Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Bedil ke Bilik Suara

Bekas gerilyawan Aceh menjajal kans menjadi calon bupati. Meski dana cekak, dukungan publik GAM tidak tercerai.

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuliyanti, 33 tahun, menanti datangnya awal pekan ini dengan penuh harap. Senin 11 Desember ini, Yanti bersama sekitar 2,6 juta warga Aceh akan mengantar tanah kelahirannya memasuki era politik baru: melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Melalui tangan mereka akan dipilih seorang gubernur dan 19 bupati dan wali kota—sebuah pilkada terbesar di Indonesia.

Harapan warga Desa Dayah Baroe, Kecamatan Matang, Lhokseumawe-Kuly, Aceh Utara, itu tak muluk-muluk: bupati yang baru dapat mengangkat derajat hidupnya, dan statusnya sebagai pengemis bisa ditanggalkan. ”Saya tidak kenal keempat calon bupati, tapi maunya bupati ke depan yang lebih peduli pada rakyat, apalagi yang cedera seperti saya,” kata wanita yang satu kakinya diamputasi setelah ditembak aparat keamanan saat akan menghadiri acara yang diadakan oleh Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA) enam tahun lalu.

Banyak harapan seperti ini bermekaran di Aceh menyambut acara pemilihan. Setelah berpuluh tahun didera perang yang kemudian ditutup dengan perjanjian damai Helsinki setahun lalu, inilah ujian besar bagi rakyat Aceh untuk belajar berdemokrasi. Namun, sesungguhnya ujian lebih besar terjadi di tubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama bertahun-tahun anggota GAM mempertahankan hidup dengan bergerilya di hutan. Kini mereka tiba-tiba memilih terjun ke suatu bidang baru: politik.

Panggung baru ini ternyata tak membuat mereka ciut hati. Kandidat gubernur dan bupati/wali kota dari GAM muncul. Dua calon untuk gubernur dan 14 kandidat untuk kepala daerah tingkat II. Meski sejumlah calon mereka maju lewat jalur independen, kubu gerakan itu cukup percaya diri untuk adu suara dengan kekuatan politik ”tradisional” seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar. Yang menarik, GAM mulai mengerti irama politik legal.

Mereka belajar menyusun strategi agar calon andalannya bisa berjalan mulus. Memang, di tingkat elite terjadi ”keretakan” soal siapa yang harus didukung jadi Gubernur Aceh: pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah yang maju lewat jalur PPP ataukah paket Irwandi dan Nazar. Tapi, di kabupaten semuanya kompak. Setiap lokasi biasanya hanya punya sepasang calon asal GAM, kecuali di kabupaten Aceh Timur dan Nagan Raya, yang maju dengan dua pasang kandidat.

Taktik lain, para calon yang ditampilkan umumnya anak muda, rata-rata kelahiran 1970-an. Para politisi dadakan ini belajar cepat. Fasih mempromosikan diri, menjalin lobi, dan memikat konstituen. Teungku Irwansyah, yang akrab dipanggil Muchsalmina, misalnya, adalah bekas juru bicara GAM Aceh Besar. Biasa memanggul bedil, kini calon Bupati Aceh Besar yang hadir di acara kampanye di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Rabu pekan lalu itu fasih bicara agenda Aceh masa depan.

Dengan kualitas calon seperti itulah GAM akan bertempur di 19 wilayah tingkat II—sembilan di antaranya adalah daerah basis GAM. Mari kita lihat profil para politisi GAM.

Guna memimpin kota Banda Aceh, GAM menyokong dua tokoh muda yang populer di jagat gerakan sipil daerah itu. Taufik Abda, misalnya, dikenal sebagai aktivis SIRA. Tujuh tahun lalu, SIRA berkibar setelah menggiring setengah juta orang menuntut referendum kemerdekaan Aceh.

Pasangan Taufik adalah Akhiruddin Mahyuddin. Dia aktivis antikorupsi dan sangat garang saat membongkar kasus korupsi bekas Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Keduanya didukung penuh oleh kubu GAM.

Di tingkat kabupaten, kubu bekas gerakan bersenjata itu main secara total. Artinya, kandidat mereka murni dari jalur ”hutan”. Di Aceh Besar, misalnya. Muchsalmina dipercaya maju ke kancah politik kabupaten. Lahir pada 1972, anak asli Aceh Besar itu bergabung dengan gerakan pimpinan Hasan di Tiro pada 1991. Dia mendapat pelatihan militer dari para senior eks Libya pada 1997.

Di kalangan gerilyawan Aceh Besar, Muchsalminalah yang paling terampil bicara politik. Padahal, ”Dulu saya biasa memegang AK-56,” ujarnya. Wakilnya, Usman Muda, adalah tokoh GAM sipil. Dia warga asli Labuhan Haji, Aceh Selatan. Setelah damai, keduanya dapat tugas dari ”komandan”. ”Saya pribadi mendukung mereka,” ujar Panglima GAM Aceh Besar Teungku Muharram.

Meski ada jaminan suara, mesin politik GAM tampaknya kurang ”bensin”. Muchsalmina dan Usman mengaku tak punya uang banyak. Sumber dana hanya dari masyarakat. Bisa segantang beras, bisa 10 helai spanduk. Begitu juga Taufik dan Akhiruddin di ibu kota. Mereka mengaku menghabiskan uang Rp 70 juta untuk dana kampanye, itu pun hasil sumbangan kawan-kawan aktivis dan pendukung. ”Banyak tawaran dari orang kaya, tapi kami takut termakan janji,” kata Akhiruddin.

Soal kantong, Muslim Hasballah dan Nasruddin, kandidat yang disokong GAM di Kabupaten Aceh Timur, juga kempis. Modalnya hanya seratus spanduk dan sembilan baliho. Tulang punggung mereka adalah para bekas pejuang di tingkat sagoe (struktur setingkat kecamatan). ”Mereka yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk kampanye, termasuk berkampanye di tingkat desa,” kata Muslim, juga salah seorang eks Libya. Tapi, lumbung suara mereka cukup ”kaya”. Untuk Aceh Timur, GAM memiliki 28 sagoe yang mencakup 487 desa.

Muslim mesti berjuang menghadapi calon GAM lain yang berasal dari kalangan sipil, Sulaiman Ismail dan Zulkarnaini SPD. Masalah Muslim masih ada lagi. Awalnya ia sempat dilihat berbeda lokomotif dengan sang wakil. Muslim dinilai setia pada calon gubernur Humam, sementara Nasruddin (aktivis SIRA) lebih condong ke Irwandi. Sebuah jalan tengah lantas diambil di sebuah rapat besar GAM di wilayah Peureulak itu.

Keputusan rapat itu: publik GAM di Aceh Timur mesti menyingkirkan dulu urusan gubernur dan mari berkonsentrasi pada urusan bupati. Berafiliasi pada satu kubu bisa membuat suara kubu lainnya mengempis. Karena itu, lebih baik netral dan siap bekerja sama dengan siapa pun yang menang

Sebuah keputusan yang bijak. Pekan ini, mata dunia akan melihat, apakah para anggota GAM sungguh telah bersalin rupa menjadi politisi yang baik. Diplomasi bedil adalah cerita masa lalu.

Kurie Suditomo, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus