Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
I Wayan Upadana, pelaku seni patung asal Bali, menggelar pameran tunggal di Dago, Bandung.
Ekshibisi ini menampilkan karya-karya Upadana selama satu dekade terakhir.
Sebagian karyanya terinspirasi oleh Ashley Bickerton, seniman patung asal Amerika Serikat yang ikut mempelopori gerakan seni neo-minimalisme pada 1980-an.
Ketiga benda yang menempel di tembok itu seperti balon. Berwarna biru tua dan kuning pekat, licin mengkilat. Ikatan temali putih dan hitam yang membuat balon-balon itu berlekuk-lekuk simetris menimbulkan sensasi ngilu saat berada di dekatnya. Sebab, mereka seperti bisa meletus kapan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyatanya, balon-balon itu tak mudah pecah karena terbuat dari resin dan cat enamel, yang biasa dipakai untuk mewarnai mobil. I Wayan Upadana mengolahnya sebagai seri karya berjudul Napas Biru dan The Sun, sesuai dengan warnanya, biru dan kuning. Memakai bahan yang sama, pematung asal Bali berusia 40 tahun tersebut membuat karya sejenis dengan bentuk melonjong pada seri Napas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya berjudul Napas. TEMPO/Prima Mulia
Bentuk-bentuk karyanya itu terinspirasi oleh Ashley Bickerton, seniman kontemporer asal Amerika Serikat yang dianggap sebagai salah satu pelopor gerakan seni neo-geo atau neo-minimalisme pada 1980-an. Bickerton wafat di Bali pada 30 November 2022 pada usia 63 tahun. Upadana membantu Bickerton membuat seri karya berjudul Fat Man di Bali. Dengan demikian, tak mengherankan ada beberapa kemiripan, misalnya pada pemakaian tali.
Lewat garapan terbarunya itu, Upadana menggambarkan udara yang terperangkap dan mewujud sebagai gelembung. Sedangkan ikatan temalinya bagaikan aliran udara. Dari ide itu, Upadana ingin menyampaikan persoalan orang Bali zaman sekarang yang muncul dari pengalaman pribadi. Terutama setelah seniman lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 2008 itu pulang ke tanah leluhurnya.
Sebagai seniman dari tanah rantau yang biasa bekerja secara individu, Upadana kembali beradaptasi. Dia harus siap untuk beraktivitas sosial dengan warga sekitar, misalnya yang berkaitan dengan upacara adat dan ritual agama. “Ikatan tradisional itu kan mengikat sekali. Kalau kehidupan modern lebih bebas dan individual,” katanya di Bandung, Jawa Barat, pada Jumat, 15 Desember 2023.
Agar hidupnya tidak tertekan, Upadana memilih berkompromi. Caranya, dia membagi waktu dan energi atau napasnya untuk menjalani hidup sehari-hari, baik sebagai individu maupun makhluk sosial di Pulau Dewata.
Kehidupan di Bali, termasuk kepercayaan dan problem sosial, yang terangkum dalam kekaryaan patungnya dipamerkan di Galeri Orbital Dago, Bandung. Pameran seni tunggal yang berlangsung sejak 15 Desember 2023 hingga 24 Januari 2024 ini menampilkan garapan terbaru plus karya lama Upadana selama satu dekade terakhir.
Karya berjudul The Ancestors. TEMPO/Prima Mulia
Sepasang patung berjudul The Ancestors atau leluhur merangkai karya sebelumnya, yaitu Illusion of Identity (2022). Upadana bersama ayahnya memahat patung dari bahan kayu jati itu hingga bentuknya pipih. Pembuatan karya itu terinspirasi oleh tradisi mematung kayu yang banyak ditemui di Desa Mas, Ubud, Bali. “Ini saya sebut anonymous project, yaitu orang yang ada dalam bayangan,” kata Upadana. Pembuatan karya itu juga dipicu oleh pertanyaan tentang identitas pribadi karena keterbatasan dalam memahami diri sendiri.
Olahan terbaru lainnya adalah sepasang rona bulan dan permukaannya yang kasar dengan judul Blue Moon with Magenta Light dan Golden Misty Blue Moon. Seri karya yang dibuat dari bahan kertas itu masing-masing bergaris tengah 1,17 meter. “Cerita soal ritual masyarakat Hindu Bali yang berpatokan pada bulan,” ujarnya.
Karya buatan 2023 lainnya adalah Healing in Bali. Di dalam wadah putih seperti bak mandi atau bathtub berukuran mini, tampak sesosok orang sedang berendam dengan mata terpejam. Sambil memakai mahkota di kepala, sekujur tubuhnya berlumuran cokelat. Lewat karya itu, Upadana mengkritik soal gaya hidup di Bali yang sulit terjangkau oleh warga lokal.
Healing in Bali karya I Wayan Upadana. TEMPO/Prima Mulia
Patung itu disandingkan dengan karya sejenis buatan 2019. Berbahan resin dan memakai bokor atau wadah berbahan logam untuk persembahan dalam acara ritual, karya berjudul Euforia itu menampilkan sesosok manusia berkepala gajah sedang berendam sambil berlumuran cokelat.
Beberapa karya lama Upadana yang dipajang menampilkan beragam tema, tapi mayoritas bentuknya senada, yaitu ikut menampilkan barong. Misalnya pada karya berjudul Silence Process (The Process Series) buatan 2013 dan Identity (2022).
Karya lain berjudul Manusia, Imaji, Air, dan Cahaya buatan 2016 yang masih diproduksi hingga 2023 ditempatkan di sebuah ruangan kecil. Upadana membuat patung-patung orang setengah badan dengan ukuran kecil. Mereka seolah-olah sedang berendam dengan disertai suara debur ombak. Di bagian tengahnya ada semacam gunung seperti mangkuk berwarna keemasan.
Karya berjudul Manusia, Imaji, Air, dan Cahaya. TEMPO/Prima Mulia
Kurator Rifky “Goro” Effendy dari Galeri Orbital Dago mengatakan seni patung karya I Wayan Upadana dikenal banyak menggunakan beragam media dengan mengeksplorasi bentuk untuk mengungkapkan situasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Pameran Misty Myths menggambarkan berbagai persoalan di masyarakat yang disebabkan oleh tegangan atau dualisme dalam menjaga adat, budaya, dan agama, dengan perkembangan industri turisme modern.
Berbagai ritual di Bali telah menjadi bagian dari atraksi untuk para pelancong mancanegara selama hampir seabad, mendatangkan devisa yang besar dan terus dieksploitasi sehingga menjadi mesin utama ekonomi. “Nilai-nilai tradisi dengan berbagai ritual yang disakralkan, aneka mitos tentang alam-budaya Bali, seperti diselimuti kabut dari berbagai tuntutan industri turisme,” ujar Goro.
Upadana, Goro melanjutkan, selalu memainkan dualisme dengan makna yang bertolak belakang pada karya-karyanya. Menggabungkan bentuk dari bahan resin, karyanya diolah sebagai simbol untuk mengangkat persoalan sosial dan budaya di Bali. “Penyampaian kritik Upadana melalui karya-karyanya bernada sinis, tapi bercampur humor dengan dibungkus eksplorasi artistik,” katanya.
Sebelum di Bandung, seniman patung kelahiran 1983 itu sudah menggelar dua pameran tunggal. Pada 2016, Upadana berpameran di Fremantle Art Centre, Australia, dengan judul Memory. Kemudian pameran Home berlangsung dua kali pada 2014, yaitu di Bentara Budaya Yogyakarta dan Ganesha Gallery di Four Season Jimbaran, Bali.
Ketika meniti karier sebagai seniman, Upadana kerap menjadi finalis berbagai kompetisi seni rupa, seperti Tujuh Bintang Art Award pada 2009 dan Jakarta Art Award 2010. Namanya juga dua kali lolos sebagai finalis dalam Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) 2011 dan 2013. Selain itu, puluhan pameran bersama diikutinya sejak 2002.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo