Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gereja Gedangan Semarang, 1942. Romo Albertus Soegijapranata SJ (diperankan Nirwan Dewanto) tampak gelisah. Dalam remang-remang sebuah kamar, ia terlihat hilir-mudik mendengarkan berita radio. Penyiar radio Pak Besut dalam bahasa Jawa mengabarkan Jenderal Yamamoto mulai menguasai Asia. McArthur harus mundur.
Film Garin bertolak dari catatan tulisan tangan Romo Soegija yang disimpan sebagai arsip di kantor Keuskupan Agung Semarang. Kegelisahan Soegija tidak tertera dalam catatan harian. Garin membuat adegan itu untuk menggambarkan bagaimana kekhawatiran Romo Soegija akan apa yang bakal terjadi di Tanah Air.
Film berdurasi 118 menit ini bukan sebuah biografi. Kita tak akan melihat masa Soegija kecil, masa ia sekolah di Muntilan, masa ia belajar di Belanda. Tapi ini tentang suatu fase dalam kehidupan Soegija tatkala menghadapi kenyataan Jepang memasuki Semarang, dan kemudian Yogya diserang Sekutu. Yang menarik, Garin menyajikan hal ini tidak dengan film yang terus-menerus menampilkan sosok dan kiprah Soegija, melainkan lewat fragmen-fragmen kisah gerilyawan, seorang penyiar radio, seorang perawat, seorang komandan kompi Belanda, fotografer Belanda, sekeluarga Cina, sekelompok pemain orkestra.
Film ini diproduksi Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta, yang dikelola para pastor Jesuit. "Saat penyusunan skenario, kami berdebat apakah lebih baik penceritaan bergaya biografis atau tidak. Kami menggodok naskah dengan para romo," kata Garin. Dia menginginkan filmnya tidak menjurus dakwah. Menurut Garin, bila ia setia pada catatan harian, film hanya menampilkan sosok Uskup yang pergi dari misa ke misa, memberi sakramen dan pemberkatan. "Itu akan terlalu gerejawi," dia menambahkan.
Romo Iswarahadi SJ, Direktur SAV Puskat sekaligus produser eksekutif film Soegija, mengakui terjadi bongkar-pasang skenario berkali-kali. "Ada 12 kali perubahan," ujarnya.
Romo F.X. Murti Hadi Wijayanto SJ, salah satu anggota tim kreatif, menjelaskan awalnya penggarapan naskah dilakukan oleh Heru Kesawamurti (penulis naskah Teater Gandrik), dirinya, dan Garin. Sayang, Heru meninggal sebelum naskah matang. Armantono, penulis skenario dari Jakarta, dan J.B. Kristanto, kritikus film, kemudian ikut terlibat. "Akhirnya draf yang ke-12 yang dipakai. Itu saja masih ada sedikit perubahan dialog dan akting," ujarnya.
Tujuan film ini, menurut Romo Murti, memang bukan film epik. "Kami tak ingin menjadikan sosok Mgr Albertus Soegijapranata sebagai superhero," kata pengajar di Studio Audio Visual Puskat ini. Karena itu, menurut dia, menjelaskan kebesaran Romo Kanjeng dengan menampilkan kisah-kisah orang di sekitarnya adalah tepat. "Kalau hanya bercerita tentang diri Uskup tentu akan membosankan."
Film diawali dengan adegan Romo Soegija mengayuh sepeda melewati jalanan berbambu. Akting Margono, seorang aktor dari Yogya yang memerankan Pak Besut, penyiar radio, saat melaporkan penahbisan Soegija cukup mencuri perhatian. Akting Wouter Zweers dan Wouter Braaf, yang memainkan peran Robert, komandan kompi Belanda, dan Hendrick, seorang fotografer, cukup kuat. Kita melihat keduanya pribadi kontras. Satunya anti-Republik, yang lain jatuh hati. "Jangan cium tangan Soegija, pasti bau kerbau," kata Robert.
Ada pula pemilik restoran dari keluarga Cina (Hengky Soelaiman) yang suka mengirimkan soto ke Soegija; Mariyem (Annisa Hertami), perawat yang kekasihnya hilang; dan pejuang sekaligus kurir Soegija bernama Lantip (Rukman Rosadi). Kisah merekalah yang disajikan Garin untuk memberi konteks bagi sikap Soegija yang memihak Republik.
Mungkin baru kali ini di Indonesia ada film yang seluruhnya didanai umat. Total biaya yang diperlukan sekitar Rp 12 miliar. Dana ini diperoleh dengan penggalangan yang digeber di berbagai kota. Terutama di Yogyakarta, Semarang, Bandung, Bogor, dan Jakarta. Di tingkat jemaat dilakukan dengan penjualan semacam voucher seharga Rp 10 ribuan. Beberapa pastor bahkan ke mana-mana membawa voucher untuk ditawarkan kepada para sahabat. Romo Antonius Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, misalnya. "Saya bawa saja, ngeteng," ujarnya.
Paroki-paroki juga membujuk umatnya supaya membeli voucher. Djaya, 51 tahun, warga Nusa Dua, Bali, misalnya, membelinya di Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Bali. "Saya membeli 38 kupon," katanya. Voucher juga dapat dibeli, misalnya, di Paroki Santo Leo Agung di Jakarta Timur dan Maria Kusuma Karmel di Jakarta Barat. Menurut Romo Iswarahadi, sumbangan yang dihimpun dari umat sampai kini mencapai Rp 3,5 miliar.
Dua kali penggalangan dana juga dilakukan di Hotel Patra Jasa dan Hotel Sultan. Di kedua acara itu, panitia mendapat Rp 4,5 miliar. Pemilik Kompas, Jakob Oetama, dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro termasuk yang menyumbang. "Jadi sesungguhnya belum nutup Rp 12 miliar, penggalangan dana tetap diteruskan. Diharapkan juga banyak penonton," kata Romo Iswarahadi.
Adalah menarik untuk mengetahui reaksi umat nantinya setelah menyaksikan film ini. Apakah mereka bakal bertanya-tanya menyaksikan porsi Soegija yang terlalu sedikit untuk film berjudul Soegija ini? "Orang bakal kecewa kalau mengharap di film ini bakal menyaksikan riwayat perjalanan sang romo semenjak kecil," kata Garin.
Garin siap-siap menghadapi kritik. Tapi setidaknya film ini cukup berhasil memberikan gambaran bagaimana Soegija berpihak kepada Republik. Adegan membekas adalah ketika komandan Jepang, Nobuzuki, memaksa Gereja Gedangan dijadikan markas. Soegija meradang. Ia mengingatkan hubungan diplomatik Vatikan dan Jepang. "Penggal dulu kepala saya kalau Tuan melakukan itu," katanya.
Diperlihatkan di film, dengan kemampuan diplomasinya, Soegija berhasil mendorong gencatan senjata setelah terjadi Pertempuran Lima Hari di Semarang. Dia mempertemukan Jepang dan Sekutu di Gereja Gedangan. Pada saat tinggal di Yogya—dan menyaksikan Sekutu menyerbu—ia merelakan Gereja Bintaran dipakai sebagai tempat menampung pengungsi. Ia pun meminta para suster Panti Rapih mendahulukan kepentingan warga daripada para imam.
Satu hal penting, Soegija ternyata terus menerima laporan dari kancah perang. Dalam film terlihat sosok bernama Lantip yang terus-menerus memberikan info kepada Soegija. Menurut tim skenario, Lantip memang kepanjangan tangan Soegija. "Makanya, film ini tadinya mau diberi judul Kurir," kata Romo Murti.
Yang tidak tergambarkan sehubungan dengan info-info ini, mungkin, adalah Soegija ternyata tahu betul detail-detail pertempuran. Dalam catatan hariannya, Soegija menulis, misalnya, pernah bertemu dengan peneliti dari Amerika Serikat, George Kahin, membahas serangan-serangan di wilayah Republik. Soegija juga mengetahui benar nama-nama sahabat dan pejuang yang ditangkap atau hilang. Dalam catatannya bertanggal 1 Maret 1949, Soegija menulis terjadi tembak-menembak di kawasan selatan daerah Bintaran dan sepanjang Kali Code, Yogya.
Garin tak menyajikan adegan yang melukiskan reaksi Romo ketika mendengar suara tembak-menembak ini. Garin juga menghindari kekerasan untuk menyajikan kebrutalan Jepang. Tak ada darah. Tak ada adegan yang meneror tatkala serdadu Jepang menyerbu gereja kecuali dua suster bersimpuh ketakutan sembari mendaras doa. Sekilas ada adegan suasana para misionaris asing di interniran. AdeÂgan yang dramatis ini, sesungguhnya, bisa digali lebih banyak, karena memang saat Jepang masuk, banyak pastor Jesuit asing dipenjara.
Keinginan Garin adalah menampilkan sejarah secara romantis. Perasaan galau Hendrick, yang merasa bersalah sebagai orang Belanda, dilukiskan dengan adegan ia ditimpuki batu oleh anak-anak kecil. PaÂra pejuang juga digambarkan ironik. Ada yang konyol dan hanya ingin berkelahi. "Saya ambil ini dari novel Idrus yang mengolok-olok revolusi," kata Garin. Akan halnya cara duduk, berdiri, dan blocking para pejuang, menurut Garin, banyak ia tiru dari lukisan revolusi SudjoÂjono.
Walhasil, sesungguhnya banyak lapis dalam film ini, dari cinta, patriotisme, sampai rasisme. Untung semuanya dapat terikat kuat. Transisi dari adegan ke adeÂgan cukup terasa tidak lepas-lepas. Musik Djaduk Ferianto mampu menggiring penonton mentemalikan kisah-kisah menjadi satu kesatuan. Djaduk menjadikan adegan paduan suara Katolik, akapela, lalu lagu pop zaman itu, orkes, dansa di hotel, sebagai bagian dari musik yang hidup.
Dari awal sampai akhir, Nirwan Dewanto menampilkan sosok Soegija secara serius. Sedikit kaku. Sang pastor tak pernah tersenyum (mungkin memang demikian karakter Mgr Albertus Soegija saat umur 45-an, meski di masa kecil ia nakal dan saat mengajar di Muntilan penuh dengan humor). Ekspresinya pun dingin saat mendengar sentilan-sentilan lucu pembantunya bernama Toegimin (Butet Kartaredjasa). Toh, karakter demikian cocok dengan intelektualitas Soegija, yang mampu menerawang jauh ke masa depan.
Di sebuah adegan digambarkan Romo Soegija berdua dengan anak pemilik restoran Cina, Ling Ling (Andrea Reva), berada di pantai. Kaki mereka menyongsong debur ombak. Ling Ling bertanya mengapa sudah merdeka masih saja rumahnya dijarah. "Apa karena kami Tionghoa?" kata Ling Ling. Pertanyaan ini menandakan bahwa semenjak zaman itu, Romo sudah menyadari banyak hal yang belum selesai tatkala kita merdeka. "Apa artinya menjadikan bangsa merdeka jika gagal mendidik diri sendiri," tulis Soegija dalam film.
Film ini memang menyuarakan pesan untuk masa kini.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo