DI tengah-tengah film sampah busuk yang mengisi gedung-gedung bioskop Jakarta, satu pekan film karya-karya Akira Kurosawa oleh Pusat Kebudayaan Jepang adalah kebahagiaan tersendiri. Dan jika pekan ini dua pusat kebudayaan lain, Prancis dan Uni Soviet, ikut memutar dua film sutradara itu di kota ini, berarti hampir sempurnalah penghormatan yang diberikan. Bukan cuma buat Kurosawa, tapi juga buat Kota Jakarta. Yang pertama adalah Ran, film terbarunya yang dibiayai Serge Siberman, seorang produser independen Prancis - satu hal yang menjelaskan mengapa kedatangan film ini ke Jakarta dibiayai oleh Pusat Kebudayaan Prancis. Yang kedua, Dersu Uzala, film Kurosawa dari tahun 1975, yang disponsori Uni Soviet, dan dibuat bersama dengan aktor-aktor Soviet, di daratan Siberia. Kebetulan, keduanya menunjukkan kecenderungan Kurosawa yang paling dominan: kesukaannya kepada kukuhnya seorang manusia - pria perkasa yang dalam kelaziman drama tradisional Jepang, kabuki, disebut tateyaku - dan kiasan-kiasan sinematografisnya, yang membawa alam yang mentah dan kasar ke tengah peristiwa manusia. Tapi tak bisa dikatakan bahwa kedua film itu berangkat dari warna perasaan yang sama. Ran (yang kurang-lebih berarti "geger" atau "rusuh"), membawakan kisah Jepang dari masa feodalnya yang agung dan brutal, suatu adaptasi bebas dari King Lear Shakespeare. Di sini kita mengingat Kurosawa yang telah menyajikan Sichinin no Samurai (Tujuh Samurai) di tahun 1954 dan Kagemusha di tahun 1980: layar dengan keriuhan gerak yang gemuruh, dengan adegan pertempuran yang dinamis dan ekspresif. Sebaliknya, Dersu Uzala adalah sebuah karya Kurosawa yang metafora utamanya justru ketenteraman yang pelan. Dalam Ran, tokoh utama adalah Hidetora, penguasa tua di Jepang abad ke-16, yang - seperti Raja Lear - hendak menyerahkan tahtanya kepada putranya yang tertua, agar ia bisa mundur dan diladeni anak-anaknya. Tapi Saburo, si bungsu, menyanggah ide itu. Samurai muda ini agaknya telah merasa betapa perlu berhati-hatinya seorang penguasa di tengah dunia yang penuh khianat dan rasa tamak. Saburo diusir dan dibuang karena oposisinya - tapi ia ternyata benar: seperti Lear, akhirnya Hidetora tergusur oleh keserakahan dua anaknya yang lain. Mereka menyerbu kediaman sang ayah. Dari kancah api yang membakar purinya -- satu adegan yang paling memesonakan dalam film ini -- Hidetora pun melangkah keluar, hilang ingatan, menggelandang seorang diri, hanya diiringi seorang pelayan banci yang sinting. Dalam perjalanannya yang tak menentu itu, samurai tua yang keras itu tahu bagaimana dunia yang telah dibangunnya, ketika ia menegakkan kekuasaan dulu dengan bengis: ia bertemu dengan korban-korbannya. Kisah film ini kemudian bergerak dari bagaimana sisa-sisa korban ini menentukan dirinya. Intrik paling jahat dan kesumat paling mengendap datang dari menantunya perempuan, yang berasal dari keluarga daimyo lain yang dulu kalah dan dibasmi. Tapi korban lain juga bisa muncul sebagai seorang peniup suling buta, yang tanpa dendam, sebuah suara lemah perdamaian di tengah nafsu bantai-membantai. Ran, bagi saya, memesonakan karena inilah karya Kurosawa dengan gairah yang utuh - meskipun, karena itu, film ini tampak seperti batu api yang kurang diasah. Ia ingin bicara, biarpun dengan suara parau: ia ingin bicara tentang kemuraman perang, dalam keganasan dan kesia-siaannya. Dengan gairah yang utuh untuk mengungkapkan semua itu, Kurosawa bisa menggetarkan dan sekaligus terasa cengeng. Berbeda dengan adegan pertempuran yang tegang dan heroik dalam Tujuh Samurai, ketika para petani dan samurai bersama-sama menghadapi para perampok, perang besar dalam Ran menimbulkan rasa tercengang, dan segera sesudah itu ganjil: ketika kuda-kuda menderu dan ratusan tentara berlaga, film tiba-tiba tak menghadirkan bunyi - seperti semua itu bagian dari mimpi buruk. Musik sound-track kemudian, pelan-pelan, terdengar mengisi kesenyapan itu, seakan-akan mencoba mengusir kengerian di medan berdarah itu, jadi sesuatu yang jauh, yang percuma. Dalam film sebelumnya, Kagemusha, Kurosawa juga mencoba menampilkan hal yang mirip, di adegan perang terakhir, ketika sejumlah besar pasukan dibantai dengan tembakan berpuluh-puluh bedil - dengan gerak diperlambat yang terasa terlalu mencari efek dramatis. Dalam film ini, berlebih-lebihan dramatis itu tak terasa lagi, meskipun harus dicatat: Kurosawa bisa terasa cengeng, mencoba memeras haru, ketika ia menutup film ini dengan langit senja, peniup suling buta, dan lukisan Sang Budha (suara damai itu) terjatuh, dalam sorot kamera yang terang. Tapi itulah Kurosawa, yang agaknya ingin berpesan kepada seluruh dunia - satu hal yang menyebabkan adaptasinya terhadap lakon King Lear tak persis mengikuti Shakespeare: pokok soalnya bukanlah keserakahan kekuasaan, suatu tema kegemaran Shakespeare, seperti dalam Kumonosujo (1957), yang disadur Kurosawa dari Macbeth dengan indahnya. Dengan film ini Kurosawa bicara kepada seluruh dunia yang sedang bicara perlucutan senjata dan perdamaian, bukan kepada sebuah negeri yang (seperti di zaman Shakespeare) dijarah oleh para bangsawan yang haus kuasa. Berbicara untuk masa kini, itu pula yang mendasari Dersu Uzala. Inilah kisah seorang laki-laki tua yang tangguh, yang liat, seperti juga Hidetora, justru karena ia bagian dari alam. Dersu Uzala adalah seorang pemburu di daratan luas Siberia, yang bertemu dengan penjelajah Soviet Arseniev. Film ini mengisahkan persahabatan mereka yang intens, tapi lebih dari itu, juga satu tesis mulianya persahabatan dengan alam yang perawan. Dersu menyebut matahari "tokoh besar". Dersu sendiri akhirnya - dalam film ini - diwakili oleh keagungan tamasya gurun, hutan, cuaca, cahaya, dan bukit-bukit. Kamera, dengan pesan itu, terdiam seperti terpesona: ia menampilkan sesuatu yang majestik, menggetarkan. Dari segi cerita, bagi saya, film ini tak sehidup film-film Kurosawa yang lain. Bahkan ia tampak teramat rapi dan formal justru dalam membiarkan alam berbicara sendiri. Tapi mungkin itulah hasil kombinasi antara realismenya dan realisme yang sering kita lihat dalam lukisan-lukisan Soviet: tertib. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini