Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Seratus Hari yang Tertatih

Foto-foto yang merekam Aceh dan sekitarnya, 100 hari pasca-tsunami. Geliat Serambi Mekah apa adanya.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ulee Lheue, Banda Aceh, 100 hari pasca-tsunami. Seorang perempuan berpayung berdiri terpaku di atas puing rumah milik almarhum abangnya. Angin kuat berembus melipat sebagian payungnya yang bermotif bunga warna ungu, putih, dan krem. Sejak tsunami menggulung pada 26 Desember lalu, sang perempuan tak menemukan jenazah abang satu-satunya itu. Dan hari itu, dengan segenap ketegarannya, ia mengenang abangnya yang hilang entah ke mana. Air matanya menitik.

Fotografer Eric Grigorian merekam adegan itu lewat lensa kameranya. Hasilnya, sebingkai foto yang membisikkan kisah duka pada peringatan 100 hari tsunami. Karya peraih foto terbaik World Press Photo 2002 itu satu di antara rangkaian foto pameran fotografi bertajuk 100 Days After: Struggle Continues (Perjuangan Berlanjut). Selain Eric, dalam pameran yang digelar di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, 10-24 Mei 2005, itu juga ditampilkan karya lima fotografer lainnya, yakni Jefri Aries, Kemal Jufri, Maha Eka Swasta, Rully Kesuma, dan Zarqoni Maksum.

Menampilkan 40 foto berwarna, Struggle Continues mencoba menyuguhkan denyut Aceh setelah 100 hari bencana. Menurut Oscar Motuloh, foto-foto yang ditampilkan itu adalah hasil bidikan dua pekan sebelum dan sepekan sesudah 100 hari pasca-tsunami. "Rangkaian foto itu semacam rekaman keseharian yang memperlihatkan perkembangan pencapaian survival warga Aceh pasca-bencana," kata penanggung jawab Galeri Foto Jurnalistik Antara itu.

Struggle Continues, tutur Oscar, berusaha merekam geliat Aceh pasca-tsunami apa adanya. Seratus hari bukan hanya momen mengenang orang-orang terkasih yang tergulung tsunami. Tapi ia merupakan babak perjuangan masyarakat Serambi Mekah memulihkan kondisi lingkungan masing-masing. Keenam fotografer itu merekam perjuangan mereka mendirikan rumah kayu ala kadarnya. Merekam masyarakat pesisir membenahi balai nelayan yang lantak digerus tsunami. Merekam para nelayan yang mulai melaut lagi.

Kemal Jufri dari Agency Polaris, misalnya, merekam masyarakat Ulee Lheue mendirikan rumah kayu. Dalam foto bertajuk Membangun Kembali Kediaman, Kemal merekam dua orang yang bahu-membahu mendirikan rumah di bawah siraman terik matahari. Di latar belakang, tampak area yang telah porak-poranda dipenuhi puing-puing. Di tempat sama, Eric Grigorian merekam seorang nelayan di atas perahu yang tengah kembali melaut. Sedangkan Rully Kesuma menyajikan seorang anak di kamp pengungsian Desa Kulam, Kreung Raya, yang tengah asyik mengerjakan PR di atas ayunan terbuat dari ban bekas.

Selain denyut Tanah Rencong, pameran itu juga menampilkan rangkaian foto Nias, yang diguncang gempa pada 28 Maret lalu. Gempa berkekuatan 8,2 pada skala Richter itu meremukkan pulau seluas 5.449 kilometer persegi tersebut. Dan kehancuran di saat bumi Nias menggeliat itu terekam pada bidikan Maha Eka Swasta. Karya fotografer Lembaga Kantor Berita Antara itu menampilkan patung Jamuan Terakhir yang tergolek di antara reruntuhan pertokoan Gunung Sitoli, Nias. Di mata Oscar Motuloh, hasil jepretan Maha Eka tersebut cukup kuat menggambarkan betapa kehancuran itu begitu dahsyat. "Foto itu cukup kuat sebagai sebuah simbol kehancuran," ujarnya. Yang pasti, Aceh yang menggeliat dan Nias yang lantak, "sebuah peristiwa sangat dokumentaris."

* * *

Geliat Aceh dan mereka yang ber-tahan di tengah badai juga terekam di Goethe-Institut, Jakarta. Lewat bidikannya, fotografer Mohamad Iqbal, yang tampil dengan konsep seri potret, mencoba merekam mereka yang selamat dengan pengalaman pribadi masing-masing. Dua puluh enam foto hasil bidikan fotografer kelahiran Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, itu tergelar dalam pameran bertajuk Raut Pusaran, Raut Hayat sepanjang 14 April - 14 Mei lalu.

Raut Pusaran, Raut Hayat merupakan penelusuran Iqbal di Bumi Seulawah sekitar sebulan. Berbekal 130 rol film slide 120 milimeter, Iqbal mulai melangkah pada 14 Februari lalu. Ia menyusuri satu lokasi bencana ke lokasi bencana lainnya. Ia mendatangi tempat-tempat pengungsian, mencari sosok yang akan ditampilkannya. Kerap kali, dalam sehari penuh, ia hanya mendapat satu sosok. "Itu pun kerap tak mau difoto," katanya.

Hingga suatu hari, saat menyusuri kawasan Ulee Lheue, Iqbal bersua dengan rombongan sebuah keluarga. Mereka rombongan keluarga asal Pidie, Aceh Utara, yang tengah mengunjungi pantai Ulee Lheue. Menurut Abnar, kepala rombongan itu, mereka datang ke pantai itu sengaja ingin melihat dan menyentuh air laut. Itu merupakan cara berdamai dengan kenangan buruk yang baru mereka alami. Abnar menyatakan ada sejumlah anggota keluarga mereka yang ikut menjadi korban tsunami.

Iqbal tersentuh mendengar pengalaman keluarga itu. Mereka tetap tegar, tak hanyut dalam kesedihan. Itu terekam begitu kuat dalam bidikan Iqbal. Menaiki mobil Datsun keluaran 1970-an berwarna biru kusam, raut 12 orang dalam rombongan tersebut tampak sumringah. Cahaya matahari yang begitu terik kian memperkuat karakter wajah mereka yang tegar. "Bagi saya, ini foto yang memiliki karakter cukup kuat," ujar fotografer lepas majalah Der Spiegel itu.

Di hari lain, Iqbal terusik oleh pengalaman Vera Siska, 19 tahun, seorang mahasiswi. Sebanyak 103 boneka koleksi mahasiswi MIPA Universitas Syiah Kuala itu tersebar di dua lantai rumahnya. Tsunami menerjang rumahnya, menghanyutkan seluruh koleksi bonekanya yang berada di lantai bawah. Vera membutuhkan berhari-hari untuk mencari boneka-boneka itu di sekitar tempat tinggalnya. Satu per satu ia temukan, ia bersihkan, ia jemur, agar dapat kembali mengisi rumahnya. Vera dan boneka korban tsunami sosok yang dipilih Iqbal sebagai obyek fotonya.

Yang menarik, foto yang menampilkan sosok Karmilawati, 21 tahun, dan Syamsul, 25 tahun. Dua sejoli itu melangsungkan pernikahan di kamp pengungsi Mata-Ie, Banda Aceh. Kisahnya bermula dari Syamsul, seorang sekretaris desa yang diangkat khusus untuk mengurus para pengungsi. Pemuda itu harus berkeliling dari tenda ke tenda melakukan pendataan. Suatu hari, ia berjumpa Karmilawati, warga Taman Siswa Merduwati, Banda Aceh, yang mengungsi ke Mata-Ie.

Begitulah. Dari 26 foto yang ditampilkan, Iqbal memiliki keinginan sederhana. Menurut dia, lewat seri potret itu pengalaman pribadi mereka dan keterluputan dari bencana dapat tersimpan dalam kesadaran kolektif. Sehingga, bagi sejarah generasi berikutnya, rangkaian foto karyanya itu bisa menjadi sebuah inventarisasi visual.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus