ADAT DALIHAN NA TOLU
Oleh: Drs. Nalom Siahaan
Penerbit: Grafina, Jakarta, 1982, 152 halaman
BUKU ini memaparkan sistem sosial Batak, dalihan na tolu, secara
ringkas dan populer. Di sini diuraikan adat perkawinan,
kelahiran sampai kematian. Ada pula ikhwal adat kecil, seperti
menempati rumah baru, dan akibat marga yang menyebabkan orang
Batak sulit mengadopsi anak.
Tungku nan tiga, begitulah arti dalihan na tolu secara harfiah,
sebutan yang berasal dari kehidupan sehari-hari orang Batak -
tungku masak mereka punya tiga kaki. Dan sistem sosial ini
memang memiliki tiga tiang penopang: dongan sabutuha, pihak yang
semarga, boru, pihak yang menerima istri, dan hula-hula, pihak
yang memberi istri (halaman 20).
Jelas, sistem sosial ini lahir karena ikatan perkawinan. Kawin
dan beranak, terutama bagi lelaki, menjadi soal pokok bagi orang
Batak. Seorang Batak disebut dewasa bukan karena usia atau
kematangan emosi dan intelektual, tapi apakah ia sudah kawin
atau belum (halaman 31). Hanya mereka yang sudah kawin saja yang
berhak menyelenggarakan adat.
Ada banyak "subkultur" Batak, misalnya Karo. Tapi penulis
memilih acuan Batak Toba, dari mana ia berasal, dengan fokus
adat yang dilaksanakan perantau Batak diJakarta. Dengan begitu,
buku ini tak memberi gambaran lengkap.
Menampilkan adat yang dilaksanakan bukan tak ada risikonya.
Acara adat yang dilaksanakan perantau Batak di Yogya, misalnya,
mengalami modifikasi dan longgar. Pernah terjadi, seorang tua
Batak dari tanah leluhur tak sudi menghadiri acara adat, karena
menilai apa yang dilaksanakan di Jawa "bukan lagi adat Batak".
Adat memerlukan tata cara yang detail, dan tak jarang menjadi
lebih penting ketimbang nilai-nilai yang diekspresikan dengan
tata cara itu.
Buku ini bisa menjembatani kekhawatiran sementara orangtua Batak
yang menyaksikan anak-anaknya tak lagi paham adat dan bahasa
Batak. Adat, bagi sebagian generasi muda Batak, bukan saja
njlimet, tak efisien, tapi juga "merisikan" buat integrasi
sosial yang lebih besar. Tapi bukankah sebagian akan perlu
dipertahankan? Untuk itu, agaknya buku ini menjadi perlu,
setidaknya bagi generasl muda yang tidak tahu tentang adat, tapi
merasa perlu menganutnya sebagai pewaris yang setengah patuh.
Saur Hutabarat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini