Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARUSNYA 302 orang pemilih datang mencoblos di tempat pemungutan suara itu. Tapi dari pagi sampai siang itu, 5 Juli lalu, hanya 16 orang yang datang di TPS 12 Kelurahan Purwosari, Solo, Jawa Tengah. Maka, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), para saksi, serta pemantau pemilu presiden di tempat itu membuang waktu dengan bergurau dan membaca koran. "Habis, mau ngapain lagi," kata Yazid Muttaqien, Ketua KPPS.
TPS 12 Purwosari mewakili fakta baru dalam pemilu presiden ronde pertama yang lalu: meningkatnya jumlah pemilih yang tidak mencoblos. Di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, misalnya, jumlah kelompok yang biasa disebut golongan putih (golput) ini lebih besar daripada perolehan suara tiga pasangan calon presiden yang berlaga. Dari 611 ribu pemilih yang terdaftar, lebih dari 132 ribu tidak mencoblos. Di kabupaten itu hanya pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang unggul "melawan" golput. Pasangan asal PDI Perjuangan ini meraup dukungan 50 ribu suara lebih banyak daripada golput.
Di Wonogiri, Jawa Tengah, golput mencapai 25 persen dari hampir 780 ribu pemilih. Itu pun belum termasuk sekitar 8.000 suara yang tidak sah. Di Kabupaten Tangerang, ketika hasil pemilu ditetapkan Selasa pekan lalu, golput mencapai hampir 26 persen dari 1,1 juta pemilih yang terdaftar. Bahkan di Kota Tangerang jumlah orang yang tidak datang mencoblos mencapai 30 persen.
Sepanjang sejarah pemilu di Republik Indonesia, jumlah yang tidak mencoblos?dengan beragam motifnya?dalam pemilu 5 Juli silam adalah yang terbesar. Lembaga studi politik Soegeng Sarjadi Syndicated meramalkan jumlah golput mencapai 21 persen. Menurut F.S. Swantoro, ketua departemen politik lembaga itu, perkiraan angka tersebut diperoleh setelah melakukan survei di 49 kabupaten dari 17 provinsi. "Kami menggunakan metode ratified random sampling yang diakui keakuratannya," ujarnya kepada Nunuy Nurhayati dari Tempo News Room.
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) juga menaksir jumlah golput pada pemilu 5 Juli lebih besar dibandingkan dengan pada pemilu 5 April. Menurut Koordinator JPPR, Gunawan Hidayat, jumlah kelompok tidak memilih itu diperkirakan lebih dari 23 persen. Jika hitungan itu benar, jumlah golput pada pemilu presiden putaran pertama tersebut lebih dari 31 juta orang. Angka tersebut mengacu pada data pemilih tetap di KPU, yang jumlahnya 155 juta jiwa lebih. "Kami menduga tingginya jumlah golput disebabkan kurangnya informasi dan sosialisasi dari KPU," ujar Gunawan.
Gunawan hanya menyebut satu faktor penyebab. Dini Mawuntyas menambah faktor penyebab yang lain. Dini berpendapat golput meningkat karena semua kandidat presiden tidak ada yang mewakili aspirasi rakyat. Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, itu di hari pencoblosan memilih mendekam di kamar ketimbang berdesakan di TPS. "Saya memonitor pemilu lewat radio saja," katanya. Sebagai aktivis buruh, Dini tidak memilih karena dinilainya integritas semua calon presiden tidak jelas. Alasan tidak memilih yang berbeda disampaikan Samsul Bahri. Warga Kecamatan Lowokwaru, Malang, itu tidak melihat pasangan yang ada sesuai dengan pilihannya. Jago yang ia gadang-gadang malah berada di pasangan yang berbeda. "Katanya tidak boleh memilih dua orang, ya, saya pilih golput saja," ujarnya.
Pemilih seperti Dini atau Samsul diduga akan bertambah jumlahnya di ronde kedua pemilu presiden pada 20 September nanti. Menurut prediksi Swantoro, "Orang yang kecewa karena jagoannya kalah cenderung tidak memilih." Pendapat ini tidak berlebihan. Sekarang pun sudah mulai nyaring terdengar bahwa sebagian pendukung Amien Rais-Siswono Yudho Husodo akan memilih golput nanti. Sejumlah pendukung pasangan itu di Palu, Sulawesi Tengah, sudah menyatakan tekadnya untuk absen. Mereka menilai Megawati-Hasyim dan Yudhoyono-Kalla, kandidat presiden yang maju ke putaran kedua, telah gagal dalam menjalankan pemerintahan sekarang ini. "Saya juga memonitor di kampus Universitas Muhammadiyah banyak mahasiswa yang nanti memilih golput," kata Saiful Bahri, dosen Universitas Muhammadiyah Palu, yang juga pendukung fanatik Amien Rais.
Masih panjang daftar kelompok yang mempertimbangkan untuk tidak menyalurkan hak suara dalam pemilu mendatang, termasuk sejumlah organisasi massa Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Ormas Islam. Menurut Dien Syamsuddin, ketua forum itu, mayoritas aspirasi warga forum itu memilih untuk tidak memilih. "Ini tidak berarti golput karena apatis dan tidak hadir di TPS," kata Dien, yang juga pendukung Amien Rais. Maksudnya tentu memilih jadi golput sebagai sikap politik. Kesimpulan itu diperoleh dari diskusi forum itu Selasa pekan lalu. Organisasi Islam yang masuk dalam forum itu di antaranya adalah Persis, Dewan Masjid Indonesia, Al-Irsyad, Persatuan Islam Tionghoa, Persatuan Pelajar Islam, dan Gerakan Muslimah Indonesia.
Dien Syamsuddin membantah bahwa sikap forum itu karena kekalahan Amien Rais dalam pemilu putaran pertama. "Tidak ada hubungannya dengan itu," ujarnya. Menurut dia, sikap itu diambil karena kandidat presiden yang melaju ke putaran kedua tidak memadai bila ditinjau dari perspektif moral dan kepentingan umat Islam. Keputusan tidak mencoblos itu bisa saja berubah. "Sangat bergantung pada perkembangan, misalnya apakah ada komitmen atau semacam kontrak sosial-politik dari calon-calon presiden," kata Dien. Sikap memilih atau tidak forum tersebut, kata dia, masih akan ditentukan pada pertemuan yang akan digelar akhir Juli nanti.
Kebetulan kelompok tersebut memang sebelumnya mendukung Amien Rais. Dari kelompok pendukung Amien inilah, menurut pengamat politik Sukardi Rinakit, diperkirakan akan ada penambahan besar dalam jumlah golput pada pemilu mendatang. "Pendukung Amien adalah pemilih rasional yang sudah bisa melihat platform kandidat, bukan pesona atau penampilan fisik," kata Sukardi. Paling tidak, kata dia, 10 persen pemilih Amien akan jadi golput pada pemilu putaran kedua. Kalau benar, angka golput tambahan dari kelompok pro-Amien ini sekitar 1,5 juta sampai 2 juta orang pemilih.
Hal yang sama diungkapkan peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani. "Paling tidak 7 persen pemilih Amien Rais akan golput," katanya. Angka ini ditaksirnya adalah jumlah kaum terpelajar yang memilih Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu. "Selain ikatan emosional, kaum terpelajar bisa mengevaluasi cocok-tidaknya calon presiden yang maju," ujarnya.
Saiful menganalisis, pendukung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid kemungkinan kecil akan jadi golput. Selain soal tingkat pendidikan, karakteristik pemilih calon dari Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa memang bukan pemilih yang gampang menjadi golput. Saiful berpendapat Golkar dan PKB akan mengarahkan dukungan ke Megawati-Muzadi.
Jumlah pemilih Partai Golkar dan PKB dalam pemilu 5 April lalu cukup besar. Golkar meraih 24,5 juta suara, PKB mendulang sekitar 12 juta suara. Atas dasar itu Saiful memperkirakan jumlah golput dalam pemilu mendatang tidaklah signifikan. "Jika pengertian golput adalah orang yang secara sadar tidak memilih, jumlahnya hanya 2-3 persen dari total pemilih," tuturnya. Jika golput dalam pengertian suara tidak masuk atau tidak sah, kata doktor ilmu politik ini, jumlahnya 20-25 persen. Ini belum termasuk mereka yang hanya malas datang ke TPS atau memilih berpesiar di hari pencoblosan.
Jumlah itu cukup banyak. Tapi hal ini tidak mempengaruhi legitimasi presiden yang kelak terpilih, menurut Saiful. "Juga tidak akan memperlemah kinerja presiden mendatang," Saiful melanjutkan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden memang tidak menyebut soal batasan jumlah pemilih untuk menentukan sah atau tidaknya pemilu presiden. Artinya, pasangan calon yang meraih suara lebih banyak dari lawannya pada 20 September nanti akan langsung memenangi pemilu, tak peduli TPS ramai dibanjiri pemilih atau sepi-sunyi ditinggal pergi.
Johan Budi SP., Imron Rosyid (Solo), Bibin Bintariadi (Malang), Cahyo Junaidi (TNR), Darlis Muhamad (Palu), Wahyu Dyatmika (TNR), Joniansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo