Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Edensor tanpa Edensor

Kisah anak Belitung mengejar mimpi kembali disuguhkan di layar lebar lewat sekuel ketiganya. Lebih banyak mengupas kisah percintaan.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laskar Pelangi 2: Edensor
Sutradara: Benni Setiawan
Skenario: Benni Setiawan
Pemain: Lukman Sardi, Abimana Aryasatya, Mathias Muchus, Zulfani, Astrid Roos
Produksi: Falcon Pictures, Mizan Productions

Udara Paris begitu dingin. Ikal (Lukman Sardi) dan Arai (Abimana Artasatya) diusir dari penginapan. Universitas Sorbonne belum mereka capai. Mereka menggigil. Ikal bahkan hampir mati kedinginan.

Edensor merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov karya Andrea Hirata yang difilmkan. Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar pada 2008, disusul Sang Pemimpi setahun berikutnya. Kedua film besutan Riri Riza dan Mira Lesmana bersama penulis skenario Salman Aristo itu sukses, membuat penonton penasaran jika Edensor difilmkan. Sebab, selain menggambarkan perjuangan Ikal dan Arai menuntut ilmu di Universitas Sorbonne, Edensor mengisahkan perjalanan mereka dari satu negara ke negara lain.

Adapun pemakaian judul Laskar Pelangi 2: Edensor ini sedikit aneh. Apakah mungkin sang produser kurang percaya diri jika hanya menggunakan judul Edensor, seperti novelnya? Selain itu, penambahan Laskar Pelangi 2 rasanya kurang tepat, mengingat film ini bukan kelanjutan dari Laskar Pelangi, melainkan Sang Pemimpi. Terlepas dari judul yang sedikit janggal, Edensor juga tidak lagi diproduseri Mira Lesmana. Posisi Riri sebagai sutradara pun diisi oleh Benni Setiawan. Benni pernah meraih Piala Citra sebagai sutradara terbaik Festival Film Indonesia 2010 untuk film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta.

Sejak awal Benni memang mengatakan film yang digarapnya bakal berbeda dengan novelnya. Tentu hal ini sah-sah saja. Sayangnya, dia seperti melupakan esensi dari kisah yang disampaikan dalam novel Edensor. Tak ada petualangan menyu­suri Eropa ala backpacker selama musim panas, hingga terdampar di Edensor, desa di Inggris, yang justru menjadi latar belakang kisah Edensor itu. Sekitar 80 persen dari film ini berlatar Kota Paris, Prancis. Berkali-kali bahkan kamera menyorot Menara Eiffel, Museum Louvre, dan jembatan cinta Pont des Arts.

Selama 90 menit, film ini lebih banyak berkutat pada kehidupan percintaan Ikal dengan mahasiswi cantik asal Jerman, Katya (Astrid Roos). Ikal, si pemuda Belitong dengan akar agama yang kuat, merasa bersalah karena mengkhianati Aling, cinta pertamanya. Alinglah yang meletupkan mimpi Ikal akan Edensor, desa di Inggris dengan hamparan dataran hijau, bunga daffodil, dan aroma rerumputan. Edensor dikenal oleh Ikal dari novel karya James Herriot, Seandainya Mereka Bisa Bicara, yang diberikan Aling.

Konflik muncul ketika kesibukan Ikal berkencan dengan Katya membuat nilai pelajarannya jeblok, sehingga dia bertengkar dengan Arai. Sayangnya, semuanya boleh dikata berjalan tanpa klimaks. Dengan kualitas akting Lukman Sardi yang seperti biasa tampil total (meskipun tak dapat disangkal, dia sudah terlihat berumur untuk memerankan Ikal) dan penampilan Abimana yang tidak mengecewakan, semestinya film ini bisa menampilkan nilai lebih.

Edensor versi Benni lebih menyerupai kumpulan potongan cerita tanpa benang merah. Beberapa plot disajikan tanpa pendalaman yang kuat sehingga gagal memberikan ikatan emosional kepada penonton. Adegan ketika Arai melampiaskan kerinduannya kepada Zakiah Nurmala di tempat pemakaman Jim Morrison pun jadi kurang gereget. Untungnya, Benni cukup berhasil meracik elemen humor dalam novel ini. Salah satunya percakapan khayali antara Ikal dan raja dangdut Rhoma Irama serta penemu teori ekonomi klasik Adam Smith. Adegan itu setidaknya mampu menjaga penonton tidak tertidur di bangku bioskop.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus