Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dekonstruksi The Rite of Spring

Kelompok teater eksperimental Jerman, She She Pop, tampil di Salihara. Mengambil ide The Rite of Spring untuk membicarakan relasi ibu dan anak.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arak-arakan Para tetua Suku. Seorang "aktor" berkeliling menunjukkan kertas karton bertulisan kalimat tersebut sebagai penunjuk adegan selanjutnya. Lalu di layar terlihat rekaman empat ibu memain-mainkan selimut. Selimut digunakan sebagai kerudung atau dibebat-bebatkan ke tubuh mereka.

Jangan Anda membayangkan The Rite of Spring as Performed by She She Pop & Their Mothers sebagai pembuka Salihara International Performing-Arts Festival 2016, Sabtu malam pekan lalu, adalah pentas balet atau teater murni yang menyajikan adegan-adegan ritual menyambut kedatangan musim semi. Tidak ada sosok seorang gadis terpilih untuk dikurbankan, yang lalu menarikan tarian persembahan kepada dewa-dewa hingga menjumpai ajal seperti layaknya balet The Rite of Spring.

Yang diambil hanyalah ide dasar The Rite of Spring, yaitu pengorbanan. Pengorbanan di sini pun adalah pengorbanan ibu dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu disajikan tak sebagaimana sebuah tari atau drama biasa. Itu seperti sebuah diskusi yang terasa sangat intelektual. Ada delapan aktor di panggung Teater Salihara, Jakarta Selatan. Empat adalah anggota She She Pop. Empat lainnya merupakan ibu mereka sendiri yang sosoknya direkam (live video) di empat layar setinggi 3 meter. Anak-anak yang nyata dan ibu yang virtual itu lalu berdiskusi dan berinteraksi. Para ibu yang ditampilkan di layar berukuran dua kali lebih besar sehingga menimbulkan efek dominan dan menguasai.

Setengah bagian awal pertunjukan yang berlangsung satu setengah jam itu terasa seperti presentasi. Di awal, mereka menjelaskan tema apa yang hendak mereka bicarakan dalam pentas berbahasa Jerman yang ditranslasikan ke bahasa Inggris itu. Selanjutnya, tiap pemain menjelaskan latar belakang diri dan ibu mereka. Pembicaraan sampai masalah keperawanan. Inti semua pembicaraan adalah semacam apa saja bentuk pengorbanan para ibu dan apakah yang dikorbankan sepadan dengan yang didapatkan. Sesuatu yang personal sekali. "Dalam cerita kami, isunya adalah kesetaraan kuasa antara laki-laki dan perempuan, juga antara generasi tua dan yang lebih muda," kata Sebastian Bark, salah satu anggota She She Pop.

She She Pop mengadopsi alur Igor Stravinsky, yang terdiri atas dua bagian, yakni Kekaguman pada Bumi dan Pengorbanan. Tiap bagian terbagi lagi atas babak-babak yang menceritakan awal mula ritual pengorbanan, pemilihan kurban, hingga upacara tari kematian. Musik Stravinsky dibuka dengan bassoon solo dalam nada tinggi diikuti serangkaian bunyi alat musik gesek yang temponya terus meningkat, lalu berhenti tiba-tiba, menandakan kedatangan musim semi. Intensitas terbangun hingga musik mencapai klimaks saat tarian kematian berlangsung.

Mengikuti alur komposisi itu, para anak-anak dan ibu tampil diselingi adegan-adegan (lebih tepatnya peragaan) simbolis. Tatkala memasuki persaingan suku, kita lihat di layar ibu-ibu itu memakai mahkota bunga. Dan kemudian baik ibu-ibu maupun anaknya duduk melingkar. Tatkala adegan "Mystic Circle Young Girl", kita melihat di layar ditampilkan potret ibu-ibu itu saat masih bayi atau remaja.

Sejak berdiri pada 1998, She She Pop konsisten mengangkat isu seputar gender dan relasi kuasa. "Kami adalah feminist collective," ujar Bark. Lakon The Rite of Spring sudah dipentaskan sejak dua tahun lalu. Ibu-ibu yang terlibat dalam pentas ini adalah ibu dari para anggota She She Pop. Mereka sehari-hari bukan pemain teater. Ada ibu yang bekerja sebagai psikoterapis, guru, hingga penulis buku masak.

Tak mengherankan bila terlihat banyak kecanggungan saat mereka berakting merespons properti panggung, seperti selimut, tali, dan berbagai peralatan rumah tangga lain. Walau begitu, bagian ketika para ibu itu bercerita tentang diri dan asal mereka terasa tulus dan autentik. Salah satu ibu, misalnya, pernah mengalami kebingungan identitas karena dikenal dengan dua nama. "Aku senang pada akhirnya menjadi ibu karena aku hanya akan dipanggil dengan satu nama, Mama," ujarnya.

Bagian paling berkesan adalah saat ibu dan anak dapat lebur dalam satu layar. Empat pemain She She Pop mengambil tempat di belakang layar, tak terlihat oleh penonton. Live video mereka lalu diproyeksikan ke layar berdampingan dengan rekaman gambar para ibu. Kita melihat seorang pemain bermanja-manja di pangkuan ibu lalu menyusu di dadanya. Pemain lain bertelanjang dada menirukan gerak-gerik ibunya.

Bagian terakhir interaksi ibu dan anak ini ditandai dengan pemberontakan para anak kepada ibu. Mereka seakan-akan melepaskan diri dari sang ibu. Mereka menggoyang-goyang layar dan memukul layar hingga para ibu seolah-olah terpental. Anak-anak menandak dan mengentak-entakkan kaki dalam ritme cepat sementara para ibu menampilkan ekspresi wajah menyeramkan.

Konsep interaksi virtual dan nyata yang serupa ini dilakukan She She Pop lima tahun lalu dalam lakon Testament. Kala itu mereka tampil bersama ayah mereka mementaskan cerita yang terinspirasi dari tragedi King Lear karya William Shakespeare. Menariknya, sementara bersama ibu topik yang diangkat adalah pengorbanan, saat tampil dengan ayah She She Pop justru berbicara tentang kekuasaan. "Para feminis mempertanyakan mengapa kami tak berbicara tentang kekuasaan saat mengangkat perempuan. Benar juga, mungkin lain kali kami akan mengangkat topik itu," ujar Bark.

She She Pop adalah kelompok teater dari Jerman yang disebut teoretikus teater Jerman, Hans-Thies Lehmann, sebagai bagian dari gelombang gerakan post-dramatic di Jerman pada 1990-an. Gelombang ini meninggalkan dramaturgi yang konvensional. Pemanfaatan media digital pada kelompok-kelompok teater ini membuat kemungkinan komunikasi, interaksi, dan partisipasi penonton yang sebelumnya tak dimungkinkan oleh teater konvensional. Dramaturgi mereka tidak bisa ditakar lagi dengan dramaturgi ala Aristotelian, yang alurnya ekposisi, konflik, dan resolusi.

Memang tontonan She She Pop ini terasa cerdas. Tapi bagian awal terasa lambat dan membosankan. Beberapa adegan ibu-ibu juga seolah-olah dibuat-buat dan cenderung lebih bermain-main. Toh, kita melihat contoh lain kecenderungan baru teater Jerman setelah kelompok Rimini Protokoll setahun lalu secara segar menampilkan 100 Persen Yogya dengan materi penonton semuanya warga Yogya (yang di panggung diberi pertanyaan-pertanyaan yang sensitif dan aktual tentang kondisi Yogya).

Moyang Kasih Dewimerdeka, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus