Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE GREATEST
Sutradara: Shane Feste
Skenario: Shane Feste
Pemain: Pierce Brosnan, Susan Sarandon, Carey Mulligan
Dua tahun terakhir Hollywood tampak terjerat dua macam drama. Pertama, drama cinta yang melibatkan vampir, serigala jadi-jadian, atau alien. Ini terlihat bagaimana kelojotannya para produser dan sineas pasca-Twilight. Mereka sibuk membuka cerita-cerita plotnya, kira-kira bisa disulap menjadi epigon Twilight, maka jadilah film I am Number Four dan Red Riding Hood, di mana tokoh protagonis perempuan jatuh cinta pada makhluk (baca: pria ganteng) yang berbahaya. Kedua, drama keluarga yang berkisah tentang kehilangan anak: Rabbit Hole (John Cameron Mitchell, 2010), yang mendapat nominasi Academy Awards tahun lalu untuk Nicole Kidman; Welcome to the Rileys (Jake Scott, 2010), yang memperoleh perhatian terutama karena film ini dibintangi Kristen Stewart dan James Gandolfini; dan The Greatest.
Ketiga film itu sama-sama menggambarkan keluarga yang hampir runtuh karena luka jiwa kehilangan anak yang tewas. Ketiganya menceritakan bagaimana keluarga (terutama ayah dan ibu) menghadapi kehilangan tersebut, bagaimana kematian mendadak itu membuat para orang tua semakin menjauh dari peradaban dan nyaris bercerai karena tak kuat menyangga kenangan yang mendadak saja hilang.
The Greatest (produksi 2009 tapi baru beredar tahun ini di Indonesia) sebetulnya mendahului kedua film dengan tema yang sama. Film ini diawali dengan sepasang anak muda, Rose (Carey Mulligan) dan Bennett Brewer, yang dilanda asmara, yang bercinta seperti tak ada hari esok. Dan entah bagaimana, saat Bennett mengucapkan cinta kepada Rose-mereka berhenti di tengah jalan-sebuah mobil menghajar mereka. Bennett tewas, Rose selamat. Adegan ini mengisi 10 menit pertama film.
Beberapa pekan kemudian, kita melihat sang ayah, Allen Brewer (Pierce Brosnan), yang didera insomnia, menatap arlojinya terus-menerus dan, ketika alarm menjerit, Allen akan memulai hidupnya yang letih. Sang ibu, Grace Brewer (Susan Sarandon), memulai pagi dengan menangis terisak-isak karena pagi langsung saja mengingatkan dia pada putra sulungnya, yang seharusnya sudah mulai kuliah. Putra bungsu, Ryan Brewer (Johnny Simmons), melarikan kesedihannya sesekali pada ganja.
Situasi yang hampir saja menenggelamkan keluarga Brewer berubah ketika suatu hari Rose mengetuk pintu rumah mereka dalam keadaan hamil. Allen langsung menganggap Rose sebagai bagian dari keluarga. Sebaliknya, Grace masih sangat obsesif ingin tahu detik-detik akhir kematian putranya karena dia tahu betul putranya masih sempat memberikan pesan kepada lelaki yang menabraknya. Kehadiran Rose di rumah itu bukan hanya untuk mengenal keluarga Bennett, tapi juga kekasihnya, yang belum sempat dikenalnya begitu jauh tapi sudah tewas.
Film ini sebetulnya memberikan potongan-potongan adegan dari setiap anggota keluarga yang menangani duka dengan cara masing-masing. Sementara tokoh Nicole Kidman dalam film Rabbit Hole malah berkawan dengan remaja yang menabrak putranya, tokoh Grace menemani penabrak putranya yang sedang koma karena ingin tahu apa pesan putranya sebelum ia mengembuskan napas terakhir. Obsesi Grace ini sama sekali tak membantu dia dan keluarganya menerima serta ikhlas atas kepergian putranya, hingga duka itu bukannya makin sembuh, tapi malah semakin berdarah-darah.
Meski ceritanya tidak semulus film Rabbit Hole dan tak segelap Welcome to the Rileys, film The Greatest tetap menarik dalam penyuntingan adegan antara masa kini dan kilas balik yang unik. Keputusan meletakkan akhir pertemuan pasangan Rose dan Bennett pada awal dan pertemuan pertama justru pada akhir film melengkapi pengetahuan kita bagaimana mereka selama ini selalu memendam perasaan bertahun-tahun lamanya.
Tapi yang paling bersinar dari film ini tentu saja penampilan Susan Sarandon, Carey Mulligan, dan, yang agak mengejutkan, Pierce Brosnan. Mantan James Bond ini beberapa kali mencoba menunjukkan dia seorang aktor serius pasca-007, dan kali ini dia berhasil. Sebagai ayah Bennett, yang mencoba meneruskan hidup dan menekan dukanya justru untuk dirinya sendiri, Brosnan berhasil mencuri perhatian penonton. Adegan-adegan ketika ia mencoba "normal" pada siang hari dan tak pernah mampu tidur sejak kematian anaknya memperlihatkan Brosnan akhirnya seorang aktor yang serius, dan jauh lebih baik daripada penampilannya dalam film Mamma Mia (Phyllida Lloyd, 2008) serta Remember Me (Allen Coulter, 2010).
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo