Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Eksperimen Dunia Gelap

Sebuah pertunjukan teater dengan para pemain difabel netra. Mata penonton ditutup agar muncul pengalaman tak biasa.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON berbaris dan berjalan masuk ke ruangan bersekat tirai hitam. Di sana, pemandu berkostum serba hitam menyampaikan syarat dan petunjuk selama di dalam ruang pertunjukan. Salah satunya, penonton mesti memakai penutup mata yang dipinjamkan. Setelah itu, pemandu menuntun penonton ke ruang pertunjukan. Sambil memegang tangan atau pundak orang di depannya, penonton kembali jalan berbaris. Tempo ikut dalam barisan itu.

Proses menjadi penonton berpenutup mata selama 15 menit itu adalah bagian awal dari pertunjukan Teater Gardanalla dan musikus Ari Wulu yang berjudul Margi Wuta. Pentas teater karya sutradara Joned Suryatmoko itu digelar di Auditorium Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna, Bandung, pada 4-5 Oktober lalu.

Margi Wuta, yang berarti "karena buta" atau jalan buta" dalam bahasa Jawa, juga pelesetan nama lembaga tunanetra terbesar di Yogyakarta: Mardi Wuto. Pada 2013, Joned memainkan perdana lakon ini di Yogyakarta dengan tiga orang pemain difabel netra.

Penampilan mereka di Bandung kali ini sekaligus merupakan bagian dari rangkaian festival internasional seni pertunjukan kontemporer Art Summit Indonesia 2016-2017. Mereka tampil dengan beberapa perubahan. Trio pemain—Harjito dan pasangan suami-istri Getir-Suratmi—dari kelompok ketoprak Distra Budaya, Yogyakarta, kini tampil bersama enam remaja penghuni Panti Wyata Guna.

Sampai duduk di kursi plastik, penonton tidak mengetahui situasi arena pertunjukan. Mereka juga merasa kehilangan arah. Tiba-tiba dialog bermunculan dari arah kanan dan kiri. Saat pengunjung masih sibuk beradaptasi, tiba-tiba seseorang menyodorkan sepotong makanan di atas tisu kepada penonton. Di "panggung", tiga pemain tengah mempercakapkan oleh-oleh martabak. Kudapan yang diberikan ternyata memang martabak telur. Selanjutnya, para penonton diberi bola tenis berbulu, yang harus dibanting ke lantai sesuai dengan aba-aba pemain.

Ketika tiba waktunya penutup mata boleh dibuka, ternyata para penonton duduk bertebaran tempat dan berbeda arah. Ada yang di dalam bilik, ada yang di tengah arena.

Pengalaman penonton menjadi difabel netra selama 30 menit itulah yang menjadi esensi pertunjukan Margi Wuta. "Saya mempercayai teater adalah peristiwa pengalaman. Tidak hanya aspek visual, tapi pengalaman seluruh peristiwa," kata Joned. Konsepnya adalah menekankan pertunjukan teater realis yang kuat secara real time. "Artinya, di saat yang sama, penonton ikut larut dan menjadi bagian penting pertunjukan, sekaligus membangun empati khusus kepada pemain difabel netra."

Joned membagi penonton menjadi kelompok tak berpenutup mata yang disebut hadirin dan yang matanya ditutup. Ia ingin memperbesar efek pertunjukan dengan cara menutup apa yang ditonton orang. Dia berharap penonton merasakan pengalaman-pengalaman lebih. "Refleksi hubungan sosial ini yang kami tawarkan. Ini mendekatkan lakon dengan realitas sehari-hari."

Karena itu pula ia menihilkan panggung. Teater baginya adalah konsep terbuka, sehingga ada peluang mendefinisikan ulang dan menjajal hal baru. Untuk membangun kesan misterius, Joned sengaja memilih gedung panti yang jarang disambangi orang itu. Akibatnya, penonton diliputi atmosfer ruang yang asing.

Beberapa penonton mengaku awalnya ketakutan setelah memakai penutup mata. "Ketika mata ditutup, saya baru menyadari dunia mereka menakutkan. Kita tidak tahu apa yang terjadi," ujar Ervin Novianti. Ia mengaku beberapa kali menangis sepanjang pertunjukan karena emosional.

Proses latihan Margi Wuta berjalan secara terpisah selama sekitar dua bulan. Joned melatih tiga pemain di Yogyakarta. Sedangkan koordinator Bandung, Heliana Sinaga, dan kawan-kawan melatih para pemain dari Panti Wyata Guna. Sepekan sebelum pertunjukan, baru semua pemain berlatih bareng.

Semua latihan mengandalkan suara dan sentuhan. Menurut Getir, 51 tahun, ia menghafalkan dialog dari ucapan sutradara. "Tidak pakai naskah Braille, karena terlalu lama hafalnya," kata Getir, yang berprofesi sebagai pemijat. Dia memang terlahir dengan pandangan mata terbatas.

Joned tak mengutamakan kemampuan akting para aktor. Ia lebih peduli pada peristiwa sosial daripada peristiwa seni. Joned memilih mengikuti nalar pemain dan belajar dari mereka. "Itu yang memudahkan latihan, karena sulit kalau mereka yang mengikuti nalar kita," ujarnya.

Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus