JING JONG
Karya dan sutradara: Rudolf Puspa
Produksi: Teater Keliling
JING dan Jong saling bertanya: siapa kau? Berpuluh kali, dengan
bermacam nada. Jing bersila. Kain membungkus tubuhnya dari dada
sampai lutut, kemudian menyampir di satu pundaknya. Rambutnya
digelung ke belakang agak ke atas. Wajahnya datar. Kadang ada
senyum, atau tawa. Seluruhnya menampilkan kesan ringan dan
lapang. Mungkin gambaran seorang Empu yang telah mengatasi
segala kecengengan, segala sedih, segala rasa bingung dan
pertanyaan yang mencegat. Ia mungkin telah nguntal ndonya
(menguasai dunia), mencapai kesempurnaan.
Tapi Jing selalu bergerak, berjalan, berkeliling, mondar-mandir.
Ada yang dicarinya: kebahagiaan. Sebuah klise? Mungkin bukan.
Pertanyam itu universil. Hanya inti pesan drama Jing Jong, di
Purna Budaya Bulaksumur Yogyakarta, Senin malam 6 Nopember '78,
tampil sebagai klise dan secara klise.
Tanya-jawab antara Jong dan Jing memang sekedar klise-klise.
Filsafat verbal. Pertanyaan "eksistensial" tentang siapa kita,
di mana kita, mengapa kita. Tentang kelahiran, kebingungan,
kepura-puraan yang merupakan sifat sah manusia Ribuan teka-teki
hidu -- sampai akhirnya kesimpulan "apakah kemarian puncak
kebahagian?"
Teater Keliling tidak menggunakan panggung Purna Budaya.
Panggung diciptakannya sendiri di sisi barat. Dua serpihan kain
hitam menoreh ruang, berpadu dengan tembok memanjang yang
merupakan sisi balkon, dan dengan dua tiang besar. Ruang kosong
yang menghadirkan pemandangan luar gedung menjadi bagian tata
panggung. Ada tangga berdiri menyandar pada kain hitam panjang
itu. Trap-trap ditumpuk, dibalik, dimiringkan, dihamparkan.
Kursi tinggi dipajang. Ban mobil dipasang. Juga ranting-ranting
kayu dan daun-daun. Mengantarkan kita ke mana?
Ruang itu tak di mana dan tidak menunjukkan tempat. Minimal ia
alam semesta di mana manusia melata, berjuang untuk dirinya dan
suka bingung. Jadi hanya lambang. Jing dan Jong pun sekedar
lambang.
"Ruang ini adalah kesunyian. Kau bisa membaca segalanya di
kesunyian," kata Jong. Dan Jing, atas nasehat Jong, kemudian
belajar kepada dirinya sendiri dan kepada ruang itu, yakni alam.
"Daun ialah bagian dari pohon yang bertugas untuk memasak
makanan. Beruntunglah daun yang memasak tanpa perlu minyak
tanah, sebab harga minyak tanah makin melambung . . . Kursi
ialah tempat untuk duduk. Makin tinggi kursi, orang yang duduk
di atasnya makin gampang dilihat orang, makin banyah dilihat
orang. Orang selalu senang menaiki kursi yang lebih tinggi tanpa
mau tahu bahwa kalau jatuh lebih sakit rasanya . . . Ranting
adalah . . . Tangga ialah . . . Bulatan jalan . . . " -- bagian
bagian ini merupakan penggalan yang asosiatif, yang gampang dan
dekat untuk dihinggapkan ke kondisi kehidupan yang sesungguhnya.
Di bagian akhir Jing bingung meliha "guru"nya. Jong sibuk dengan
kaki lum puhnya, berbicara kepada dirinya sendiri. Berulangkali
Jing memohonnya, mendaulatnya, dan akhirnya mengancamnya agar
mau omong-omong dengannya lagi -- karena Jnglah yang dianggap
bisa menjawab teka-teki hidup Jing. Tapi Jong tetap
membingungkan Jing dengan diamnya. Jing akhirnya memukulnya.
Pada pukulan kedua Jing sampai terduduk, dan Jong berdiri.
Sembuh dari lumpuhnya. Segera Jong hilang "dari semesta," dan
ling ganti yang kini lumpuh kakinya. "Habis usiaku hanya untuk
belajar, tanpa akhirnya tahu apa yang kupelajari," kata Jing.
Dan pentas ini kemudian berakhir dengan sebuah pertanyaan:
"apakah kematian merupakan kunci kelahiran, ataukah kelahiran
merupakan kunci dari kematian?"
Penonton Yogya amat setia. Satu setengah jam drama ini lewat
dengan datar, dan mereka dengan sabar menerima. Kiranya semua
mengerti -- secara fikiran -- segala rentetan dialog dan adegan.
Simbol-simbol bisa ditangkap sebagai konsep. Tetapi kurang
melibatkan perasaan, kurang memancing kesan, yang merupakan
syarat orang akan yakin dan "merasa berada" di dalam suatu
kehidupan yang dibangun.
Jong (Rudolf Puspa), seperti biasanya berperan terlalu lancar.
Sedang Jing Maya) mulus. Jadi, ada orang main drama cukup bagus
-- itu saja yang terbawa. Naskah itu sendiri agaknya harus
bersedia dimatangkan. Rudolf mengang kat masalah yang paling
lekat dalam kejiwaan manusia, cuma bentuk pengucapannya yang
musti dicari. Supaya tidak verbal, klise, kadang terasa snob,
kering dan datar.
Emha Ainun Nadjib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini