Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di yogya, jing belayak filsafat

Karya: rudolf puspa sutradara: rudolf puspa resensi oleh: emha ainun najib. (ter)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JING JONG Karya dan sutradara: Rudolf Puspa Produksi: Teater Keliling JING dan Jong saling bertanya: siapa kau? Berpuluh kali, dengan bermacam nada. Jing bersila. Kain membungkus tubuhnya dari dada sampai lutut, kemudian menyampir di satu pundaknya. Rambutnya digelung ke belakang agak ke atas. Wajahnya datar. Kadang ada senyum, atau tawa. Seluruhnya menampilkan kesan ringan dan lapang. Mungkin gambaran seorang Empu yang telah mengatasi segala kecengengan, segala sedih, segala rasa bingung dan pertanyaan yang mencegat. Ia mungkin telah nguntal ndonya (menguasai dunia), mencapai kesempurnaan. Tapi Jing selalu bergerak, berjalan, berkeliling, mondar-mandir. Ada yang dicarinya: kebahagiaan. Sebuah klise? Mungkin bukan. Pertanyam itu universil. Hanya inti pesan drama Jing Jong, di Purna Budaya Bulaksumur Yogyakarta, Senin malam 6 Nopember '78, tampil sebagai klise dan secara klise. Tanya-jawab antara Jong dan Jing memang sekedar klise-klise. Filsafat verbal. Pertanyaan "eksistensial" tentang siapa kita, di mana kita, mengapa kita. Tentang kelahiran, kebingungan, kepura-puraan yang merupakan sifat sah manusia Ribuan teka-teki hidu -- sampai akhirnya kesimpulan "apakah kemarian puncak kebahagian?" Teater Keliling tidak menggunakan panggung Purna Budaya. Panggung diciptakannya sendiri di sisi barat. Dua serpihan kain hitam menoreh ruang, berpadu dengan tembok memanjang yang merupakan sisi balkon, dan dengan dua tiang besar. Ruang kosong yang menghadirkan pemandangan luar gedung menjadi bagian tata panggung. Ada tangga berdiri menyandar pada kain hitam panjang itu. Trap-trap ditumpuk, dibalik, dimiringkan, dihamparkan. Kursi tinggi dipajang. Ban mobil dipasang. Juga ranting-ranting kayu dan daun-daun. Mengantarkan kita ke mana? Ruang itu tak di mana dan tidak menunjukkan tempat. Minimal ia alam semesta di mana manusia melata, berjuang untuk dirinya dan suka bingung. Jadi hanya lambang. Jing dan Jong pun sekedar lambang. "Ruang ini adalah kesunyian. Kau bisa membaca segalanya di kesunyian," kata Jong. Dan Jing, atas nasehat Jong, kemudian belajar kepada dirinya sendiri dan kepada ruang itu, yakni alam. "Daun ialah bagian dari pohon yang bertugas untuk memasak makanan. Beruntunglah daun yang memasak tanpa perlu minyak tanah, sebab harga minyak tanah makin melambung . . . Kursi ialah tempat untuk duduk. Makin tinggi kursi, orang yang duduk di atasnya makin gampang dilihat orang, makin banyah dilihat orang. Orang selalu senang menaiki kursi yang lebih tinggi tanpa mau tahu bahwa kalau jatuh lebih sakit rasanya . . . Ranting adalah . . . Tangga ialah . . . Bulatan jalan . . . " -- bagian bagian ini merupakan penggalan yang asosiatif, yang gampang dan dekat untuk dihinggapkan ke kondisi kehidupan yang sesungguhnya. Di bagian akhir Jing bingung meliha "guru"nya. Jong sibuk dengan kaki lum puhnya, berbicara kepada dirinya sendiri. Berulangkali Jing memohonnya, mendaulatnya, dan akhirnya mengancamnya agar mau omong-omong dengannya lagi -- karena Jnglah yang dianggap bisa menjawab teka-teki hidup Jing. Tapi Jong tetap membingungkan Jing dengan diamnya. Jing akhirnya memukulnya. Pada pukulan kedua Jing sampai terduduk, dan Jong berdiri. Sembuh dari lumpuhnya. Segera Jong hilang "dari semesta," dan ling ganti yang kini lumpuh kakinya. "Habis usiaku hanya untuk belajar, tanpa akhirnya tahu apa yang kupelajari," kata Jing. Dan pentas ini kemudian berakhir dengan sebuah pertanyaan: "apakah kematian merupakan kunci kelahiran, ataukah kelahiran merupakan kunci dari kematian?" Penonton Yogya amat setia. Satu setengah jam drama ini lewat dengan datar, dan mereka dengan sabar menerima. Kiranya semua mengerti -- secara fikiran -- segala rentetan dialog dan adegan. Simbol-simbol bisa ditangkap sebagai konsep. Tetapi kurang melibatkan perasaan, kurang memancing kesan, yang merupakan syarat orang akan yakin dan "merasa berada" di dalam suatu kehidupan yang dibangun. Jong (Rudolf Puspa), seperti biasanya berperan terlalu lancar. Sedang Jing Maya) mulus. Jadi, ada orang main drama cukup bagus -- itu saja yang terbawa. Naskah itu sendiri agaknya harus bersedia dimatangkan. Rudolf mengang kat masalah yang paling lekat dalam kejiwaan manusia, cuma bentuk pengucapannya yang musti dicari. Supaya tidak verbal, klise, kadang terasa snob, kering dan datar. Emha Ainun Nadjib

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus