TATAPAN mata pelukis Utoyo Hadi tertumbuk pada sisa-sisa pohon yang tumbang dan lapuk. Pada sisa-sisa ranting dan daunannya yang membusuk membentuk lapisan humus itu tumbuh tunas-tunas generasi baru. Panorama inilah yang diamati oleh pelukis Medan itu pada September tahun lalu di Bahorok River Visiting Centre. Kawasan hutan itu merupakan bagian Taman Nasional Leuser di Bukit Lawang, 90 kilometer dari Medan, yang terhampar di perbatasan Aceh -- Sumatera Utara. Di hutan perawan yang dikelola oleh World Wide Fund for Nature (WWF) yang berpusat di Swiss itu, Utoyo melukis ditemani mawasmawas yang berloncatan di rantingranting, di tengah cahaya temaram oleh lebatnya pepohonan. Setidaknya, ada tiga lukisan yang mengungkapkan daur ulang lahir dari tangannya, sebagai "lukisan naturalis yang menyimpan pesan". Ada lima pelukis dalam kegiatan langka yang menjadi proyek Dewan Kesenian Sumatera Utara yang bekerja sama dengan WWF ini. Selain Utoyo, ada Syamsul Bahri, Amran Eko Prawoto, Machzum Siregar, dan Handono Hadi. Dan, Kamis pekan lalu, setelah berbulan-bulan melukis di hutan, mereka memamerkan 60 lukisan di tepi Sungai Bahorok yang sejuk itu. Sekitar 70 undangan hadir. Hari itu, Sekwilda SumUt Syarifuddin Harahap, mewakili Gubernur Sumatera Utara, menyerahkan semua karya itu kepada Presiden WWF Pangeran Phillips, yang diwakili oleh Russell H. Bett, kepala perwakilan WWF di Jakarta. Bulan depan, WWF akan memamerkan lukisan ini di Jakarta. Menurut Russell, proyek melukis di hutan yang disebut Art for Nature itu merupakan "pendekatan baru". Pada era l990an ini, katanya, WWF merekomendasi kepedulian seniman terhadap konservasi alam. Ini klop dengan sikap para seniman. Konservasi alam, dalam bahasa seniman Syamsul Bahri, "Bukan daun yang kupetik, tapi apa kesanku atas daun itu." Atau seperti kata Eko Amran Prawoto, "Hutan itu ternyata indah, tidak buas." Baik Syamsul maupun Eko adalah lulusan ASRI Yogya. Bagi Utoyo, pelukis yang lain, hutan merupakan sukma, sedangkan kota-kota besar sebagai raga. "Selama ini, sukma cenderung sirna oleh peradaban kota besar," katanya prihatin. Utoyo sekarang tengah mempersiapkan pameran yang disebut Hutan Beton atau Jakarta III, setelah sebelumnya -- Februari tahun lalu -- ia menggelar sekitar 40 karyanya dalam Jakarta I dan Jakarta II. Para pelukis juga menyesalkan industri kayu, yang ditudingnya kurang memperhatikan proses daur ulang. Padahal, seperti kata Direktur WWF Bukit Lawang, Barbara Desrochers, "Hewanhewan saja sangat pandai memanfaatkan hutan dengan memelihara, tidak merusaknya." Rupanya, seniman mulai prihatin terhadap kerusakan alam yang selama ini menjanjikan keindahan dan fantasi. Maka gaung kegiatan kreatif ini diharapkan bisa meluas. Setidaknya, seperti kata musikolog Rizaldi Siagian, ketua proyek Art for Nature, "Kegiatan ini merupakan sipongang dari nyanyian The Sting yang berperang melawan industri HPH di Amazone sana." Lantas, bagaimana nanti nasib lukisan-lukisan itu? Tentu, diperlukan tangantangan sejuk untuk memboyong karya-karya tersebut sampai ke tangan kolektor. Harapan itu tertumpu pada Maya Rumantir, bekas penyanyi, yang tampil sebagai Ketua Panitia Pameran Art for Nature. Sedangkan tampilnya Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai penasihat panitia bisa meringankan tugas Maya Rumantir. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini