Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR duka itu datang begitu mendadak pada Jumat dua pekan lalu. Melalui sambungan telepon, seorang kawan, Muktiah Mashud, mengabarkan bahwa Herawati Diah meninggal. Saya langsung menangis. Di benak saya terlintas kembali kenangan pertemuan dengan Bu Diahdemikian saya selalu memanggilnyaketika saya diterima bekerja di harian Indonesian Observer pada 1967.
"Mengapa Anda ingin jadi wartawan?" tanya seorang wanita yang kelihatan sangat tenang kala itu.
"Pertama untuk bepergian gratis. Lalu untuk mampu menuliskan buah pikiran yang layak dibaca umum."
Wanita itu, berkain kebaya warna hijau daun, manggut-manggut.
"Anda suka membaca?"
"Sangat suka, Bu."
"Termasuk bacaan berbahasa Inggris?"
"Ya, Bu."
"Kalau rajin, dapat diterima. Mulai tanggal satu, ya?" katanya.
Kenangan itu tak dapat hilang dari ingatan saya. Saya diterima oleh seorang tokoh wartawan yang amat terkenal. Tidak ada tes, apalagi minta surat ini-itu, fotokopi, dan lain-lain.
Saat itu Bu Diah berumur 50 tahun. Penampilannya selalu rapi, segar, ramah, halus budi bahasanya. Hampir 50 tahun kemudian, beliau masih tetap sama. Tak ada kerutan di wajahnya, kecuali kulit agak mengendur.
Beberapa minggu setelah perkenalan itu, beliau memanggil saya, berkata, "Maaf, ya, saya tidak sempat mengajar. Mungkin Daisy Hadmoko, redaktur kami, punya waktu karena terus di kantor." Saat itu, Bu Diah sangat sibuk, aktif juga di bidang budaya, di antaranya sebagai pencetus penggalangan dana untuk renovasi Candi Borobudur pada 1968. Bu Diah mengatakan sangat puas karena candi itu akhirnya jadi warisan kebudayaan dunia.
Siti Latifah Herawati Diah lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 3 April 1917. Setelah lulus dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, Bu Diah bersekolah ke Jepang di American High School di Tokyo. Setelah itu, berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar sosiologi dan jurnalisme di Barnard College, Universitas Columbia, New York, dan lulus pada 1941. Saat itu, bidang studi yang dipilihnya belum banyak ditekuni, terutama bagi seorang perempuan.
Setelah pulang ke Indonesia, beliau bekerja sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International (UPI). Bersama sang suami, Burhanuddin Mohammad Diah, beliau mendirikan harian Merdeka pada 1 Oktober 1945. Kemudian mendirikan koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia, Indonesian Observer, pada Oktober 1954. Koran ini diterbitkan untuk menyambut Konferensi Asia-Afrika pada tahun yang sama di Bandung.
Beliau juga mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu pada 1998 untuk memberikan pendidikan politik kepada perempuan agar menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani.
Selama dua tahun bekerja, saya kerap bertemu dengan beliau, terutama untuk membicarakan topik yang akan ditulis. Sikapnya tetap tenang, halus, dan hangat. Sesekali sejumlah wanita terkenal, seperti wartawati Gadis Rasid, Nyonya Jusuf Ronodipuro, dan Nyonya Subiyakto, datang dan berbincang tentang topik pada masa itu.
Empat puluh tahun setelah saya meninggalkan Indonesian Observer, seorang teman mengajak saya menghadiri ulang tahunnya yang ke-90. Dalam acara tersebut, teman itu berkata, "Yu Hera, masih ingat tamu ini?"
Tanpa mengerutkan kening, tanpa berkedip, Bu Diah langsung menjawab, "Itu kan Hanna?"
Saya terkejut, ingatan beliau tajam betul. Kami lantas berbincang tentang buku karya beliau, Kembara Tiada Akhir. Bu Diah mengatakan bahwa belum semua pengalaman kerjanya ditulis karena tidak punya banyak waktu. Mengenai hal itu, mendiang Rosihan Anwar, wartawan sezaman dengan beliau, berkata, "Ya Hera, biar kita sudah tidak aktif, tetap saja kekurangan waktu ya?"
Kami kerap berjumpa dalam pertemuan Paguyuban Wartawan Senior, yang digelar tiap beberapa bulan sekali. Bu Diah selalu mengusahakan datang dalam pertemuan dan selalu berwajah tenang, matanya menaruh minat pada lawan bicaranya. Dan, tentu, rapi.
Saya tanyakan rahasia kesehatannya, yang tecermin dari penampilannya yang menyangkal usianya. Sambil terkekeh beliau menjawab, "Berserah diri kepada Pencipta. Siapa tahu saya dapat mencapai usia seratus?"
Tapi rupanya hal itu tidak tercapai. Bu Diah meninggal pada usia 99 tahun saat dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, berdampingan dengan suaminya, yang meninggal dua dekade silam.
Hanna Rambe, novelis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo