakin's Theme, dan Jurassic Park Main Theme, terasa datar. Dan jika mau menghitung kesalahan bermain, ada juga. Basson agak tercekat sedikit di tengah-tengah lagu Schindler's List. Dan ada satu pemain pada brass section yang keselip nada saat repetisi tema main title Star Wars. Tapi, di tengah belantara jutaan notasi yang berseliweran malam itu, plus untuk repertoar tersulit sepanjang sejarah berdirinya Twilite, kepeleset sedikit apalah arti.
Yang bikin merinding pada malam itu ada empat: Hymn to the Fallen (Saving Private Ryan); Hedwig's Theme (Harry Potter and the Sorcerer's Stone); Theme (Schindler's List); dan Duel of the Fates (Star Wars Episode I: The Phantom Menace).
Kemegahan paduan suara yang memenuhi latar panggung terasa betul pada Hymn to the Fallen. Apalagi ditaruh sebagai komposisi kedua. Lumayan mendebarkan untuk pembukaan. Keberhasilan Twilite membawakan Hedwig's Theme dengan mulus patut diganjar tepuk tangan berdiri. Komposisi itu menuntut kecepatan, konsentrasi, dan stamina yang tinggi sepanjang lagu.
Pada Schindler's List, Addie menuntun seksi dawai bermain puitis dengan pelan dan emosional. Solois biola Michelle Siswanto juga berhasil menguasai permainan Itzhak Pertman, solois yang mengisi lagu asli Williams. Dan, terakhir, Duel of the Fates. Komposisi ini jika dimainkan dengan benar membuktikan bahwa emosi pada komposisi Williams tetap terasa walau dicabut dari ketegangan di layar kaca. Tanpa film diputar sekalipun, ketegangan itu menguar dan membahana.
Ananda Badudu
Dua Not, Lalu Berkembang ke Mana-mana
Ingat film Jaws (1975) garapan sutradara ternama Steven Spielberg? Setiap kali si hiu raksasa datang, selalu ada musik itu: repetisi kelewat sederhana yang terdiri atas dua not saja. Dua not di nada bawah yang dimainkan oleh alat tiup bassoon dan kontrabas. Meski bermodal dua not, komposisi karya John Williams, 84 tahun, itu memperdalam suasana mencekam setiap kali si hiu mengintai. Bahkan, tanpa si hiu pun, musik Williams cukup untuk bikin suasana jadi menegangkan.
Komposisi yang dibangun di atas fondasi dua not itu meraih penghargaan Academy yang kedua untuk Williams. Tapi ada buah yang jauh lebih manis dari itu. Kesuksesan Jaws berbuah persahabatan antara Spielberg dan Williams. Inilah permulaan kolaborasi mereka yang terentang panjang selama hampir 40 tahun. Seterusnya Williams terlibat di hampir semua film yang disutradarai Spielberg. Sejak 1974 hingga kini, Williams hanya absen di dua film, yakni The Color Purple (1985) dan Bridge of Spies (2015).
Spielberg pulalah yang merekomendasikan Williams kepada George Lucas, sutradara Star Wars. Sebagaimana disampaikan kedua sutradara hebat itu dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Jon Burlingame pada 2012. Keterlibatan Williams bermula dari curhat ringan Lucas kepada Spielberg. Suatu hari, sekitar dua atau tiga tahun sebelum debut Star Wars dirilis, Lucas bercerita kepada Spielberg bahwa ia butuh orang yang bisa membuat musik sinema bergaya klasik layaknya film-film Hollywood pada 1930-1940-an.
Dengan ringan Spielberg merekomendasikan Williams. Lucas merespons dengan ragu. "Apa benar dia bisa bikin musik seperti itu?" kata Spielberg menirukan Lucas. Spielberg berusaha meyakinkannya, dan singkat cerita Lucas terbeli. Pada 1977, film kolosal Star Wars dirilis. Kejeniusan Williams seolah-olah terlegitimasi lewat film itu, sebagaimana diakui oleh Lucas.
"Musik yang dibikin Williams berkontribusi besar bagi kesuksesan Star Wars. Musik sama pentingnya dengan naskah, aktor, dan elemen lain," kata Lucas. "Saya tak yakin Star Wars akan sesukses ini tanpa orang sehebat Williams." Seterusnya bisa ditebak. Sama dengan Spielberg, Lucas melibatkan Williams hampir di semua film yang ia garap.
Williams lahir di Long Island, New York, Amerika Serikat, pada 8 Februari 1932, dengan nama lengkap John Towner Williams. Ia bermain piano sejak umur enam tahun. Karena ayahnya juga musikus dan anggota orkestra, sejak kecil Williams sudah akrab dengan bunyi-bunyi bassoon, klarinet, cello, trombon, dan trompet. Pada 1953, ia masuk jurusan komposisi di UCLA, Los Angeles, Amerika Serikat. Selepas itu, Williams mempelajari piano di Juilliard School of Music, New York.
Sepanjang hidupnya, Williams telah 5 kali meraih Academy Awards, 4 kali Golden Globe Awards, 7 British Academy Film Awards, dan 22 Grammy Awards. Williams dinominasikan 50 kali dalam penghargaan Grammy, terbanyak kedua setelah Walt Disney.
Williams juga banyak membantu sutradara lain di samping George Lucas dan Steven Spielberg. Bersama sutradara Chris Columbus, Williams menggarap Home Alone 1 dan 2. Ia juga terlibat dalam film fenomenal lain, seperti Harry Potter.
Dengan rentang karier yang demikian panjang dan karya yang sangat banyak, tak terhitung berapa juta telinga telah tersentuh oleh karya Williams. Barangkali tak ada komponis yang memiliki daya jangkau seluas Williams.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo