Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para dalang Vietnam itu memboyong pagoda kecil yang beratnya mencapai dua ton ke kolam renang Bulungan, Jakarta. Lalu kolam renang yang dalamnya 1,7 meter itu mereka minta dikurangi airnya hingga hanya sepinggang. Pagoda itu mereka pacakkan di tengah kolam. Rangkanya dari besi dengan atap anyaman bambu. Dua pagar bambu menghiasi bagian depan pagoda. Sementara dasar pagoda ditutup karpet warna gelap.
Inilah sebuah pertunjukan boneka yang memiliki karakter lain daripada yang lain dari pertunjukan wayang belahan Asia mana pun atau marrionette Eropa. Negeri Ho Chi Min ini memiliki tradisi memainkan boneka di atas air. Dalang-dalangnya berendam dalam air, menggerakkan boneka dengan bersembunyi.
Dan malam itu tujuh orang dalang, empat laki-laki dan tiga perempuan, memainkan fragmen-fragmen keseharian kehidupan pedesaan Vietnam. Dari balik pagoda itu mereka menyodok batang-batang bambu. Dan dari sisi muka, fantastis, kita hanya melihat boneka itu bisa menari-nari, bersendau gurau di atas air….
Mula-mula, hopla, dari balik tirai merah pagoda menyembul kepala bocah berkuncir. Dia berdiri di atas air dengan bertelanjang dada. Tokoh ini namanya Chu Teu. Dengan tampang jenaka, si Chu Teu memberikan kata pengantar. ”Teu ini orang polos,” kata Nghiem Xuan Dong, promotor acara.
Lalu sepasang naga muncul dari dasar air. Mengejutkan karena naga itu dapat meliuk menyemburkan api. Naga selalu tampil pada awal pentas. Orang Vietnam memiliki legenda, memiliki darah naga. Selanjutnya, dunia petani dan fabel. Ada ular keling yang meliuk-liuk, ikan yang hilir-mudik, bunga yang dikerubungi kupu-kupu. Gembala yang memandikan kerbaunya. Lalu para pemuda yang berlomba mendayung sampan. Bocah-bocah kecil yang bermain air, adu menyelam.
Luar biasa. Sebab, boneka-boneka itu bisa menelengkan kepalanya ke sana-kemari. Timbul-tenggelam, berenang dengan gaya dada sampai gaya punggung. Sungguh berbeda dengan wayang golek kita yang tak fleksibel. Membuat ingin tahu bagaimana secara teknis bambu-bambu yang panjang-nya dua meter digerakkan oleh para dalang. Trik apa yang mereka gunakan. Boneka yang terbuat dari kayu ara itu, katanya, berukuran 30 hingga 100 sentimeter. Beratnya 1 hingga 5 kilogram. Ada penyangga supaya dapat mengambang di air dan di titik-titik tertentu di tubuhnya ada tali untuk kelenturan gerak. Tapi bagaimana para dalang beraksi, sampai saatnya pulang masih menjadi teka-teki.
Mereka menyebutnya Mua Roi Nuoc: boneka yang menari di atas air. Awalnya, kesenian ini dipentaskan untuk hiburan raja-raja dinasti Ly pada 1121. Sebuah tontonan yang juga persembahan raja bagi para dewa agar dikaruniai panjang umur. Mua Roi Nuoc semakin tersebar menjadi tontonan rakyat di wilayah utara Vietnam. Ia menjadi pergelaran wajib setelah musim panen tiba. Kesenian ini dapat dengan mudah ditemukan di daerah utara Vietnam, Delta Sungai Merah. Di wilayah ini hampir setiap penduduk memiliki empang—dalam bahasa Vietnam ao—yang bisa dipakai pentas.
Kelompok yang berasal dari Hanoi ini sudah berpentas 1.400 kali di seluruh penjuru dunia. Kalau tidak ada kolam renang, kelompok ini siap membawa kolam buatan sendiri. Tak ubahnya sebuah pentas musik, pertunjukan bisa dilengkapi sejumlah lampu sorot dari samping kiri dan kanan. Bila ingin ditambahkan, lampu juga bisa dipasang di sekujur pagoda . Semua ini akan makin menghasilkan efek yang sip. Riak air yang bergerak-gerak, misalnya, bisa menghasilkan efek pantul yang keren di permukaan pagoda.
Humor selalu menjadi ciri mereka. Malam itu, misalnya, ada adegan bocah yang dengan bubu luput terus menangkap ikan. ”Pentas ini memang hanya untuk membuat masyarakat gembira,” kata Dong. Kita bisa membayangkan, di empang-empang, di Vietnam sana setelah hajat desa, pertunjukan ini tentu menarik masyarakat jelata datang berduyun-duyun. Bahwa dahulu di masa-masa perang, pertunjukan ini mungkin bisa menjadi obat bagi masyarakat. Dan juga menjadi medium partai menyampaikan pesan agar rakyat dapat bertahan di era sulit.
Di tengah-tengah pertunjukan berdurasi satu jam ini, muncul adegan peri-peri menari. Dari dunia gaib, mereka turun berbaris, berjajar seperti penari bedaya, tersenyum di atas air. Sayap mereka mengembang. Wahai, inilah peri pelindung para petani. Sesungguhnya pertunjukan ini menampilkan dunia mitologis yang kuat.
Yandi M. Rofiyandi, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo