PUTRA mahkota yang kecewa itu pun menjadi pemimpin para rampok. Dari hutan Borabora kawanan itu menebar teror dan kemurahan hati: menggasak para bangsawan dan orang kaya, dan membagikan harta rampokan bagi orang miskin. Para rampok itu, dalam naskah asli karya Friedrich von Schiller (1759-1805), Die Rauber, boleh jadi ''menawarkan gagasan yang samar-samar tentang kebebasan'' karena mempertanyakan ''hak kekuasaan dari penguasa yang absolut''. Si pemimpin rampok dengan keras hati merindukan tatanan masyarakat yang baru. Tapi di pentas Teater Koma yang berjudul Rampok, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1-9 Oktober 1993, yang kita saksikan adalah gelombang kemarahan dan kesedihan, sejak awal hingga akhir. Tidak mengapa, bukan? Apalagi jika sutradara Idries Pulungan, 33 tahun, memang terpukau pada romantisisme yang kental terkandung dalam naskah itu. Diadaptasi ke dalam warna Batak, Rampok pada mulanya bukannya tak menjanjikan pentas yang intens. Di pembukaan, jajaran bambu dan gundukan hitam di latar belakang, jumbai-jumbai yang menggelantung, dan kayu salib yang meluncur tiba-tiba dari atas, memang menggarisbawahi monolog si pemimpin rampok, Karel Mora (dimainkan juga oleh Idries): ia tengah menyumpahi jalan hidup yang telah dipilihnya sendiri. Lantas adegan berikutnya, dengan panggung tambahan, agak tinggi, (dapat diseret keluar- masuk melalui sayap kanan panggung ide yang sungguh cerdik) yang mencerminkan ruang dalam sebuah istana: Prans Mora (Joshua Pandelaki), adik Karel yang menginginkan tahta kerajaan, memfitnah abangnya di depan Raja Tua (Priyo S. Winardi). Dua adegan awal itu memang memberi ''janji'': bahwa kita akan memasuki kisah penuh dendam kesumat antara Karel dan Prans. Dan jika mereka mempunyai ''bayangan yang samar-samar tentang tata pemerintahan yang baru'', itu sungguh terkubur oleh pertentangan yang seru antara keduanya. Tapi di panggung pertunjukan (juga di dalam naskah) keduanya tak pernah bertemu. Masing-masing membayangkan yang lain, bukan hanya sebagai lawan, tapi pembanding tentang kebaikan dan kejahatan. Karya Schiller adalah sandiwara kata-kata. Karena itu, pengalihan Rampok ke latar Batak adalah langkah yang berani. Bukankah kultur Batak memiliki tingkat verbalisme yang tinggi, sehingga kita boleh percaya bahwa luapan perasaan yang spontan, ciri terpenting romantisme, bisa melancar di panggung? Tapi jika kemudian kita cuma menyaksikan sedu-sedan berkepanjangan, fitnah yang mendayu-dayu, atau kemarahan yang lembek, itu pasti terjadi karena para pemain, rata-rata, menanggung beban kata- kata yang terlalu berat. Penyuntingan secara ketat mestinya juga bagian penting dari penyutradaraan Idries. Lagi pula, ketika ia, sebagai sutradara baru, tega meninggalkan warisan Teater Koma: tari dan nyanyi. Ternyata akting belum mampu menjadi taruhan utama. Bloking pun belum bisa melapis kebutuhan para pemain utama. Karel Mora selalu kepayahan mendedahkan amarah dan kesedihannya. Si perampok agung itu tampak lembek, apalagi ketika menyatakan titah dan aba-aba kepada anak buahnya. Dan, betapa canggung Prans Mora, ketika raja baru ini menempuh pelbagai cara untuk melenyapkan abangnya dan merebut kekasihnya Amelia (Sari Madjid). Untunglah pada saat-saat tertentu para rampok, para pemain pinggiran, seperti Salim Bungsu dan Budi Sobar, dapat menyemburkan kesegaran ke panggung. Yakni dengan keberanian mereka menyimpang dari naskah, meluncurkan sindiran, tanpa merusak pokok cerita. Saya percaya, para pemain Teater Koma tidak perlu setia pada naskah. Mereka memerlukan jauh lebih sedikit kata-kata tertulis, dan jauh lebih banyak improvisasi, terutama dalam permainan bersama. Adaptasi Batak itu mestinya adalah upaya untuk lebih mewadahi spontanitas, bakat alam, para pemain. Apalagi kostum Batak yang didominasi warna merah, cokelat, dan hitam itu memang ditata dengan sangat rinci oleh Subarkah Hadi Sardjana, sehingga leluasa menebus lambatnya tempo permainan. Bagi saya, tata kostum itulah nilai lebih pementasan ini. Karena ia, selain memberi tekanan rupa pada panggung, seakan mengisap kelebihan kata-kata dalam kecanggungan pemainnya. Tapi Idries rupanya tak percaya betul pada kekuatan ini. Ke tengah para perampok Batak itu, setelah 2/3 bagian berjalan, muncullah seorang pangeran dari Jawa, lengkap dengan mondolan dan logat Jawa. Untuk apa ini? Untuk menggamit kesenangan penonton? Saya tidak tahu. Mungkin citra dagelan Teater Koma amat menghantui Idries. Dan ketika sandiwara berakhir amat tragis, Prans bunuh diri dan Karel terpaksa membunuh Amelia, kehadiran pangeran Jawa itu benar-benar seperti nila setitik yang merusakkan susu sebelanga. Idries patut juga bersikap keras terhadap penata musiknya yang tak peka dengan kebutuhan panggung. Bagi saya, penggunaan suara synthesizer begitu sewenang-wenang, bahkan menghancurkan kesan tragis dan muram di panggung. Gondang dan dendang Batak digarap dengan ragu-ragu, padahal ini mestinya bisa menekan pemain agar lebih masuk lagi ke kekasaran dan keharuan. Sehingga pembatakan di pentas sepanjang 160 menit sungguh terasa berkepanjangan memang cuma jadi warna, dan bukan jiwa. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini