DEMAM Kurosawa melanda Jakarta. Pekan film Jepang retrospeksi Akira Kurosawa di TIM, Jakarta, sudah berakhir Ahad lalu. Tapi demam itu berlanjut. Dan hanya seorang Kurosawa yang bisa membuat tiga pusat kebudayaan asing di Jakarta menjadi sibuk. Sukses Pusat Kebudayaan Jepang sebagai penyelenggara dilanjutkan Pusat Kebudayaan Prancis dengan memutar film Kurosawa terbaru, Ran, (1985) Senin dan Selasa lalu. Mengapa Prancis? "Ran boleh dianggap sebagai film Prancis," kata Henry Micciollo, Direktur Pusat Kebudayaan Prancis, kepada James R. Lapian dari TEMPO. Soalnya, film yang disutradari Kurosawa ini dibiayai Serge Siberman, seorang produser Prancis. Gagasan memutar Ran muncul tiba-tiba. "Mulanya, saya mendengar Japan Foundation dan Kine Klub merencanakan Pekan Film Kurosawa. Setelah mengetahui daftar film yang akan diputar, saya bertanya kepada Direktur Japan Foundation, mengapa tidak memutar karya-karya terbaru Kurosawa?" kata Micciollo. Dari Direktur Japan Foundation diketahui bahwa ada kesulitan memasukkan film Kurosawa terbaru. "Lalu saya pun berinisiatif mendatangkan Ran." Micciollo segera mengetuk kawat pada Serge Siberman, bermaksud meminjam Ran, dengan alasan itu tadi: di Jakarta terjadi demam Kurosawa. "Siberman bersedia meminjamkan copy film, bahkan tanpa memungut biaya apa pun," kata Micciollo. Maka, film berbahasa Jepang dengan teks Prancis itu akhirnya bisa dinikmati orang Jakarta, dengan karcis yang dijual cuma Rp 1.000. Y. Kaneda dari Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta menyebutkan beberapa alasan mengapa film Kurosawa mutakhir sulit diboyong ke Jakarta. Ada yang masih diputar secara komersial di negerinya, dan ada seperti Ran -- yang tak mudah begitu saja diangkut oleh Kedubes Jepang, karena film itu diproduksi negeri lain. Dalam keterbatasan seperti inilah pekan film Kurosawa di TIM itu memutar 10 film, yang semuanya dibuat sebelum tahun 1963?. "Itu pun ada yang kurang. Singgasana Darah yang diangkat dari karya Shakespeare (adaptasi dari Macbeth) tak bisa diputar, diganti dengan The Idiot," kata Kaneda. Untuk diketahui, pemutaran film Kurosawa ini adalah bagian dari kampanye film Kurosawa ke seluruh dunia. "Dia adalah pelopor terkemuka dunia perfilman Jepang," tutur Kaneda. Ternyata, Pusat Kebudayaan Uni Soviet di Jakarta tak mau kalah. Dersu Uzala film Kurosawa yang dibuat di Uni Soviet (1975) dengan bintang lokal, akan segera diputar di Jakarta. Kapan? "Kami sedang membawa film itu ke Badan Sensor Film, agar nanti bisa diputar untuk umum," kata Anatoly Kozlov, Kepala Bagian Kebudayaan Kedubes Uni Soviet. Memang, semula ada rencana memutar Dersu Uzala tanpa diperiksa BSF. Toh film itu sudah lama di Jakarta. Risikonya, penonton terbatas, Kedubes Uni Soviet tak bisa mengedarkan undangan lebih banyak, dan justru itu yang tak dikehendaki. Maklumlah, tujuan Kedubes Uni Soviet pun sama dengan "rekannya" dari Jepang dan Prancis, memperpanjang demam Kurosawa. Memang, sudah nasib penonton Indonesia, rupanya, cuma bisa menikmati film bermutu lewat jasa-jasa baik berbagai kedubes asing. Coba, mana ada film Kurosawa di gedung bioskop? P.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini