Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lancung Suara di Ma'had

Komisi Pemilihan Umum memutuskan mengulang pemilu presiden di Pondok Pesantren Al-Zaytun. Ditemukan ratusan kartu pemilih ganda minus surat keterangan pindah tempat memilih.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis siang pekan lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutar cakram video menarik: ratusan perempuan berjilbab dengan ceria turun dari sejumlah bus. Mereka repot memanggul tas besar di pundak. Beberapa di antaranya menuntun bocah. Sementara itu, serombongan lelaki juga menenteng tas, kantong plastik, atau rantang. Beberapa di antaranya menggendong anak balita. Turun dari bus, sebagian dari mereka mencari tempat berteduh. Sekilas mereka tampak seperti rombongan turis domestik yang tengah melancong. Barangkali mereka memang berpikir sebentar lagi bisa menggelar tikar, membuka rantang, lalu makan bersama layaknya tamasya. Tapi, Senin pagi 5 Juli silam itu, mereka digiring ke Al-Ma'had Al-Islamiyah Al-Zaytun?sebuah pondok pesantren di Indramayu, Jawa Barat?untuk mencoblos salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden dalam pemilu presiden. "Mereka sebagian besar memang datang untuk sekalian bertamasya. Mereka adalah keluarga besar Al-Zaytun, terdiri dari keluarga karyawan dan keluarga santri," kata Ali Aminullah, koordinator pemilu presiden di Al-Zaytun. Hebatnya, jumlah anggota keluarga besar itu mencapai ribuan orang. Tak jelas adakah tersisa keceriaan, sedikit rasa kecewa, atau mungkin tak peduli manakala kehadiran mereka di Ma'had Al-Zaytun itu belakangan mencuat menjadi isu nasional dan berujung pada keputusan KPU yang membatalkan suara mereka. "Kami memutuskan mengulang pilpres di Al-Zaytun," kata Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, beberapa jam setelah pemutaran rekaman tersebut. Setelah melalui perdebatan yang alot selama berjam-jam dalam rapat bersama Panitia Pengawas Pemilu Pusat, KPU Jawa Barat dan Indramayu, serta perwakilan dari Al-Zaytun, terkuaklah beberapa fakta. Sebagian dari fakta itu, antara lain, penyelenggara pemungutan suara di Al-Zaytun terbukti telah menerbitkan kartu pemilih tambahan bagi 13.253 orang di luar pesantren. Fakta itu memancing perdebatan. Sebab, belasan ribu pemilih yang datang bergelombang itu tidak memenuhi persyaratan domisili: baik berupa kartu tanda penduduk, surat yang membuktikan sudah tinggal selama enam bulan di Al-Zaytun, maupun rencana untuk tinggal selama enam bulan setelah hari pencoblosan. "Sesuai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23/2003 tentang Pemilu, bila ada pemilih yang tidak memenuhi syarat pendaftaran, harus diadakan pemungutan suara ulang. Apalagi jumlahnya sampai ribuan orang," ujar Ramlan lagi. Keputusan itu mengakhiri desas-desus adanya indikasi pelanggaran aturan pemilu di pesantren yang disebut-sebut terbesar dan termewah di Asia Tenggara itu. Sejak pemilu presiden 5 Juli lalu, Al-Zaytun diduga telah melakukan mobilisasi sejumlah pemilih dari berbagai kota untuk mencoblos salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Dugaan itu muncul menyusul fakta membengkaknya data pemilih di pesantren itu, dari 11 ribuan pada pemilu legislatif menjadi 24.818 pemilih pada pemilu presiden. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) setempat juga mencatat datangnya ratusan kendaraan dari luar daerah yang membawa ribuan orang pada hari pencoblosan?yang kemudian memenangkan pasangan Wiranto-Salahuddin hingga hampir 99 persen. Keputusan KPU tidak mencengangkan. Sebab, beberapa hari sebelumnya KPU Jawa Barat sudah mempertanyakan sah-tidaknya suara 13.000-an pemilih dari luar Al-Zaytun. "Itu yang membuat kami segera membentuk tim pencari fakta," kata anggota KPU Jawa Barat, Ferry Kurnia, yang juga menjadi ketua tim dan turun langsung ke lapangan. Hasilnya: 10 Juli lalu KPU Jawa Barat merekomendasikan kepada KPU Pusat untuk menangguhkan hasil penghitungan suara ke-83 TPS di Al-Zaytun. "Tim saya menemukan kejanggalan pada ribuan pemilih tambahan tersebut. Mereka datang dari luar Indramayu, tapi tanpa surat keterangan pindah tempat memilih," ujar Setia Permana, Ketua KPU Jawa Barat. Selain temuan KPU, temuan Panwaslu Jawa Barat juga menyulitkan posisi Al-Zaytun. Panwaslu Jawa Barat menemukan ratusan kartu pemilih ganda, baik atas nama karyawan, santri, maupun keluarga santri, yang bertempat tinggal di desa sekitar pesantren, seperti Desa Mekar Jaya. "Jumlah kartu ganda itu sekitar ratusan. Munculnya satu nama di dua TPS yang berbeda membuka peluang terjadinya pelanggaran dengan mencoblos dua kali, meskipun hingga kini hal itu belum terbukti," kata anggota Panwaslu Jawa Barat, Napitupulu. Yang menarik, KPU Jawa Barat sendiri tak menyangka hasil pemungutan suara 5 Juli di Al-Zaytun itu akan dibatalkan. Dalam rapat di KPU Pusat pun, suara KPU Jawa Barat sudah mulai melemah manakala Ali Aminullah dari Al-Zaytun menjelaskan alasan ketiadaan surat keterangan pemilih. Menurut Ali, 13.000-an pemilih tambahan itu bukan pemilih pindahan, melainkan pemilih baru. Karena memiliki keterikatan dengan Ma'had Al-Zaytun, bahkan menganggap pesantren itu sebagai alamat domisili kedua, mereka tidak merasa perlu memiliki surat keterangan pindah tempat. "Mereka memiliki keterikatan dengan Ma'had dan memutuskan sendiri memilih di Al-Zaytun," katanya. "Kalau memang mereka itu pemilih baru, ya, relatif tak ada soal," kata anggota KPU Jawa Barat, Memet Ahmad Hakim. Dalam rapat, anggota KPU Jawa Barat yang lain, Ferry Kurnia, bahkan keberatan terhadap usul Topo Santoso, anggota Panwaslu Pusat, agar pemungutan suara di Al-Zaytun diulang. Mengenai kartu pemilih ganda pun, Al-Zaytun punya versi sendiri. Menurut Ali Aminullah, hal itu karena baik Al-Zaytun maupun panitia pemilih tingkat desa di sekitar pesantren sama-sama mendata warga Al-Zaytun yang tinggal di luar kompleks Ma'had. "Hal itu sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, karena warga Al-Zaytun segera mengembalikan kartu pemilih yang mereka dapat dari perangkat desa. Yang disebut-sebut Panwaslu sebagai bukti itu sebenarnya kartu yang kami kembalikan. Warga Al-Zaytun yang tinggal di luar kompleks Ma'had berjumlah ratusan, sebanyak jumlah kartu pemilih yang ditemukan Panwaslu itu," ujarnya. KPU Indramayu dan Jawa Barat sendiri memang tidak mempersoalkan hal tersebut. "Jauh-jauh hari, kartu ganda itu memang sudah dikembalikan," kata anggota KPU Indramayu, Agung Mardiyanto. Bahkan ia berani menjamin tidak ada yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda. Penyebab terbitnya kartu pemilih ganda itu, menurut KPU Jawa Barat, lantaran lemahnya administrasi Pemerintah Kabupaten Indramayu. "Pemda tidak mampu menjangkau dan menegaskan posisi teritorial Al-Zaytun yang mencakup kawasan ribuan hektare itu secara tegas: apakah teritorial pesantren itu merupakan RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, atau wilayah tersendiri," kata Setia Permana. Karena itu, aparat desa di sekitar Ma'had menyambut baik usulan Al-Zaytun untuk mengkoordinasikan sendiri para pemilih di kompleks pesantren. Yang jadi soal, tepatkah keputusan KPU itu? "Itu memang keputusan berat, tapi harus dilakukan," kata Hadar Navis Gumay. Pengurus Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) itu menyadari, selain memungkinkan hilangnya suara pemilih yang cukup banyak, pemilu presiden ulangan itu juga makan dana tambahan. "Tapi, itulah biaya untuk belajar dari kesalahan. Karena itu, penyebab awal terjadinya kisruh pemilu di Al-Zaytun harus segera diusut, dan pelakunya ditindak tegas," katanya. Bagi Smita Notosusanto, pengurus Cetro yang lain, keputusan itu sebenarnya merupakan pengakuan KPU sebagai yang bersalah. "Itulah perlunya mengungkap beberapa kesalahan KPU," tuturnya. Tapi, bagi Al-Ma'had Al-Islamiyah Al-Zaytun, keputusan KPU mengulang pemungutan suara dalam pemilu presiden tersebut tentu berarti mencoreng muka dan merugikan. Usai mengikuti rapat bersama KPU itu, misalnya, koordinator pemilu presiden di Al-Zaytun, Ali Aminullah, menolak wawancara dengan TEMPO. "Proses pendaftaran pemilih dan proses pemilu di Ma'had sudah sesuai dengan ketentuan. Kami juga sudah melaporkan jumlah pemilih dan segala prosedur ke panitia kecamatan," katanya. Tidak sebagaimana Senin pagi 5 Juli lalu, tampaknya Ali tidak akan membuka pintu lagi bagi para "pelancong" yang hendak mencoblos di Ma'had. Darmawan Sepriyossa, Purwanto (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus