Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mimik muak, Tiberias, pangeran dari Tripoli itu, menghentak kudanya menjauhi Yerusalem. "Mulanya kupikir kita perang demi Tuhan, ternyata demi tanah dan kekayaan . Aku malu ." Ia undur, meninggalkan sendiri Balian, pangeran Ibelin yang memandang hamparan mayat pasukan Salib diserbu ribuan gagak.
Kalimat ini terasa menohokbagi kita yang menonton adegan film Kingdom of Heaven. Sebuah kalimat yang, konon, oleh sutradara Ridley Scott ditujukan untuk Presiden Bush. Intinya: betapa pembelaan berlebihan pada yang suci bisa berakibat suatu paranoia yang fatal.
Inilah sebuah film dengan setting berabad-abad lampau, tapi masih aktual dipakai sebagai cermin masa sekarang. Film ini mengambil kisah nun jauh di tahun 1099. Serombongan kafilah muslim Sarasin dibantai oleh seorang baron bernama Reynauld de Chatillon, dan Saladin membalas. Yerusalem jatuh ke tangan Saladin, peristiwa yang akhirnya menggulirkan Perang Salib ke-3.
Banyak teolog atau sejarawan yang menegaskan bahwa asal-usul Perang Salib tidak bersumber pada nilai-nilai agama Kristen atau Islam, dan film ini menyuguhkan sisi-sisi itu. Sisi yang sering dilupakan bahwa dari kedua belah pihak muncul banyak tokoh yang berusaha keras membina toleransi, menjaga gencatan senjata. Tapi akibat langkah baron-baron yang bermotif campuran antara ekonomi dan religi, sejarah pun mencatat enam kali tragedi besar itu berulang.
Awal Perang Salib, kita tahu, adalah ketika kaum Turki Seljuk merangsek ke wilayah-wilayah Bizantium, dan mulai menjamah Anatolia. Ketika itu Bizantium (pusat kekristenan timur) yang sesungguhnya telah berpisah resmi dengan Roma (pusat kekristenan barat) pada 1054, meminta tolong pada Roma. Lalu, Paus Urbanus II di Konsili Clermont, November 1095, menyerukan sukarelawan seantero Eropa Barat agar bergabung.
Sejarah mencatat kesatria-kesatria Eropa kala itu: Inggris, Prancisterutama ujung tombaknya, kaum Frank Normandiamengalir ke Bizantium. Tanda-tanda salib ditempelkan pada bahu. Mereka bersatu padu menghalau Turki Seljuk dan kemudian mengarahkan diri merebut Yerusalemmembebaskan makam suci Kristus.
Menurut buku Dr Th. van den End dan Dr Christiaan de Jonge dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, ada persamaan antara tentara Normandia dan Turki Seljuk. Turki Seljuk baru saja masuk Islam, kaum Frank baru masuk Katolik. Keduanya fanatik dan masing-masing tengah mencari jati diri. Turki menentang kemapanan Arab, sementara kaum Frank mencari jiwa Kristen baru yang berbeda dengan Bizantium.
Bila antara orang-orang Bizantium dan Arab telah belajar saling menghargai, siap hidup berdampingan antara Kristen dan Islam, tidak demikian halnya dengan kaum Turki dan Normandia waktu itu. Peradaban mereka masih rendah. Sementara itu, Bizantium dan Arab adalah ahli waris kebudayaan Helenis. Keduanya warga kosmopolitan yang telah lama saling tukar pengetahuan sehingga orang-orang Konstantinopel saat itu mungkin lebih betah tinggal di Kairo atau Bagdad daripada di Paris atau London.
Karen Armstrong, misalnya, menulis, ketika pasukan Salib berduyun-duyun datang dari seantero Eropa Barat ke Konstantinopel. Raja dan warga Konstantinopel kaget melihat betapa penyelamat mereka itu sangat barbar, buas, dan tak beradat. Warga Konstantinopel ketakutan sendiri. Sebaliknya, pasukan Salib semakin defensif begitu menyaksikan kemegahan dan keanggunan Konstantinopel.
Bizantium sendiri tidak pernah memaknai perang melawan Turki Seljuk sebagai sebuah "perang suci" atau perang agama. Namun, di tangan pasukan Salib, itu menjadi sebuah perang religius. Dengan rasa percaya diri tinggi, sering sepanjang perjalanan pasukan Salib merasa dilindungi secara gaib oleh Santo George, Santo Demetrius, dan mendapat halusinasi dibimbing untuk menemukan azimat-azimat, relik-reliktermasuk lembing suciyang dipakai untuk menombak Kristus yang dianggap membawa kesaktian. Pada 15 Juli 1099, Yerusalem takluk, seisi kota dibantai habis, dan Godfrey de Bouillon diangkat menjadi Raja Yerusalem.
Armstrong menerangkan, lambat-laun penghuni Yerusalem terbagi dua. Pertama, mereka yang mengawini masyarakat Timur Tengah setempat dan menjadi lebih toleran terhadap kaum muslim. Tiberias, misalnya, yang nama lainnya adalah Raymond, sehari-hari mampu berbicara Arab secara fasih, dan sosoknya lebih Timur daripada Baratkulitnya gelap. Kingdom of Heaven tak menampilkannya demikian. Demikian pula Putri Sybilla, saudari Raja Yerusalem, Baldwin IV, yang parasnya ditampilkan mirip wajah perempuan-perempuan Timur Tengah.
Kelompok kedua adalah masyarakat yang tak mau melakukan asimilasi dengan penduduk setempat. Terutama dari golongan ini adalah kelompok-kelompok kesatria yang menjadi armada kepolisian penjaga kuil-kuil istana yang disebut Kesatria Kuil atau The Templars. Juga, kaum imigran dari Eropa Barat yang terus-menerus beremigrasi ke Yerusalem, dan kemudian heran melihat banyak keturunan kaum Frank di sana malah bersahabat dengan kaum muslim, sehingga menyebut mereka pengkhianat.
Konflik antara mereka yang toleran yang lalu disebut kaum Merpati dan yang anti yang lalu berjulukan kaum Elang inilah inti skenario Kingdom of Heaven, terutama ketika Reynauld de Chatillon, pemimpin kelompok Elang yang baru beremigrasi ke Yerusalem pada 1147 dan Guy de Lusignan membantai kafilah yang melakukan perjalanan ke Mekkah, termasuk adik Saladin. Mereka juga mendesuskan kabar rencananya menyerbu Mekkah. Dua ratus ribu pasukan Damaskus Saladin, pangeran asal Mesir itu, lalu menyerang, memanfaatkan menara-menara katapel yang pada saat itu canggih.
Musim panas Oktober 1187, Saladin menaklukkan Yerusalem. Ia masuk kota tanpa pembunuhan warga dan penjarahan. Ia bahkan mengundang kaum Yahudi di pengasingan untuk kembali ke Yerusalem. Dan seperti Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637, atau di dunia Islam Arab lain kala itu, ia mengizinkan warga Yahudi untuk melakukan pekerjaan apa saja, mulai dokter sampai pegawai. Bukan hanya menjadi rentenir, seperti bila mereka hidup di Eropa Barat (seperti diperlihatkan dalam Merchant of Venice karya Shakespeare, yang difilmkan pada 2004 oleh sutradara Michael Radford dengan aktor Al Pacino).
Balian, yang menjadi tokoh sentral dalam Kingdom of Heaven, mungkin perannya dalam film didramatisasi. Sejak berkapal dari Italia menuju Yerusalem, badai menerjang terus, dan hanya dia dan kudanya yang selamatitu tak masuk akal. Dalam riwayat aslinya, konon, Sybillia juga tak pernah jatuh cinta padanya, tapi film menampilkan keduanya bercinta di ranjang. Akan halnya Raja Baldwin yang menderita lepra itu, Hollywood membuatnya mengenakan topeng keperakan yang terkesan teatrikal seperti Iron Mask.
Tapi harus diakui, Kingdom of Heaven dilandasi riset yang teliti. Ketika Reynauld de Chatillon dan Guy tertangkap, Saladin memberi Guy sekantong air yang diberi es dari salju di Gunung Hermon. Itu ada dalam film. "Raja tidak membunuh raja," kata Saladin kepada Guy. Reynauld de Chatillon dipenggal, tapi Guy dibiarkan hidup. Yang agak dikarikaturkan adalah peran Uskup Agung Heraclius yang ditampilkan begitu ketakutan. Dalam riwayat, sang uskup memang dikatakan membayar pajak dan dibebaskan oleh Saladin.
Film ditutup dengan sekilas munculnya Richard Berhati Singa. Ini membuat film ini seperti bersambung. Penonton tahu bahwa setelah itu sesungguhnya terjadi pertempuran dahsyat Saladin melawan Richard. Perang Salib dalam catatan sejarawan berakhir sekitar 1291. Tapi sampai sekarang, "daki" sang perang berkeliaran ke sana kemari. Masih ada juga titik darah penghabisan untuk sebuah paranoia. Film ini seolah berpesan, ketika Balian berteriak di Yerusalem: "Tidak ada yang paling suci antara Tembok Ratapan, Bukit Golgota, Masjidil Aqsa !"
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo