Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia di sepetak kamar itu berhenti pada sepotong masa: era 1980. Di sana, di kamar itu, seorang perempuan paruh baya masih saja terbaring di ranjang, saat realitas sekonyong-konyong menyergapnya. Ia takjub, memandang spanduk raksasa yang berkibar di gedung di sebelah apartemennya. Ya, spanduk Coca-Cola, sesuatu yang tak pernah terbayangkan, kini mengkonfrontir dunianya yang sempit.
Dunia Christianne Kerner, perempuan itu, adalah dunia yang tidak berubah. Dunia sebuah negara sosialis, Republik Demokrasi Jerman, yangtentu sajatak membiarkan halamannya kecipratan najis produk kapitalis macam Coca-Cola. Dunia dengan dirinya sebagai aktivis sosialis yang selalu merangsangnya untuk mengajarkan sosialisme kepada anak-anak dan murid-muridnya. Tapi spanduk Coca-Cola itu?
Christianna, wanita tua yang malang dalam film Goodbye Lenin itu, mengangguk ketika mendapat penjelasan yang dianggapnya masuk akal: Coca-Cola telah diproduksi secara massal di Jerman Timur. Christianne (Kathrin Sass) sosok dengan pandangan yang subyektif. Ia mengutuk kapitalisme sejak kepergian suaminya ke wilayah Barat, menyusul perempuan lain. Sejak itu, sosialisme menjadi satu-satunya kebenaran yang mengalir deras di dalam nadinya. Ia tak beringsut, dan memang semuanya begitu, sampai 7 Oktober 1989. Malam itu, ia melihat anak lelakinya mengikuti demonstrasi menuntut penyatuan Jerman. Dunianya gelap. Ia koma tanpa menyadari pada April 1990 tembok pemisah Jerman runtuh.
Goodbye Lenin (2003) meraih sembilan penghargaan dalam German Film Award, dan enam penghargaan untuk kelas film asing terbaik dalam European Film Award. Ya, sutradara Wolfgang Becker berbicara tentang sesuatu yang sangat pribadi, tapi amat menyentuh, di balik peristiwa sejarah (runtuhnya Tembok Berlin, reuni Jerman Barat-Jerman Timur). Lihai sekali Becker membandingkan, kemudian membenturkan dunia nyata yang bergerak dengan aneka, dengan dunia maya Christianne yang statis. Ada pemuda Alex (Daniel Brühl), putra Christianne, yang terus-menerus memasok ibunya dengan bermacam "realitas" hasil rekaannya.
Di luar sana, sex shop bertebaran di jalan, bahkan putri Christianne sendiri telah bekerja di Burger King. Tapi di sini, di hadapan Christianne, dunia Republik Demokrasi Jerman. Alex mencari makanan lama yang tak lagi diproduksi, membayar dua bocah untuk menyanyikan lagu Jerman Timur di hadapan ibunya, sampai merekam berita-berita lama ke dalam kaset video untuk memenuhi kebutuhan ibunya melihat berita politik di televisi. Seperti disebut di atas, dengan kreatif, Alex membuat film bersama temannya untuk menjawab pertanyaan ibunya Coca-Cola di negaranya.
Tapi kebohongan tak bisa ditutupi selama-lamanya. Suatu ketika, Chriastianne keluar dari apartemen dan menyaksikan perubahan itu. Mula-mula ia melongo melihat para pemuda yang datang dari Wuppertal, kota di wilayah Barat. Lantas, di taman, ia melihat helikopter membawa sepotong patung Lenin, dan sebuah balon iklan raksasa membubung di angkasa. Nyata-nyata ia melihat gemerlapwajah yang asing bagi sosialis.
Goodbye Lenin menggambarkan kontras, kejutan demi kejutan, akibat dari perubahan besar. Tapi sutradara Wolfgang Becker ternyata berhasil menyulap benturan-benturannyata versus maya, sosialis vs kapitalis, masa lalu vs sekarangjadi sesuatu yang menghibur, memukau. Bahkan ia berhasil menuntun penonton merasakan kecemasan Alex dan Arianne (Maria Simon), kedua anak Christianne. Mereka dihantui kekhawatiran yang seakan tidak berujung: sampai kapan realitas semu ciptaan mereka akan bertahan.
Benturan dunia nyata dengan dunia maya sebenarnya bukan hanya dalam Goodbye Lenin. Pada 1995 muncul film Underground yang mengisahkan pengalaman sekelompok masyarakat Yugoslavia yang berkeyakinan: pendudukan Nazi belumlah berakhir hingga kini. Film karya sutradara Emir Kusturica ini melukiskan mereka memilih bersembunyi di sebuah ruang bawah tanah, ketimbang menyerah. Dan kelompok berjumlah puluhan orang ini dipimpin Petar Popara (Lazar Ristovski), yang akrab dipanggil Blacky.
Kalau dalam Goodbye Lenin ada Alex yang mengendalikan "kenyataan" Christianne, dalam Underground ada Marko Dren (Miki Manojlovic), penyair sahabat Blacky yang melakukannya. Marko sengaja menanamkan keyakinan itu, demi menyembunyikan, serta mengunci Blacky di dalam liang persembunyiannya selama mungkin. Di ruang bawah tanah rumah kakeknya, ia menyimpan mereka. Di dalam ruangan itu, mereka hidup seolah di pengasingan: pesta-pora, konflik, pertemuan rutin, dan bekerja demi negara dan ideologidalam bentuk produksi senapan. Semua dilakukan bersama.
Hasilnya jelas. April 1944, perang berakhir dan Nazi Jerman angkat kaki dari bumi Yugoslavia, dan Marko yang menggantikan posisi Blacky sebagai tokoh perjuangan mendapat ganjaran. Ia menjadi karib Joseph Bros Tito, Presiden Yugoslavia. Penggambaran kedekatan ini cukup menarik. Dengan halus, Kusturica menggabungkan dokumentasi gambar sejarah dengan fiksi yang dibuatnya. Hasilnya, tokoh Marko terlihat berada di dekat Tito di beberapa acara kenegaraan.
Underground yang berdurasi 167 menit itu mengisahkan bahwa persembunyian mereka berlangsung hingga 20 tahun. Namun waktu berjalan lambat di ruangan itu. Dalam catatan mereka, persembunyian "cuma" berlangsung 15 tahun. Padahal, ini hanya akal-akalan Marko. Ia menyuruh kakeknya menyetel jam, mengurangi 6 jam setiap hari. Selama masa itulah mereka mengira perang terus berjalan. Sementara Marko hidup mewah dari hasil penjualan senapan dengan Natalija (Mirjana Jokovic)mantan pacar Blacky.
Marko tetap hidup dan mengambil keuntungan dari perang. Ia telah meledakkan ruang bawah tanah. Hanya Blacky dan Ivan (Slavko Stimac)saudara Markoyang selamat. Kedua orang ini hidup dalam semangat pencarian. Blacky mencari Jovan dan Ivan mencari Sonny, monyet tercintanya. Film peraih Cannes 1995 ini berjalan hingga pecah perang Balkan antara Serbia dan Bosnia pada 1990-an.
Underground dan Goodbye Lenin adalah dua film sama-sama bercerita cukup terperinci tentang dunia maya dan dunia nyata. Yang pertama berkisah tentang sebuah kehidupan di bawah pendudukan Nazi, yang kedua di bawah sosialisme. Kebohongan yang pertama dibuat berdasarkan ketamakan akan kuasa, kebohongan kedua adalah white lies, kebohongan yang dibangun atas rasa cinta. Boleh jadi, Goodbye Lenin juga merupakan kritik tidak langsung terhadap praktek sosialisme yang sering memfilter informasi. Namun membandingkan peran Alex dan kawan-kawan dengan Negara (penyaring info) adalah komparasi yang terlalu jauh.
Selain dua film ini, sebenarnya masih ada sebuah film tentang masyarakat sosialis di Eropa yang melakukan pendekatan yang sama. Yakni Moonlighting (1982), karya Jerzy Skolimowkski, yang meraih skenario terbaik di Cannes 1982. Film ini mengisahkan sekelompok pekerja Polandia di London yang terisolasi dari dunia luar karena keterbatasan bahasa Inggris mereka. Hubungan dengan lingkungan luar dilakukan melalui Nowak (Jeremy Iron), pimpinan mereka yang mengerti bahasa Inggris.
Mungkin satu-satunya pelajaran yang bisa dipetik dari film-film di atas: kebohongan tak bisa dipendam selamanya. Karena fakta lebih kuat dari fiksi.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo