SENI lukis Bali seperti yang kita lihat sekarang tak terlepas dari peranan para pelukis asing yang tinggal di sana sejak tahun 1930-an. Misalnya Rudolf Bonnet dari Belanda dan Walter Spies dari Jerman. Kedua pelukis inilah yang menggoyangkan kemapanan seni lukis tradisional hingga menumbuhkan gaya-gaya baru. Hal baru itu, antara lain, adanya pemahaman anatomi, perspektif, dan tema kehidupan sehari-hari. Kemudian, tahun 1960-an, seni lukis Bali mendapat masukan dari Arie Smit, pelukis warga negara Indonesia kelahiran Belanda, melalui sanggarnya di Campuhan. Smit menyodorkan cakrawala baru dengan menempatkan garis dan perupaan yang naif serta warna-warna yang terang benderang. Gerakan ini dikenal dengan sebutan Young Artist. Tentu, sebaliknya, para pelukis asing di Bali tak bisa mengelak dari pengaruh seni lukis Bali dan juga kehidupan Bali sehari-hari. Garis dan figur Bonnet, misalnya, terpengaruh kuat lukisan Bali tradisional. Komposisi dalam karya Walter Spies tak sulit dicium bau Balinya. Arie Smit, dalam hal ini, agak lain. Dalam seni lukisnya agak sulit dicium estetika kebaliannya. Tapi terang objek dalam karya-karyanya adalah khas Bali. Dan kemudian adalah Han Snel. Mirip karya Smit, karya-karya figuratifnya antara lain yang ada dalam buku koleksi lukisan Bung Karno tak mencerminkan kebalian dalam artistik. Ia hanya melukis suasana Bali. Dan di tahun 1992, Snel menjadi nonfiguratif setelah melewati lukisan kubistis. Dengan karya nonfiguratifnya itulah Snel seolah sama sekali membebaskan diri dari Bali: Bali secara fisik pun tak tercium dalam karya-karyanya. Itu bisa dilihat di Yayasan Seni Rupa Duta, Jakarta, sejak 12 Oktober sampai 9 November nanti. Pelukis yang hidup di tanah Bali sejak masa awal kemerdekaan Indonesia itu memamerkan karya-karya nonfiguratifnya. Sebuah pameran yang menyiratkan betapa jauh sudah Snel berjalan. Tiba di Indonesia tahun 1946 sebagai serdadu Belanda karena ikatan dinas, ia akhirnya jatuh cinta pada Bali. Dan pada tahun 1950, pria Belanda yang lahir tahun 1925 ini menjadi warga negara Indonesia. Jatuh cintanya pada Bali tak aneh karena Snel punya latar belakang pendidikan kesenian di bidang seni grafis. Tapi akhirnya Snel mengembangkan seni lukisnya, yang secara teknis lebih praktis dibandingkan dengan grafis. Beberapa karya awalnya, yang figuratif dan kubistis, cukup menonjol. Misalnya lukisan potret-potret wanita Bali yang digambar dengan pastel, atau pensil. Dalam pameran ini ia hanya menyertakan satu karya, Once Upon the Time, yang kubistis. Dalam hal perkembangan gayanya itulah, Snel menjadi menarik karena ia justru menjauh dari gejala umum seni lukis yang tumbuh di Bali. Bisa jadi selama ini Snel merasa terikat, dengan objek, dengan Bali. Dalam karya nonfiguratifnya, yang di sana-sini masih tercium bau kubistisnya, ia mengumbar kebebasan sambil dengan cermat mengatur komposisi. Melalui corak ini, ia memberikan otonomi elemen rupa dalam lukisannya. Ia tak lagi mengekspresikan rasa dan pikirnya, tapi menciptakan bentuk. Tengoklah pada Symposium, yang didominasi warna cokelat matang, dengan bidang-bidang tegak yang bersentuhan dan potong-memotong membentuk bidang baru. Kemudian, di atasnya tersebar bentuk-bentuk ketupat geometris menjadi aksentuasi. Karya ini merupakan contoh yang masih bersentuhan dengan langgam yang dianut sebelumnya, kubistis, meskipun tidak lagi figuratif. Bentuk-bentuk geometris yang dimunculkan pada karyanya terkadang memberikan nuansa dinamika ruang yang nyata, misalnya Secret Corridor, yang didominasi warna abu-abu muda. Lukisan ini menyerupai gambar dinding berderet, membentuk lorong dengan aksentuasi penyinaran, sehingga mengesankan bentuk tiga dimensi. Beberapa bidang segi empat yang tegak lurus dengan lorong ditutup dengan warna primer, seperti kuning, dan merah. Karya-karya itu kuat menunjukkan bahwa Snel sudah begitu jauh berjalan dari akar seni lukis setempat, yang masih memilin garis, menoreh nuansa di sana-sini, dan bercerita tentang sebuah dongeng atau suasana keseharian. Dilihat dari ini, bisa dikatakan Snel melakukan ''pemberontakan''. Sebab, hampir semua karya Snel kini menunjukkan kecenderungan itu. Apakah ''pemberontakan'' itu merupakan nilai lebih bagi kemerdekaan berekspresi seorang Snel, itu soal lain. Yang jelas, penguasaan pada elemen rupa yang tersebar pada kanvasnya terasa lebih matang daripada karya figuratifnya dulu. Ini tentu saja menjadi nilai lebih. Pada zaman ketika arus besar diragukan, dan orang menengok pada hal-hal yang tersisihkan, Han Snel menarik diikuti. Ia terang tak termasuk dalam buku sejarah seni rupa Belanda. Tapi ia pun ternyata tak juga disebut-sebut dalam buku Art in Indonesia-nya Claire Holt. Tapi, dalam pameran ini, seperti sudah disebutkan, ia bisa jadi merupakan gejala ''pemberontakan'' terhadap kecenderungan seni lukis Bali umumnya yang digiring ke satu arah: komersialisasi dan pemiskinan kreasi lewat galeri-galeri. Satu gaya yang laris akan dengan cepat ditiru oleh pelukis lain dengan mutu yang biasanya sembarangan. Andai dugaan ini benar, Snel pantas kita catat. S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini