Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada bangunan menonjol di kompleks pemakaman Kerkop Muntilan di Jalan Kartini, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pertama, sebuah nisan sebesar pintu rumah, berwarna hitam, setebal setengah meter dan dikelilingi empat pilar penuh ukiran. Itulah makam kardinal Indonesia dan Asia pertama, Justinus Darmojuwono, yang wafat pada 1994.
Yang kedua adalah sebuah aula kecil di sebelah utara nisan itu. Hanya pintu tengah dari tiga pintu berbentuk limas di aula itu yang terbuka. Dua pintu lainnya ditutup terali besi hitam. Di atap pintu masuk aula yang dinamai Milisium itu terdapat tulisan peringatan: "Berdasarkan Surat Kepolisan Muntilan bl 6-74, Pintu Kerkop. Jam 18.00-06.00 WIB Dilarang Bermalam!".
Milisium yang mirip pemakaman Eropa itu menjadi bangunan utama kompleks pemakaman, yang dikenal umat Katolik sebagai makam Romo Sandjaja, imam Magelang yang diculik dan dibunuh bersama Romo H. Bouwens di Muntilan oleh sekelompok orang yang tak suka terhadap misi Katolik pada 1948. Di situlah tersimpan tak kurang dari 36 jasad rohaniwan, termasuk Romo Sandjaja dan rohaniwan yang terbunuh pada masa perang kemerdekaan Indonesia.
Ketika tentara Jepang masuk dan menjajah Indonesia, para rohaniwan Katolik turut menjadi korban kekejamannya. MPM Muskens Pr mencatat dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 4 bahwa selama 1942-1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 suster meninggal akibat kekejian mereka. Pada masa itu pula Romo Reksaatmadja, rekan tahbisan Soegijapranata, menderita cacat tubuh seumur hidup akibat penyiksaan selama diinterogasi Jepang. Akibatnya, Reksaatmadja tak bisa lagi bekerja sebagai seniman, padahal ia sempat magang di Firma G. Linssen di Venlo, Belanda, dan menciptakan sejumlah patung serta lukisan.
Setelah proklamasi Republik Indonesia diumumkan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta, perang belum usai. Tentara Sekutu masuk dan disambut perlawanan dari para gerilyawan Republik. Menurut catatan harian Romo A. Sandiwanbrata, pemimpin Pastoran Pugeran, Yogyakarta, ketika pertempuran pecah di Kota Magelang pada 1 November 1945, tiba-tiba beredar kabar ada tiga orang hitam berjubah imam menembaki para pemuda pejuang dari Pastoran Magelang. Para pemuda kemudian mengeroyok dan menyembelih para penembak. Gerombolan pemuda itu lalu menyerbu ke dalam pastoran dan menangkap para imam, yang kemudian ditembak mati dan dikubur di pemakaman Girilaya.
Dalam peristiwa yang disebut sebagai "pembantaian Pastoran Magelang" itu, Vikariat Apostolik Semarang yang dipimpin Uskup Soegijapranata kehilangan delapan misionaris sekaligus. "Soegija mendengar peristiwa itu, tapi tak dapat berbuat banyak, karena itu sudah terjadi," kata Anhar Gonggong, sejarawan penulis buku Mgr. Albertus Soegijapranata: Antara Gereja dan Negara.
Menurut G. Budi Subanar, pengarang Soegija Si Anak Betlehem van Java, pembantaian terjadi karena masa itu masalah penjajahan Belanda masih hangat. "Kristen dianggap agama kolonial, propaganda Jepang," katanya. Dalam suasana seperti itu ada isu gereja menyimpan mata-mata dan pasukan Republik baru saja mencegat Gurkha dan Belanda dari Semarang dan Ambarawa. "Jadi suasananya sangat keruh. Pastor Belanda dan sebagian pastor pribumi Jawa dan orang Indonesia timur yang jadi korban," kata dia.
Peti jasad para korban pembantaian Pastoran Magelang itu ditanam bertingkat di dinding timur ruangan Milisium. Layaknya makam di Eropa, nama para rohaniwan dicantumkan pada plakat dari marmer putih yang terukir di dinding. Rohaniwan yang dimakam di sana antara lain M. Minderop, W. Schouten, E. Versteegh, M. Weve, N. Dirdja Suwita, D. Widya Soepadma, dan S. Soedarma. "Pemindahan jasad para rohaniwan yang dibunuh itu baru dilakukan pada 1950 dari Magelang ke Muntilan. Jadi, yang disimpan adalah tulang-tulang dalam peti kecil," kata Paulus Mursid Widi Warsito, generasi ketiga penjaga kompleks makam itu.
Di dinding itu pula dimakamkan SanÂdjaja dan Bouwens, yang plakatnya lebih besar dan diletakkan terpisah. "Plakatnya lebih besar dan terpisah karena dipindahkan dengan kondisi utuh dan petinya masih besar," kata Mursid, yang mengurus makam itu sejak 1978.
Umat Katolik yang berziarah dan berdoa di sana biasanya menaruh lilin di bawah nama-nama yang ada dinding. Peziarah tampaknya paling banyak berdoa di makam sisi timur, meskipun di sisi barat adalah makam para rohaniwan juga. Itu terlihat dari jelaga bekas api lilin para peziarah yang banyak menempel di dinding timur.
Mursid tak mengetahui berapa jasad yang ada di sana, karena satu makam kadang diisi lebih dari satu jasad atau kerangka. Misalnya empat makam yang berisi jasad 12 suster dari Ordo Santo Fransiskus. Para suster itu dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi kaum perempuan di wilayah Magelang dengan mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Mendut. Mereka meninggal antara 1900 dan 1943 dan jasadnya dipindahkan ke Kerkop Muntilan pada 1950.
Dinding utara Milisium kosong, hanya terdapat sebuah potret Franciscus Georgius Josephus van Lith, pelopor perubahan misi Kristen di Jawa melalui akulturasi budaya, pendidikan sekolah berasrama, dan pendirian sekolah guru di Muntilan. Tak ada makam di dinding itu. Makam Van Lith berada di luar aula. Dibandingkan dengan makam Darmojuwono, makam Van Lith tampak lebih kecil, bahkan nisannya terbilang mini. Makam itu terlihat lebih besar karena ada bangunan mirip pendapa atau benteng yang menyangganya.
Kompleks pemakaman itu praktis jadi tempat utama bagi umat Katolik yang ingin menziarahi para tokoh Katolik di Jawa Tengah. Di sana dimakamkan pula, misalnya, W. Tyoa Tiauw Ing dan istrinya, Tan Kwe Kiwa. Kedua warga Tionghoa itu bukan rohaniwan, tapi dinilai berjasa membangun kembali gereja dan pastoran setelah gedung misi di Muntilan banyak yang dibakar massa yang tak senang terhadap perkembangan Katolik.
Di sana pula Uskup Jakarta, Leo Agung Djoyoseputro, dimakamkan. Keturunan bangsawan trah Puro Pakualaman Yogyakarta dan sepupu Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, itu meninggalkan hidup duniawinya dan menjadi imam.
Menurut Mursid, selama dia bertugas, pemakaman itu belum pernah dipugar. Rencana penataan dan pemindahan peti pada 1973, kata dia, juga urung karena biayanya terlalu besar, dari menyewa dokter untuk mengecek kandungan gas beracun yang mungkin masih tersimpan pada peti hingga pengurusan izin ke pejabat pemerintah setempat.
Warga Desa Pepe, Kelurahan Muntilan, Kecamatan Muntilan, itu hanya sendirian menjaga pemakaman tersebut dan mengalami setidaknya sembilan pergantian pengurus Paroki Muntilan. Namun, menurut dia, sejak 2002 pengurusan kompleks makam sedikit terbengkalai karena adanya perbedaan prosedur. Sebelumnya pengurusan makam dikelola langsung oleh paroki, tapi sekarang harus melalui sebuah tim yang terdiri atas berbagai instansi. Karena sangat birokratis, pengelolaan pun jadi berbelit dan akhirnya banyak masukan yang tak segera diwujudkan.
Salah satu masalah adalah rusaknya salib Milisium setinggi 2,5 meter yang selama ini menjadi tempat peziarah berdoa sebelum memasuki kompleks makam. Sejak awal Mei lalu salib itu terpaksa dia copot, sehingga sempat membuat peziarah yang datang kebingungan mencari. "Salib itu sudah doyong ke depan, seperti mau roboh. Takutnya nanti mengenai umat yang sedang berdoa," kata dia.
Sudah tiga kali kerusakan salib itu dia laporkan, tapi tak kunjung mendapat tanggapan. Kepada tiap pengunjung yang menanyakan soal salib itu, Mursid senantiasa meminta agar mereka melihat dengan mata batin saja. "Mohon juga didoakan agar salib itu segera bisa diperbaiki dan berdiri lagi seperti semula," katanya.
Pribadi Wicaksono, L.N. Idayanie, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo