KATA ilmu di sini dipakai untuk pengertian scientil, science,
bukan di dalam arti metafisika seperti di dalam ilmu-kalam
(theologia), ilmu sihir (occultism) dan sebagainya. Secara
filasafi ilmu yang saya maksudkan adalah anak logika, yang perlu
diuji kebenarannya.
Agama bertolak dari wahyu, dimulai dengan percaya dan diakhiri
juga dengan percaya. Logika hanya digunakan untuk memberikan
uraian guna menunjang 'aqidah (dogma). Sesuatu yang tak dapat
diuraikan berdasarkan logika dianggap misteri, gha'ib, tak
terjangkau oleh akal. Agama memang termasuk metafisika, bersifat
supra-rasional dan bertolak dari nilai-nilai abadi dan
mengawetkan nilai-nilai tersebut. Agama tak boleh diuji secara
apodeiktik, empirik dan eksprimental.
Ilmu bertolak dari skepis keragu-raguan. Ilmu bergumul dengan
pembaharuan terus-menerus terhadap dirinya sendiri. Ia terus
mengeritik dan mengoreksi dirinya sendiri. Ilmu merupakan suatu
perjalanan tanpa akhir, tapi dengan tujuan tetap: berusaha
mencapai kebenaran. Ilmu adalah pamrih kebenaran yang tak
kunjung sempurna.
Kekasih Yang Tak Setia
Ilmu adalah kekasih yang tak setia, setiap saat menipu kita.
Ptolemaios (87-168 M.) yang menganggap bumi pipih dan matahari
berputar di sekitarnya telah ditipunya mentah-mentah. Revolusi
Copernican membuktikan, bahwa bumilah yang berputar di sekitar
matahari. Dan ilmu itu isteri yang poliandrik, enggan kepada
seorang suami yang suka memonopoli. Copernicus (Koppernick)
tidak sendiri memonopoli kebenaran teorinya. Ia berbagi dengan
Al-Battani (wafat 929 M) dan Az-Zarqali (wafat 1087 M.).
Hanya untuk sementara saja matahari menjadi pusat alam semesta.
Akhirnya helio-sentrisma bubar, karena penemuan dan
penyempurnaan teleskop membuktikan, bahwa tatasurya kita
hanyalah satu di antara banyak tatasuryanya. Dan tatasurya kita
merupakan bagian kecil dari pada galaksi yang terdiri banyak
tatasurya. Lahirlah galakto-sentrisma.
Alam semesta senantiasa meluas. Terbentuk konsep Einstein
(1879-1955) tentang alam semesta yang senantiasa berkembang
(ever-expanding univee). Garis-tengah tatasurya bumi yang
sekarang 12.000 (duabelas ribu) tahun cahaya pada suatu ketika
akan menjadi berbilyun tahun cahaya, kalau kita berhasil
mengorbitkan sebuah observatorium-bintang raksasa sepuluh ribu
km dari bumi. Entah bila!
Dari 5 Sampai Suipoa
Manusia paling primitif hanya punya bilangan satu sampai lima.
Limabelas dinyatakan dengan: lima tambah lima tambah lima. Lebih
dari itu: banyak orang India kuno telah punya kata-kata untuk
puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan, puluhan juta (kothi),
para-suksma (myriad, tak terhitung). Orang India Purba telah
mengenal konsep nol yang dipinjam orang Arab sejak abad ke-6.
Orang Rumawi menuliskan 88 sebagai LXXXVIII (8 posisi) dan
sejuta juta atau sebilyun hanya M dengan tiga garis datar di
atasnya (1 posisi). Tapi sarjana Muslim Al-Khwarizmi (780-80
M.) mengembangkan algorisma (sistim hitungan posisonel: satuan,
puluhan, ratusan, ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan,
milyaran, bilyunan, trilyunan dllsb). Suipoa (abakus) diganti
mesin hitung model ADDO, sekarang kalkulator elektronik mudah
dibawa ke mana-mana, meski pun berangka duapuluh deret
menyamping (puluhan kwadrilyun).
Ilmu tak kenal sistem bapak-bapakan. Albert Einstein
(1879-1955) yang raksasa hebat teori paritasnya digulingkan oleh
dua orang pemuda warganegara Amerika Serikat: Lee Tsung-dao
(lahir di Shanghai 25-11-1926) dan Yang Chenning (lahir di
Hofei, propinsi Anhwei, Tiongkok Timur 22-9-1922). Keduanya
mendapat hadiah Nobel tahun 1957 untuk bidang fisika.
Orang Korea bernama Kim Bong Han dari 'peloksok' bernama
Pyongyang membantah, bahwa sel merupakan satuan organik terkecil
di dalam hidup hayati hewani. Menurut dia sel dibagi lagi
menjadi sanal-sanal (baca: san-an). Itu hasil kesimpulan
penyelidikannya 20 tahun lebih dengan menggunakan mikroskop
elektron. Dan 'kurang-ajar'-nya 'orang peloksok' itu melimpahkan
bukti-bukti fotografi berwarna yang meyakinkan bagi yang mau
mempelajari hasil-hasil penyelidikannya yang apodeiktik (dapat
dibuktikan).
Apakah ilmu? Ia hanya: pencerapan, pengamatan, pembedaan,
pembandingan, induksi, deduksi, percobaan dan kesimpulan di
dalam urutan, paduan dan keteraturan yang tepat. Ilmu adalah
buah logika yang manis dan paling bergizi.
Ilmu itu anak yang lahir darl perkawinan sah keinginan tahu dan
keperluan sosial. Keinginan-tahu melahirkan filsafat dan ilmu
murni. Keperluan sosial melahirkan ilmu terapan dan teknologi.
Jangan Abaikan Ilmu Murni
Indonesia perlu melangkah dengan langkah-langkah raksasa di
dalam derap maju sejarah sekarang. Dengan sendirinya yang kini
banyak diimpor dan dikembangkan adalah ilmu terapan dan
teknologi. Itu tepat selama diiringi oleh ilmu murni. Tapi
sayang nyatanya ilmu murni kini terlalu kurang diperhatikan,
bahkan boleh dikatakan agak diabaikan. Di dalam perkembangan
ilmu hal itu sangat merugikan, karena mendorong kepada
kemandulan. Akibatnya memang tidak seketika terasa, tapi akan
diderita pada masa datang yang tidak terlalu jauh.
Ilmu murni tak boleh sekali-kali diabaikan: tanpa penyelidikan
fisika murni tak'kan ada pembelahan inti (nuclear fision) tak
kan ada bom atom, bom hidrogen, kapal-selam atom, tapi juga
tak'kan ada pembangkit listrik bertenaga inti dan penerapan
tenaga inti di dalam pertanian dan industri. Tanpa
penelitian-dasar elektron secara fisika murni tak'kan ada
elektronika dan barang-barang elektronik yang sekarang menguasai
kehidupan modern. Bahkan tak'kan ada cybernetika yang telah
memberikan super-computers, pesawat-pesawat tele-kontrol,
lokomotif tanpa masinis, mesin penyortir surat untuk kantor pos,
robot yang dapat didaratkan di bulan. Tanpa penelitian
aero-dinamika secara fisika murni tak'kan ada pesawat-pesawat
super-sonik yang aman. Tanpa penelitian kinetika secara fisika
murni oleh Galileo Galilei (1564-1642) tak'kan ada
ilmu-ballistik. Seluruh teknologi modern tak mungkin tanpa
mathematika.
Singkatnya tanpa teori-teori yang kuat sebagai landasan ilmu
terapan adalah sesuatu yang mustahil. Contoh-contoh di atas
masih dapat diperbanyak, tapi cukuplah sekian dahulu.
Mahasiswa FIPIA Sedikit
Sekarang ini kalau kita perhatikan jumlah mahasiswa mathematika,
fisika dan kimia murni pada segala FIPIA di tanah air kita jelas
keadaannya menimbulkan prihatin. Terlalu sedikit peminat jurusan
ini. Sebabnya dapat diduga: karena bayangan suram kondisi
sosio-ekonomi sarjana-sarjana peneliti ilmiah murni,
dibandingkan dengan kemakmuran dokter, farmasi, arsitek,
insinyur sipil dan insinyur kimia teknik.
Keadaan itu tak boleh dibiarkan terus berlarut-larut kalau kita
tak hendak menggerogoti masadepan kita sendiri.
Paling tidak 20% daripada pengeluaran untuk pendidikan
universiter dan penelitian ilmiah seyogianya diperuntukkan bagi
penelitian dan pengajaran ilmu-ilmu murni yang akan mengumpan
ilmu-ilmu terapan kita dan mencegahnya menjadi mandul. Uang
tersebut pasti tak'kan terbuang sia-sia, karena investasi jangka
panjang itu pada saatnya pasti akan memberikan buah yang
melimpah kepada kita.
Semoga Dr. Daoed Joesoef dan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie
berkenan memperhatikan hal ini yang mudah tenggelam di
tengah-tengah gemuruhnya berbagai persoalan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini