Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari 'Surga' yang Penuh Darah

Sebuah film tentang Perang Salib di abad ke-12 yang relevan dengan masa kini. Kapan Yerusalem menjadi "surga" yang damai?

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINGDOM OF HEAVEN Sutradara: Ridley Scott Skenario: William Monahan Pemain: Orlando Bloom, Leam Neeson, Edward Norton, Jeremy Irons, Eva Green Produksi: 20th Century Fox dan Scott Free Production

Yerusalem di abad ke-12 itu melesat, melaju, dan menjelma menjadi Yerusalem abad ke-21. Ridley Scott menyebarkan sebuah aroma konflik agama di masa lalu yang kini, di abad ke-21, menjadi persoalan besar sejak pecahnya tragedi WTC 11 September 2001. Kisah Perang Salib ketiga.

Nun di penghujung tahun 1187, Yerusalem lahir sebagai sebuah tanah yang terus-menerus mencoba menjadi santun dan damai. Tetapi tubuh Yerusalem terus-menerus dicabik-cabik oleh kebencian dan permusuhan. Maka, Perang Salib ketiga, ketika Timur Tengah memiliki tokoh-tokoh sejarah yang berupaya keras untuk tetap hidup damai antar-sesama umat Nasrani, Islam, dan Yahudi, menjadi sebuah setting penting bagi sutradara Ridley Scott dan penulis skenario William Monahan untuk mengirim penonton ke sebuah persoalan masa kini: bisakah perbedaan keimanan dan kepercayaan hidup bersama berdampingan dengan damai?

Syahdan Raja Baldwin IV (Edward Norton), penguasa Yerusalem, adalah tokoh sejarah yang berjuang agar umat Nasrani dan muslim bisa berdampingan dengan damai. Tetapi, meski dengan segala kewenangan dan otoritas yang penuh, sang Raja berhati mulia itu memiliki kelemahan: ia menderita lepra dan tengah melawan maut. Ia memerintah dengan topeng berwarna perak yang menyelimuti wajahnya yang telah digerogoti lepra—yang di masa itu masih menjadi penyakit mematikan. Karena itu, musuh utamanya bukanlah tentara muslim, melainkan justru para petinggi seperti Guy Lusignan (Marton Czokas), adik ipar sang raja—yang menikah dengan adik raja yang jelita, Sybilla (Eva Green)—dan Reynald (Brendan Gleeson), yang tak percaya bahwa umat di luar Nasrani patut memiliki Yerusalem.

Lalu di ujung sana, seorang sultan, seorang sosok bercahaya yang namanya senantiasa bersinar bernama Saladin (1138-1193), adalah seorang pemimpin umat Islam yang bertahan untuk tidak berperang demi kekuasaan. Sultan Saladin dan Raja Baldwin adalah dua sosok sejarah yang sesungguhnya sama-sama menginginkan Yerusalem—atau bagian di mana pun di dunia—bersih dari pertumpahan darah.

Tetapi dunia dan manusia tidak sebersih itu. Lusignan, adik ipar sang raja, bergerak bak seekor burung gagak yang menanti sang raja mengembuskan napasnya yang terakhir. Reynald adalah seorang Dursasana yang terus-menerus mengembuskan kebencian dan kegairahan perang.

Lalu, muncul seorang kesatria bernama Balian (Orlando Bloom). Seorang tukang besi Prancis dengan wajah indah dan berhati emas yang baru saja menemukan ayahnya, Godfrey (Liam Neeson), kesatria yang kemudian mengajak putranya bergabung dalam Perang Salib untuk mempertahankan Yerusalem di tangan Raja Baldwin.

Selanjutnya, Scott tak bisa hanya setia pada sejarah. Meski tokoh Balian memang pernah dikenal dalam sejarah, Scott harus memasukkan unsur romansa agar penonton tidak lelah dan mendengkur. Sybilla, adik jelita sang raja yang bersuami lelaki sialan itu, kemudian jatuh cinta pada Balian. Mereka terlibat dalam percintaan gelap. Meski demikian, Balian tak memanfaatkan hubungan gelap itu. Dia menampik kesempatan untuk membunuh suami Sybilla. Ketika raja tewas, mau tak mau mahkota jatuh ke tangan Lusignan, dan Perang Salib antara kaum Muslim di bawah pimpinan Sultan Saladin melawan kaum Nasrani akhirnya pecah.

Scott adalah satu dari sedikit sutradara yang selalu melahirkan puncak-puncak baru dalam perfilman. Film Blade Runners, Gladiator, dan Black Hawk Down adalah karyanya yang bukan saja spektakuler, tetapi juga menjadi tonggak dalam perfilman Hollywood. Film Kingdom of Heaven, yang menggambarkan Yerusalem sebagai sebuah kerajaan yang penuh paradoks, sebuah kawasan suci bagi tiga agama yang tak henti-hentinya diperebutkan dan terus-menerus basah oleh darah pertempuran, adalah karya yang super-spektakuler. Adegan perang, pertahanan benteng di Yerusalem, dan ratusan ribu tentara yang saling menghantam, menghajar, dan saling berlomba untuk mengirim musuhnya ke neraka adalah keistimewaan Scott yang telah dibuktikan melalui film kolosal The Gladiator. Kini Kingdom of Heaven menunjukkan sebuah tontonan spektakuler, sebuah drama berdarah tak tertandingkan dan hanya bisa dikisahkan melalui kamera.

Tetapi Scott bukanlah sutradara yang dahsyat dalam mengurus aktor, meski Russell Crowe pernah lahir sebagai aktor terbaik di bawah arahannya (dan itu lebih karena bakat luar biasa Crowe). Orlando Bloom mungkin tampak seperti seorang Arjuna sebagai Legolas dalam Lord of the Rings, dia manis dan gemulai lengkap dengan anak panahnya yang membuat penonton remaja putri histeris karena setiap geraknya. Tetapi Bloom sebagai Balian tidak tampil sebagai sosok yang meyakinkan, yang bisa membuat seorang permaisuri jatuh ke telapak kakinya, yang mempunyai keyakinan keras bahwa membunuh musuhnya dengan cara yang curang bukanlah perbuatan seorang kesatria. Dia tampil sebagai lelaki cantik, tetapi bukan pria yang penuh prinsip. Eva Green sebagai Sybilla adalah sebuah marabahaya. Dia aktris yang bersinar dalam film Dreamer (sebuah drama erotis tentang percintaan inses), tetapi dia tak mampu mengembuskan napas erotisisme dan keagungan seorang permaisuri yang luluh-lantak oleh cintanya pada seorang tukang besi. Karakter para petinggi di kalangan Nasrani terlalu hitam-putih. Memang ada semacam "kewajiban moral" bagi Scott untuk memperlihatkan bahwa Perang Salib ketiga ini lebih banyak terjadi karena pihak Nasrani yang memprovokasi. Selain itu ada kesan pula, setelah tragedi 11 September, ketika masyarakat AS kemudian mempunyai "musuh baru" yakni warga Timur Tengah (yang kemudian dicampuradukkan dengan umat Islam), Scott tampak merasa wajib menampilkan sebuah proses edukasi bagi penonton Barat. Karena itu, dia sama sekali tak memperlihatkan kompleksitas pada pasukan Sultan Saladin. Mereka semua digambarkan penuh nurani dan heroik, dan tak ada satu pun anak buah Saladin yang mempertanyakan kebijakan Saladin yang sangat memaafkan musuhnya.

Harus diingat, konflik agama dan keimanan sudah pasti memiliki banyak kendala. Scott memilih untuk berisiko: umat Nasrani memilih perang karena kepercayaan, moral, dan sebagian karena rakus. Umat Islam dalam film ini digambarkan sebagai kesatria yang maju perang untuk mempertahankan diri dan karena moral. Scott memindahkan kisah abad ke-12 dengan aroma abad ke-21 dengan sebuah tujuan penting: para tokoh sejarah di masa lalu seperti Sultan Saladin dan Raja Baldwin bahkan jauh lebih bijaksana dan bermoral daripada pemimpin di masa kini. Mereka mampu menjadi pemimpin yang rasional dan membuang fanatisisme.

Pertumbuhan kaum fanatik dari semua agama (Islam, Kristen, Yahudi) di abad ini menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan karena fanatisisme tidak memberi ruang pada toleransi dan kehidupan damai. Scott mengirim misi itu dengan jelas melalui Kingdom of Heaven, sebuah "kerajaan" yang hingga kini masih terus penuh darah, dan tak kunjung menjadi "surga" di atas bumi karena pergolakannya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus