Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika bebunyian semua instrumen musik telah berhenti, dan gemuruh tepuk tangan berlalu, pria berambut perak di atas panggung itu berbicara tentang seorang sahabatnya yang belum lama wafat. "Kami sebenarnya sudah sepakat akan merekam lagu ini," katanya. "Saya lalu mengubah judulnya. Inilah El Hombre que Sabia—pria yang tahu sedikit."
Dibawakan secara live, lagu yang dipersembahkan bagi Paco de Lucia, gitaris besar flamenco dari Spanyol yang meninggal pada 2014, itu terasa berbeda. Bukan hanya pada aransemen dan bunyi gitarnya—di panggung terbuka Arma Museum & Resort, Ubud, Bali, pada Ahad dua pekan lalu itu John McLaughlin menggunakan gitar elektrik Paul Reed Smith, bukan gitar akustik. Lebih dari itu, energi yang terpancar pun bertambah menggetarkan.
McLaughlin memang pria yang kehilangan sahabatnya itu. Gitaris, bandleader, dan komposer dari Inggris ini pernah bermain bersama De Lucia dalam The Guitar Trio pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Selain diisi McLaughlin dan De Lucia, mula-mula kelompok gitar akustik ini diperkuat oleh Larry Coryell. Tapi lalu Al di Meola masuk, menggantikan Coryell. Pada masa formasi kedua inilah rekaman live mereka, Friday Night in San Francisco (1981), terjual hingga sejuta kopi lebih dan membangkitkan minat yang besar terhadap gitar akustik serta musik flamenco di Eropa dan Amerika Serikat.
Kenangan terhadap De Lucia itu merupakan bagian dari repertoar McLaughlin pada konser pertamanya di Indonesia. Dengan band-nya lebih dari delapan tahun terakhir, The 4th Dimension, McLaughlin berbagi panggung dengan Dewa Budjana, gitaris band pop rock GIGI yang sudah menerbitkan album-album solo sejak 1997 dan menganggap momen seperti ini sebagai "salah satu mimpi terbesar" dalam hidupnya—yang kini telah terwujud.
Naik ke panggung menenteng sendiri gitarnya, McLaughlin dan kawan-kawan—Gary Husband (keyboard, perkusi), Etienne M'Beppe (bas), Ranjit Barot (drum, vokal konnakol)—membuka penampilan dengan Raju, yang melodi utamanya mengingatkan pada Layla dari Derek and the Dominos. Ini memang bukan Mahavishnu Orchestra, yang dibentuk McLaughlin pada 1970-an dan dianggap sebagai salah satu pelopor jazz rock atau fusion yang memikat bahkan non-penggemar jazz. Tapi kemampuan para musikusnya sulit untuk tak mengingatkan para penggemar pada band itu. "Mereka musikus favorit saya," kata McLaughlin saat memperkenalkan teman-temannya sebelum mulai bermain.
Di luar kata yang menjadi judulnya (raju berarti kekayaan atau raja), kehadiran elemen India yang seketika bisa dirasakan pada lagu itu adalah pola ritme yang linear tapi menantang dan justru berkawan akrab dengan harmoni Barat yang bersandar ke jazz. Di antara pukulan drum yang secara ritmis seperti saling bertabrakan, juga gemerincing cymbal, McLaughlin sesekali mengadu not-not dari gitarnya dengan bebunyian apa pun yang dihasilkan keyboard. Usianya sudah 73 tahun, tapi jemarinya masih gesit menghasilkan rangkaian not seperti tembakan senapan mesin.
TAK jauh dari panggung, sore sebelum konser dimulai, McLaughlin terdiam sesaat ketika hendak menjawab pertanyaan mengenai apa beda musiknya yang sekarang dengan yang dia mainkan di masa Mahavishnu Orchestra. "Saya tak pernah sekali pun berniat membuat musik fusion. Saya bukan penemu fusion," ujarnya. Menurut dia, fusion, jazz rock, jazz fusion, funky jazz, dan smooth jazz adalah temuan perusahaan rekaman untuk kepentingan pemasaran.
Dia lalu menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya sepanjang kariernya sesungguhnya adalah cetusan dari semua pengalaman hidupnya dan, terutama, apa saja yang dia pelajari dan dengarkan sejak masih kanak-kanak. "Semua itu jadi bersifat organis, muncul secara alami," katanya.
Lahir di Doncaster, Yorkshire, McLaughlin belajar musik klasik sejak kanak-kanak. Ibunya seorang pemain biola. Selain berlatih biola, McLaughlin kecil berlatih memainkan piano. Dia mulai beralih ke gitar pada usia 11 tahun, antara lain berusaha menguasai musik flamenco. "Saya sudah mencoba mempelajarinya pada usia 14. Tapi, karena tak ada guru, jadi saya mempelajarinya selama hidup saya," ujarnya.
Mendapatkan kesempatan bermain bareng dengan De Lucia, yang lima tahun lebih muda, selalu dia sebut sebagai "salah satu berkah terbesar dalam hidup saya".
Berkah itu, juga puncak-puncak lain dalam kariernya, bermula dari saat dia hijrah ke London pada awal 1960-an. Pada masa itu, dia bermain dengan banyak artis, menjadi musikus pocokan. Banyak yang membuatnya sulit berpuas diri, tapi pengalaman ini menempa kemampuan bermainnya. Berkat semua itu, pada akhirnya dia bisa merekam album debut, Extrapolation, pada 1969.
Lompatan besar terjadi saat dia pindah ke Amerika untuk bergabung dengan Lifetime, grup yang dibentuk Tony Williams, bekas drumer dalam proyek-proyek peniup trompet Miles Davis. Dengan Davis pula, yang inovasinya menembus batas-batas subgenre di dalam jazz, McLaughlin kemudian bekerja bersama, dimulai dari In a Silent Way (1969), lalu yang dianggap paling mendobrak dan merupakan tonggak penting jazz rock, Bitches Brew (1970).
"Miles jauh lebih maju ketimbang siapa pun (ketika itu). Saya berterima kasih kepada Miles karena tanpa dia saya tak akan menjadi saya saat ini," kata McLaughlin.
Berkat dorongan Davis pula McLaughlin membentuk Mahavishnu Orchestra pada 1971, yang diikuti Shakti pada 1975. Berbekal teknik bermain, kemampuan improvisasi, gagasan, dan semangat besar yang menakjubkan, serta ramuan musik yang menggabungkan melodi, ritme, dan improvisasi musik klasik India dengan jazz, dia sukses menaklukkan khalayak fusion global. Sebagian besar penonton konser di Ubud yang berasal dari dalam negeri adalah orang-orang yang mengenalnya pada masa-masa itu.
DI antara Mahavishnu Orchestra/Shakti dan The 4th Dimension, banyak hal terjadi dan banyak proyek musik yang terus menyibukkan McLaughlin. Tapi dua hal selalu bertahan, apa pun bentuk musik yang dihasilkannya: pengaruh musik tradisional India dan upaya McLaughlin untuk mencari Sang Tunggal yang Tanpa Batas.
Seperti halnya India, pencariannya terhadap Sang Tunggal sudah dia mulai bahkan di masa-masa awal kariernya pada 1960-an, di antaranya melalui guru spiritual Sri Chinmoy. Sementara yang memikat dari India adalah apa yang dia sebut sebagai kecantikannya, daya tarik Sang Tunggal berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksistensial. Dia merasa mendapat dorongan yang kian kuat dalam pencariannya ketika mendengar A Love Supreme (1965) karya saksofonis John Coltrane, yang dianggap satu di antara album-album penting jazz sepanjang masa.
"Album ini mengintegrasikan dimensi spiritual ke dalam musik jazz," ujar McLaughlin. Sebelum Coltrane, spiritualitas dalam musik hanya menjadi domain komposer klasik Barat, juga musik klasik India.
Dan apa yang dimulai Coltrane itulah yang dia lanjutkan hingga di masa bersama The 4th Dimension. McLaughlin menegaskannya dalam catatan pengantar pada kemasan album debut band ini yang terbit pada 2010 berjudul To The One: "Inspirasi di balik rekaman ini... dari rekaman A Love Supreme oleh John Coltrane pada 1960-an...".
Di repertoar pada konsernya di Ubud, tak ada satu lagu pun dari album itu. Tapi diskografi The 4th Dimension, juga katalog sepanjang karier McLaughlin sendiri, memuat banyak lagu bernapaskan spiritualitas atau bersifat refleksi. Misalnya Echoes from Then dan You Know You Know, yang di babak penutup konser malam itu, dengan aplaus penonton yang membahana, dia mainkan bersama-sama dengan Budjana.
Sebenarnya, dengan pencariannya yang tanpa henti dan keinginannya untuk terus belajar, kepadanya bisa juga disematkan julukan "El Hombre que Sabia"—seperti sahabatnya, De Lucia.
Purwanto Setiadi (Ubud)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo